Skip to main content

Creative of Snaker untuk Pelestarian





Kamar kosan dengan ukuran 4 m x 4 m di jalan Angkasa Puri I No 35, Tunggul Hitam, Kecamatan Padang Utara, kota Padang ini, tampak tidak jauh berbeda dengan kamar kosan mahasiswa lainnya. Kamar tersebut dipenuhi dengan perlengkapan sehari-hari. Ada rak sepatu, kasur, kipas angin, dan sebuha notebook. Belum lagi pakaian yang menggantung di pintu kamar, ikut ‘meramaikan’ kamar tersebut. Namun di sudut ruangan, terdapat sebuah kotak dengan ukuran 50 cm x 30 cm. Kotak itu berisi seekor ular berjenis piton, diberi nama Rama.
Kamar tersebut selain kosan mahasiswa juga merupakan sekretariat Creative of Snaker Community (komunitas pencinta ular) di Padang. Selain Rama, penghuni kamar ini juga Badril dan Ade. Mereka anggota komunitas tersebut yang juga mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP) dan LP3i. Sudah empat bulan mereka menghuni kamar tersebut. Sebelumnya mereka berdomisili di Sawahlunto dan bolak-balik Padang-Sawahlunto.
Menurut Badril, Creative of Snaker adalah sebuah lembaga studi yang memfokuskan diri mempelajari seluk beluk tentang ular. Awal lahirnya komunitas ini berdasarkan kesamaan hobi, pencinta ular, sudah sejak tahun 2006 lalu. Namun, baru dua tahun kemudian, 10 Mei 2008, berani memproklamirkan diri ke khalayak ramai tentang komunitas mereka. Pengurusnya tidak hanya Badril dan Ade, namun masih ada lagi sekitar 14 pengurus lainnya di Sawahlunto.
Badril menambahkan, Creative of Snaker ini dirikan untuk melindungi ular yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap hama dan musuh. Padahal tidaklah demikian. Inilah landasan komunitas tersebut bergerak menjadi lembaga studi. Cretive of Snaker selalu berusaha mencoba memberikan pengetahuan tentang betapa pentingnya satwa ular untuk keseimbangan lingkungan. “Apalagi saat sekarang, di Sumatra jenis ular semakin sedikit, berbeda dengan pulau Jawa,” jelasnya, Selasa (13/4) lalu sambil mengusap-usap Rama yang panjangnya dua meter.
Kesibukan mereka di kampus, tidak menghalangi berbagai kegiatan yang akan dilakukan. Walaupun harus bolak-balik Padang-Sawahlunto, studi-studi kepada masyarakat tentang hewan ini sering diselenggarakan.
Badril menjelaskan, biasanya materi dalam studi lebih banyak difokuskan kepada sosialisasi penanganan dan penangkapan ular tanpa harus membunuhnya. Setelah sosialisasi di daerah-daerah, Creative of Snaker selalu meninggalkan alamat lengkap dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Hal ini berkaitan jika sewaktu-waktu ada ular yang ditemukan masyarakat, bisa langsung menghubungi komunitas ini tanpa harus menyakiti sang ular. Jika ular diserahkan, biasanya Badril dan teman-teman akan merawat beberapa minggu, jika sariawan -penyakit khas ular- akan diobati terlebih dahulu kemudian dilepas ke alam bebas.
Sampai sekarang komunitas ini telah memiliki koleksi 12 ekor ular dari berbagai jenis. Ada ular piton, kobra, ular daun, ular cincin emas, dan lainnya. Ular-ular ini digunakan sebagai bahan pengajaran ketika studi kepada masyarakat, mahasiswa, maupun siswa.
Merawatnya tidaklah begitu sulit. Kandangkan ular ke dalam sebuah kotak yang diperkirakan sesuai dengan ukuran tubuhnya ketika melingkar. Alasi kotak dengan serbuk kayu, dan jangan lupa memberi lubang ventilasi kiri-kanan dan depan-belakang kotak untuk sirkulasi udara. Setiap tiga minggu sekali ular-ular ini diberi makan, ada ayam atau tikus. Di sisi lain, ular-ular tersebut harus dibersihkan lebih intens ketika terjadi proses tukar kulit, berlangsungnya setiap sekali sebulan. “Kalau tidak dibantu, kulitnya kurang cemerlang dan bercahaya,” jelas Ade, sambil membersihkan kulit Rama yang baru selesai proses tukar kulit.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...