Skip to main content

Pornografi Ancaman Karakter Bangsa

Maraknya peredaran video seks di dunia maya yang ‘menghimbau’ masyarakat luas untuk melihatnya, semakin mencerminkan watak bangsa yang memprihatinkan. Peredarannya begitu mudah diakses oleh siapa saja, termasuk di sini remaja dan anak-anak. Yang menjadi momok menakutkan adalah, aktor atau pelaku dalam video seks ialah seorang publik figur yang menjadi idola. Kenyataannya, apa yang dilakukan oleh pengidola tidak akan jauh-jauh dari apa pula yang dilakukan idola, yang selalu dibanggakannya.
Mudahnya remaja dan anak-anak mengakses internet yang di dalamnya banyak gambar dan video seks, akan menjadi semacam ancaman yang serius. Degradasi moral dan pembentukan karakter yang bobrok pun akan merajalela. Ini lah kecemasan dan ketakutan serius, baik bagi orang tua, keluarga, maupun negara. Antisipasi dan tindakan yang mangarah kepada ketertiban-ketertiban penguasa internet, mulai dilakukan pemerintah, seiring maraknya beredar video seks sepuluh hari belakangan.
Beredarnya video seks yang aktornya publik figur, menjadi perhatian bangsa dan elemen-elemen lainnya. Hal ini menjadi ancaman besar bagi pembentukan dan perkembangan moral anak bangsa. Karena peredaran video tersebut berpotensi memancing rasa ingin tahu publik, dan kemudian memburu video itu lewat internet. Hal ini menjadi kasus serius yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Semakin mudahnya setiap golongan dapat mengakses video seks, pada hakikatnya tidak terlepas dari media yang menampilkannya. Baik hanya berupa foto-foto ataupun potongan-potongan video yang notabene akan tetap memancing pemirsa untuk mencari link video tersebut. Kemudian melihat, menonton, dan tidak menutup kemungkinan memperagakannya, dalam bentuk apa pun.
Media merupakan sarana dan media yang menjadikan ‘aktor’ dan ‘penonton’ menjadi jauh lebih dekat dan akrab. Melalui media, ‘penonton’ bisa menyaksikan apa saja yang ingin disaksikan. Terlebih lagi dengan media online zaman sekarang. Tak ada lagi batas. Tak ada lagi hambatan. Hanya dalam hitungan detik, ‘penonton’ bisa mengakses apa saja, sesuka hati dan perut ‘penonton’.
Penguasaan dan penggunaan media online bagi remaja dan anak-anak juga semakin meningkat. Hal tak bisa dipungkiri. Media online juga harus diajarkan kepada remaja dan anak-anak baik di sekolah, keluarga, maupun di dunia sosial lainnya. Penguasaan dan penggunaan internet akan semakin meningkatkan akses remaja dan anak-anak kepada dunia maya, dan tak pelak lagi termasuk situs-situs yang tidak ‘menyehatkan’.
Media menjadi faktor penting dalam menginformasikan, menyebarluaskan, dan bahkan membuat lebih sensasional dalam kasus video seks yang belakangan hampir menyita perhatian bangsa Indonesia. Dari pagi hingga malam, media selalu menampilkan kasus video tersebut. Tidak hanya media elektronik termasuk di sini media cetak dengan style tersendiri. Dalam hal ini media hanya menampilkan info-info yang sensasional dan kurang profesional. Fungsi media dalam hal pendidikan diabaikan dan dibiarkan saja. Hanya ‘penonton’ yang dituntut menjadikannya pendidikan atau sebaliknya, dijadikan sampah.
Nah, bagaimana dengan slogan pendidikan berkarakter yang didengung-dengungkan beberapa waktu lalu oleh pemerintahan. Pendidikan yang jauh dari kebohongan, bermoral, beretika, tidak antisosial, dan tidak antidemokrasi. Inilah model pendidikan yang coba dibangun kemudian ditularkan oleh pendidik kepada semua elemen di masyarakat, termasuk di sini publik figur dan media, tentunya.
Model pendidikan ini pun menjadi tren tersendiri bagi pembangunan bangsa, khususnya bagi lembaga pendidikan dan sejenis lainnya. Hampir setiap pihak, dihimbau untuk mengembangkan dan menularkan model pendidikan ini. Konsepnya tidak lagi memanusiakan manusia tetapi justru memuliakan manusia. Diharapkan dengan model pendidikan berkarakter ini dapat melahirkan manusia-manusia dan generasi muda yang cerdas, bermoral, berkarakter, dan terampil.
Tantangannya sekarang adalah mampukah konsep pendidikan berkarakter menerjang dan melawan arus dari pengaruh dunia maya yang tak terbendung? Jangan sampai konsep pendidikan berkarakter tidak hanya retorika dan dialektis yang hampa. Jangan sampai dengan semakin bebasnya media menampilkan info-info tanpa etika dan tidak menjunjung kode etik profesi, adalah salah satu sarana menjadikan moral bangsa ini semakin buruk dan mengkhawatirkan.
Menilik dari fenomena ini, semua elemen bertanggung jawab agar anak-anak dan remaja tidak menjadi korban degradasi moral dari menyebarnya video seks tersebut. Anak-anak dan remaja harus dihindarkan dari hal-hal yang berbau pengaksesan situs porno. Tentu hal ini tidak baik bagi perkembangan, baik fisik maupun psikis mereka. Pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang dan berkuasan, susah sebaiknya mengambil tindakan yang bijak bagaimana menyelesaikan kasus video seks yang bertebaran di dunia maya.
Sebenarnya tidak hanya pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat sosial sudah sepatutnya menjauhkan anak-anak dan remaja dari dunia yang tidak mendidik tersebut. Regulasi atau peraturan untuk hal ini telah ada, namun implementasi dan aplikasi yang mapan belumlah menampakkan titik terang yang mengharapkan. Hal ini merupakan tantangan baru bagi pihak yang berwenang bagaimana menegaskan dan mengaplikasikan sanksi yang tegas dan tidak pandang bulu baik, bagi aktor, penyebar, maupun pengunduh dan yang mengajak melihatnya. Tidak terlambat untuk selalu memperbaiki diri dan merekonstruksi kembali watak dan karakter bangsa yang (sudah) mulai mengarah kepada penipisan moral.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...