Skip to main content

Menikmati Budaya Populer, Melihat Indonesia



Buku ini dibuka dengan judul bab yang agak multitafsir, Mengenang Masa Depan. Bab ini bicara tentang bagaimana kita membaca masa depan Indonesia yang bermodalkan sisa-sisa sejarah yang serba lapuk dan keterkejutan-keterkejutan pada masa kini yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ariel menjelaskan bahwa tantangan yang lebih berat pascamusuh bersama (baca: rezim otoriter Orde Baru) tumbang ialah memelihara persatuan bersama agar bisa melangkah maju dan menikmati buah kemenangan tersebut (hal: 5). Mengapa dengan Mengenang Masa Depan? Sepertinya, ada persamaan atau paling tidak korelasi kontinuitas –dari diskontinuitas yang pernah terjadi (tragedi 1965)- dalam bahasa Ariel ialah kesejajaran situasi antara Indonesia mutakhir dan masa sesudah kemerdekaan. Ada tiga alasan yang menguatkan argumen ini, yaitu pertama, perlunya memahami kondisi masa kini dengan perspektif historis yang sepadan; kedua, perlunya mengenali masalah ideologi hiper-nasionalis yang telah menguasai imajinasi publik; ketiga, perlunya membongkar amnesia publik Indonesia tentang sejarahnya sendiri yang kompleks. Dalam buku ini Ariel memang memakai kacamata historis guna meneroka Indonesia dan keindonesiaan kontemporer berupa praktik-praktik budaya layar ala era 21 (sinema, televisi, internet, dan media sosial).

Pasca-1998, publik menyambut dan merayakan kemenangan dengan, misal tidak lagi wajib menonton film Pengkhianatan G 30 September/PKI setiap tahun, perayaan barongsai pada tahun baru Imlek (budaya Tionghoa) secara terbuka, atau perubahan image pakaian muslimah yang tadinya berkonotasi perlawanan menjadi lebih kepada perayaan fashion di kalangan perempuan muda kaya perkotaan. Belum lagi soal perluasan industri media –konglomerasi maupun spasialisasi media ke media baru yang merupakan bagian dari sistem media liberatarian-, serta masifnya disfungsi peran ganda dan istimewa aparat militer dalam kelembagaan politik. Akan tetapi, hari ini tepat di depan mata kita praktik oligarki politik begitu nyata dan vulgar di lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif yang tak ubahnya ketika pada masa dekade 1950-an. Tahun 1998, dalam banyak kajian budaya maupun politik, kerapkali menjadi fase awal dari proses pembentukan apa yang disebut sebagai ‘Indonesia Baru’, Indonesia yang bermartabat dan sekaligus Indonesia yang lebih ‘humanis’.

Budaya populer merupakan bagian dari pranata dan praktik sosial yang lebih luas yang pada umumnya ditujukan sebagai hiburan (komoditas) kepada publik, di mana publik dihitung sebagai konsumen (hal 21-22). Identitas keindonesiaan ‘dicari-temukan’ melalui berbagai budaya populer (budaya layar) yang berseliweran dalam keseharian publik. Ariel sengaja memilih beberapa film besutan duo sineas terkemuka Riri Reza dan Mira Lesmana. Seperti, sekuel Laskar Pelangi, trilogi Merah Putih (1,2 dan 3), Garuda (1 dan 2), dan Gie. Film-film ini memiliki satu garis lurus tentang sepak terjang orang-orang hiper-nasionalis yang mencintai Indonesia tanpa syarat, cinta yang sangat buta. Pengagungan kebangsaan semakin memuncak ketika dihadapkan pada kisah-kisah yang nadanya meromantisme masa lalu. Tapi pada saat yang bersamaan konflik-konflik berskala lokal-nasional pun semakin akrab dalam pemberitaan media-media kita. Mulai dari perdebatan undang-undang anti-pornografi, diskriminasi dan konflik yang berbau teologis dan etnisitas, penghilangan nyawa karena perebutan sumber daya alam, dan seterusnya. Konflik-konflik ini justru terjadi ketika rezim otoriter tak lagi berkuasa secara legal-formal. Belum lagi tentang kebangkitan Islam dan Islamisasi yang tak jarang berkonotasi negatif baik dalam perspektif politik keamanan nasional (baca: demonstrasi benih-benih jihadis ISIS) maupun bagian dari praktik neo-liberalisme dalam skala kapitalisme global yang berorientasi profit semata.

Di tengah kebangkitan-kebangkitan itu, budaya populer mendapat tempat sebagai ruang perebutan ideologi bagi ‘kaum kekinian’, kelompok hegemonik yang berada di luar kekuasaan negara. Mereka memanfaatkan ruang-ruang publik dalam media (film dan media sosial) sebagai bagian dari agenda politik, menyebarkan nilai dan ideologi yang mereka anut. Dan, tentu saja sebagian yang lain mencoba menahan laju perkembangan budaya populer dengan modal keagamaan yang kuat dan atas dasar menjaga moralitas anak bangsa. Praktik budaya populer hari ini dan deretan konflik yang menyertainya adalah bagian dari bentuk amnesia sejarah sebagian besar publik Indonesia, yang tak menyadari banyaknya ruang kosong dari proses pembentukan dan transformasi Indonesia dari setiap rezim yang berkuasa. Dampaknya, kata Ariel, tersebar-luasnya kepicikan wawasan historis dalam mendiskusikan masalah-masalah mutakhir Indonesia hari ini. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, sedikit-sedikit berkonflik, sedikit-sedikit mendiskriminasi, bahkan sedikit-sedikit mengkafirkan.


Judul Buku : Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia
Penulis : Ariel Heryanto
Penerjemah : Eric Sasono
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : Juni 2015
Judul Asal : Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture

Foto: Google







Comments

Post a Comment

Silahkan berkomentar ^_^

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...