Skip to main content

Menenteng ‘Warung Kopi’ Viral Kemana-mana




Seorang teman jauh-jauh dari ujung Sumatera sana ketika sampai di Yogyakarta ingin sekali pulang kampung. Bukan kangen pada ibu-bapak, tapi teringat pada warung-warung kopi yang bertebaran di kampungnya. Setelah ia belajar tentang konsep public sphere (ruang publik) yang sangat hits itu, seketika itu juga ia terbayang bagaimana para lelaki di kampungnya saban pagi dan petang membunuh waktu bercengkerama membicarakan berbagai hal di warung-warung kopi. Sembari menyeduh kopi gayo yang semerbak itu, bermacam obrolan dihempaskan di atas meja. Sebut saja, mulai dari mahar perkawinan, dominasi partai nasional pada partai lokal, isu separatisme, hingga qanun syariah yang penuh pro-kontra itu. Bagi sang teman, warung kopi di kampungnya ternyata sangat ‘revolusioner’, meski tidak mengubah keadaan secara drastis, tapi tingkat keterlibatan (partisipasi) warga dalam obrolan-obrolan wacana publik cukup tinggi. “Inilah demokrasi dengan kearifan lokal itu”, katanya sembari menyeruput Kapal Api.

Lain di Aceh, lain pula di Yogyakarta. Warung-warung kopi di tengah kota Yogyakarta adalah tongkrongan-tongkrongan dengan cita rasa estetik yang tinggi guna memuaskan hasrat sesaat para anak muda (mahasiswa) yang haus keramaian atau krisis quota internet. Semakin malam, warung kopi semakin ramai. Sialnya, kecepatan mendownload semakin lambat. Ramainya pengunjung warung kopi di kota ini, pada beberapa hal juga diperuntukkan sebagai ruang publik: ruang publik merayakan ulang tahun, ruang publik kencan pertama setelah dinner tentunya, ruang publik bermain kartu, ruang publik bagi segerombolan anak muda jomblo, dan ruang publik bagi pengamat budaya pop amatiran. Kenapa bisa begitu? Karena, perbedaan antara warung kopi di Aceh dan di Yogyakarta terletak pada iringan musik yang menyertai warung kopi tersebut. Di Yogyakarta pada umumnya warung kopi dilengkapi dengan alunan musik –paling sering diputar Happy dari Pharrell Williams- sementara di Aceh tidak. Ini jawaban awal. Jawaban lainnya sebagai berikut.

Jika anda follower dari akun twitter Partai Social Media (@PartaiSocmed), setiap pagi anda akan menyaksikan admin akun ini mengetwit ungkapan “selamat pagi”, ungkapan “menyeduh kopi”, dan ungkapan yang paling ngetren adalah “menyalakan sesuatu” (memantik rokok). Kalau sudah begitu ada saja satu-dua follower kemudian menawari dan menyuguhi goreng pisang lah, mendoan lah, rebus ubi lah, teh manis lah, dan sejenisnya yang akrab disantap untuk sarapan bagi orang Indonesia. Bentuknya bisa berupa tulisan, gambar, serta gabungan keduanya (twitpic). Ritual itu hampir setiap pagi dilakukan sebelum memulai aktivitas “kerja”: ngetwit atau kultwit soal isu-isu politik terhangat di tanah air. Belakangan akun tersebut tidak lagi melakukan hal itu, konon adminnya sekarang berhenti merokok dan minum kopi.

Selain itu, jika lingkaran pertemanan anda di twitter bersinggungan dengan geng #pekok, suasana obrolan warung kopi akan lebih terasa. Member geng ini tersebar pada beberapa kota besar: Yogyakarta, Jabodetabek, dan Jateng. Dari kecenderungan bahasa yang mereka gunakan, bahasa Jawa-Yogyakarta, sepertinya mereka sering kopdar di kota Jogja. Latar belakang anggota geng ini beragam. Ada PNS, ada aktivis pecinta hewan, ada penulis, ada pengusaha, ada karyawan, katanya juga ada pengajar, dan profesi lainnya. Obrolan mereka tidak jauh-jauh dari seputar aktivitas pertemanan antar-mereka. Entah perayaan ulang tahun seorang teman dengan memproduksi hashtag ucapan selamat, entah agenda berpantun yang diadakan sepekan sekali (dalam bahasa Jawa), entah ejek-ejekan terhadap kelakuan seorang teman di antara mereka. Akan tetapi, pada isu-isu tertentu mereka juga ambil bagian dengan caranya masing-masing. Misal, gerakan anti-miras, gerakan save kretek, hingga gerakan save dedek-dedek gemes. Tidak bermaksud menggeneralkan, pada umumnya aktivitas sosial media pada lingkaran pertemanan ini cenderung untuk mengobrol santai saja laiknya tengah berada di warung kopi sembari leyeh-leyeh dan ketawa-ketawa. Ingat, mereka memiliki profesi utama.

Budaya Komunal dan Gotong Royong pada Media Sosial
Tak seorang pun dari member geng #pekok yang saya kenali secara akrab atau pernah bergabung kopdar dengan mereka di kota Jogja. Tapi, dalam praktik bercakap-cakap di twitter (berbalas mention) kerap terjadi. Ada anggapan bahwa orang Indonesia itu cenderung lebih mudah bergaul dan mudah akrab dengan orang lain. Pendapat ini kerap dilontarkan oleh orang asing yang datang ke Indonesia, khususnya Jogja, bahwa kita adalah orang-orang yang mudah memberikan senyum, ramah, dan berbaik sangka. Pendapat ini sepertinya sesuai dengan kondisi riil masyarakat kita yang kemudian dibawa atau terbawa dalam praktik kita bermedia sosial hari ini. Pun dengan kondisi sosial masyarakat kita yang memiliki tradisi budaya suka mengobrol (budaya lisan). Hal ini juga dibawa dan terbawa-bawa dalam praktik kita bermedia sosial yang suka membicarakan atau mengomentari apa saja. Pada beberapa waktu dengan konteks sosial politik tertentu, laman twitter jauh lebih berisik dan membuat capek ketimbang kehidupan nyata dan pekerjaan yang kita lakoni sehari-hari. Misal, pada peringatan Hari Buruh Internasional, peringatan Valentine, dan peringatan lainnya yang berpotensi tinggi untuk diulas panjang.

Tingkat partisipasi kita yang cukup tinggi itu membuat sesama pengguna media sosial lebih mudah akrab, meski tak sekalipun pernah bersua apalagi melakukan proyek bersama. Dengan kata lain, keakraban yang minim syarat itu mendorong kita, pengguna media sosial (netizen) melakukan aksi-aksi sosial bersama di media sosial yang tidak jarang tampak heroik. Para pengkaji cyberculture menyebut kegiatan tersebut dengan istilah cyberactivism atau click-activism. Aktivis-aktivis siber berseliweran di timeland twitter guna melakukan kampanye isu-isu publik yang menjadi konsen mereka, lalu mendorong dan memobilisasi netizen untuk terlibat ambil bagian. Syukur-syukur berlanjut ke dunia off-line. Banyak contoh yang bisa diambil dari gerakan cyberactivism ini. Misal, gerakan adili pembunuh gadis mungil Angeline di Bali, gerakan menolak asap, atau gerakan lengserkan Setya Novanto. Saya sendiri, setiap hari tidak kurang menerima email yang berisi dua petisi dengan tema berbeda. Satu-satunya wadah perubahan yang kerap digunakan dari dunia online ialah Change.org. Change.org dapat dikatakan sebagai petisi daring yang menjadi primadona bagi aktivis siber di Indonesia guna mengubah kondisi yang tidak becus yang terjadi di sekitar kita.

Meningkatnya gerakan cyberactivism ini tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan budaya kita yang gemar kumpul-kumpul yang pada mulanya diawali di warung-warung kopi secara off-line. Pun dengan kegiatan gotong royong yang sangat akrab dalam kehidupan keseharian kita yang kemudian terbawa ke media sosial, berupa click-activism yang tanpa pikir panjang gampang sekali kita lakukan –satu dari dua petisi biasanya saya tandatangani. Fenomena ini juga tidak bisa dilepaskan dari kesibukan kita dengan pekerjaan atau aktivitas yang menyita waktu dan sedikit sekali memungkinkan kita melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Di Jogja, di kompleks tempat saya indekos, bagi laki-laki paling tidak jaga malam, sementara bagi perempuan buat kumpul bersama paling tidak arisan atau pengajian, itupun jika arisan dan pengajian dianggap memiliki nilai dan abdi sosial. Cyberactivism dan gotong royong secara viral (tanda tangan petisi misalnya) seakan-akan dan bisa jadi menjadi pilihan akhir dari kesempatan kita melakukan aksi sosial. Tentu saja banyak yang tidak bersepakat dengan pendapat ini dan sangat terbuka untuk didiskusikan ulang mengingat tidak sedikit para aktivis gerakan yang gemar turun ke jalan dan beraksi lebih nyata ketimbang hanya meng-klik ini itu di layar ponsel, tablet, atau laptop mereka. Yang ingin ditekankan di sini adalah transformasi budaya komunal dan tradisi gotong royong kita yang terjadi dalam dunia online sebagai trend masa kini dari cara kita bermedia sosial.

‘Warung Kopi’ Viral
Kembali ke warung kopi. Aura dan suasana bermedia sosial seperti yang dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini, kurang lebih, berasa seperti di warung-warung kopi nun jauh di kampung halaman teman saya itu. Paling tidak juga mirip dengan warung-warung kopi di sekitar rumah di kampung saya. Tapi, tetap ada perbedaan, bahwa ‘warung kopi’ ini berlangsung secara viral: tanpa sekat materi, menembus ruang dengan dimensi dan cakupan jauh lebih luas. Sekat yang paling jelas membatasi peserta yang akan ikut berkomentar ialah minat dan luasan pengetahuan yang tidak selalu sama. Pada warung-warung kopi konvensional, identitas lengkap peserta tidaklah menjadi poin penting yang perlu dibahas dalam. Sejauh ia memiliki pengetahuan untuk ikut ambil bagian dalam diskusi tersebut, sejauh itu pula ia dapat menjadi bagian dari lingkaran orang-orang di warung kopi. Hal yang senada terjadi di ‘warung kopi’ viral di mana peserta yang membalas mention (cuitan) menjadi bagian dari diskusi yang kerap panas dan alot. Keterbukaan antarpeserta dengan pendatang baru –yang ikut berkomentar- serta rasa partisipasi/keterlibatan yang tinggi tadi memungkinkan mudahnya terjadi komunikasi yang akrab, sekaligus yang tak dapat dinafikan debat yang tak berkesudahan. Para pengguna twitter menyebutnya dengan istilah tweetwar/twitwar (perang tweet). Perhatikan bagaimana akun Partai Social Media dan akun Kurawa yang kerap berbeda pendapat tentang satu hal persoalan publik, entah dalam penyuguhan data, entah dalam pembacaan dan interpretasi terhadap fenomena sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya di laman-laman timeland kita.

Dengan uraian di atas, agaknya dapat dikatakan bahwa ‘warung kopi’ viral sebenarnya tidak saja terjadi di twitter, tapi juga di laman-laman facebook, pada grup-grup whatsapp, dan sebagainya –mungkin saja bisa sama dengan kondisi di path dan atau instagram. Pada laman-laman tersebut kita dapat menyaksikan bagaimana orang-orang dalam lingkaran pertemanan kita selalu membagi sesuatu yang dapat dibicarakan bersama, sesuatu yang dapat dinilai bersama, dan sesuatu yang tidak jarang mendatangkan manfaat bersama –termasuk praktik jual beli. Timeland twitter, dinding facebook, dan grup whatsapp -yang biasanya tergabung pada lebih dari satu grup- merupakan ruang-ruang komunitas yang ikatannya bisa saja sangat longgar atau sangat kuat/akrab. Dimensi pertemanan, dimensi komunitas yang terbentuk melalui media sosial menjadi sesuatu yang perlu untuk didefinisikan kembali, untuk dibicarakan ulang mengingat ada banyak perubahan yang terjadi dalam praktik keseharian kita yang nyaris tak lepas bersentuhan dengan dunia digital. Di tengah masih banyaknya warung kopi di Jogja dan kota lain, sebenarnya masing-masing dari kita sedang menenteng ‘warung-warung kopi’ viral kita kemana kita pergi. Warung kopi kita tidak pernah habis dan ‘warung kopi’ viral kita tidak pernah tutup.

Foto: Google










Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...