Skip to main content

25 dan 26




Ini tahun-tahun reflektif. Apa-apa saja yang sudah dikerjakan untuk orang lain, dan apa saja yang sudah dicapai untuk diri sendiri. Yang sudah dikerjakan untuk orang lain bisa jadi tak banyak dan tak ada catatan yang penuh tentang itu. Membantu kepada sesama mengalir dan mengalir pula dilupakan pada masa lalu. Karena memang ia tidak perlu dicatat oleh sejarah pribadi. Karena ia memang sudah mesti pergi begitu saja. Tak perlu mengenang segala kebaikan, karena mengenang adalah pekerjaan yang membosankan, meski itu adalah kenangan baik dan manis. Serius, tak perlu.

Apa mungkin mengenang kembali orang-orang sakit yang pernah didampingi? Apa enaknya mengenang kembali seseorang yang terluka untuk dibawa ulas hingga hari ini? Cukup ya cukup. Kisah bersama orang lain biarlah menjadi cerita yang ada dan eksis pada hari itu saja. Tak perlu dibesar-besarkan hingga hari ini. Menjenguk si sakit, membantu yang lemah biarlah menjadi sesuatu yang tetap ada di hati. Ia tak perlu dipanggil kembali dan diulaskan hari ini di ruang-ruang bersama. Mengulas kesedihan, kepayahan, dan kenelangsaan seseorang di masa lampau tidak mengubah apa-apa. Yang ada adalah rasa percaya diri hingga merasa paling baik dan benar yang semakin besar menerpa. Sungguh, gampang sekali tergelincir ke arah sana. Baiknya, hindari segera.

Ini perayaan yang ke-26, seperti yang sudah-sudah, selalu dilengkapi rasa syukur dan berbaik sangka. Selalu mencoba untuk merefleksikan pada masa lalu, dan biasanya selalu gagal jika dibangunkan sebuah rencana ke depan untuk hari esok. Kata orang, penyandang sagitarius cenderung berjalan dan berbuat sesuatu tidak memerlukan rencana. Saya terbahak berhari-hari setelah mengetahui hal itu. Betul memang. Setiap rencana akan banyak sekali meleset dan gagal ketimbang berjalan berhasil. Dan, seterusterangnya, saya seringkali membaca sifat dan karakter sagitarius itu baik versi primbon, astrologi, maupun shio (hahahahaha). Tapi baru menemukan kalau sagitarius berjalan lebih banyak tanpa rencana. Ia berjalan sesuka hatinya. Dan gampang sekali menemukan orang-orang baru yang membuatnya cepat merasa nyaman. Hari ini saya mulai belajar menyadari dan merasakannya.

Di 26 ini, ada beberapa hal yang agaknya menarik bagi saya. Ini mungkin lucu, tapi bolehlah tertawa. Saya berhasil mendatangkan ibu ke Yogyakarta (hahahaha). Memperkenalkan ibu ke kampus tempat saya kuliah (hahahaha). Dan, membawa ibu jalan-jalan naik candi Borobudur (hahahaha). Eits, melihat kondisi candi tersebut hari ini: banyak pengawas yang mengawasi tingkah laku pengunjung yang naik ke candi, bisa jadi pada 2020 candi Borobudur tidak diperkenankan lagi dinaiki oleh pengunjung karena konstruksi bangunan tersebut mulai aus, terkikis, dan rapuh. Pengunjung barangkali hanya akan bisa melihat dari jarak 2 meter dari candi yang dibatasi oleh pagar besi. Ini bahaya! Merupakan kesempatan langka masih bisa menaiki candi tersebut pada tahun-tahun ini. Makanya saya senang sekali ibu bisa melihatnya secara langsung.

Di 25 dan 26 saya belajar memahami kembali keputusan-keputusan besar yang pernah saya ambil. Mendekati sesuatu, dan sekaligus menjauhi sesuatu. Tidak gampang. Banyak pertarungan, khususnya soal akal dan perasaan. Untuk tetap berada dalam lajur yang bersesuaian dengan diri saya, saya mencoba membangun kondisi sekitar bak rumah di mana ibu dan kakak-kakak saya selalu berada dan memperhatikan saya. Latar belakang keluarga saya yang tidak fanatikan terhadap sesuatu (tidak melihat sesuatu secara hitam-putih) membantu saya untuk menjadi seperti hari ini. Di mana pun berada, di kota manapun, mencoba selalu membayangkan rumah pun berada di sana. Dengan begitu, keputusan-keputusan tadi (yang tidak biasa), saya pikul dengan agak begitu enteng. Saya bersyukur berada dalam lingkaran orang-orang yang berprasangka positif terhadap saya. Meski mereka bukanlah keluarga batih saya, ada ikatan darah dan silsilah keturunan. Tapi mereka begitu hangat dan yang menjadi tantangan adalah bagaimana saya bisa berprilaku sehangat mereka kepada mereka. Hingga hari ini, saya membayar itu semua dengan agak mahal: waktu dan kesabaran. Tapi tak apa. Kata teman saya, itu amal jariyah (hahahahaha).

Di 26 saya tengah merencanakan sesuatu yang setiap hari saya ingat-ingat, setiap hari pula ia pecah dan berantakan. Kembali saya susun menjelang tidur. Ketika bangun pagi, ketika saya mengingat, kembali ia pecah dan berantakan. Hingga pada suatu ketika saya biarkan begitu saja. Saya tinggalkan ia di kamar. Ketika pulang ia menemui saya kembali dan mengancam akan memecahkan diri seperti biasanya jika tidak saya acuhkan. Saya biarkan ia pecah berkali-kali. Dan hari ini saya terbiasa dengan rencana hidup yang bopeng dan pecah di sudut sana sini. Saya hanya tertawa jika ditanyai soal ini. Entahlah, saya hanya begini, tidak menjadi apa-apa. Kemudian saya membayangkan ketika di SD dulu, ketika guru bertanya tentang cita-cita saya. Saya ingin jadi dokter, Bu! Alangkah mudah dan gampangnya hidup di masa kecil. Dan alangkah semrawutnya hidup dua dekade kemudian (hahahaha).

Tiba-tiba seorang teman memotong lamunan saya. Ini teman yang paling hancur di Jogja.

Adek, kenapa orang begitu mudah menikah lalu punya anak?

Saya langsung terbahak mendapat tanya macam begini dari seorang teman yang sama-sama suka bergosip. Bagi saya itu agak lucu. Karena saya tidak sedang merencanakan menikah dan punya anak. Sekenanya saya jawab, itu serangan virus. Virus karena mereka hidup di lingkaran orang-orang yang sudah menikah dan punya anak. Ini berbeda dengan seseorang yang tidak berada dalam lingkaran macam begitu. Ia menyusul terbahak. Mengingat orang-orang yang berada di sekelilingnya: rerata ibu-ibu. Sudahlah.

Seperti yang sudah-sudah, pada akhir tahun ada banyak agenda yang dapat dikeruk ilmunya. Saya si kecil yang rakus dengan itu semua. Kemudian saya berpikir, meski hidup saya berjalan tanpa rencana yang ajeg, ada baiknya saya mulai belajar, paling tidak tetap berada di lajur yang segaris dengan garis besar rencana saya. Untuk sejalan beriringan tanpa membelot, agaknya itu sulit dan mustahil. Iya, saya mesti membangun itu semua. Semata-mata agar saya tetap berpikir rutin sesuai dengan apa yang saya sukai dan menarik tentunya. Sebagai pengingat, saya cukup cerdas untuk melihat sesuatu yang tampak tidak menarik menjadi sesuatu yang tampak menarik (hahahaha).


Selamat ulang tahun, Adek!


Foto: Google

Comments

Post a Comment

Silahkan berkomentar ^_^

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...