Pengalaman menonton 10th Jogja-Netpac Asian Film Festival 2015
Perhelatan Jogja-Netpac, salah satu festival film terkeren di dunia dalam lingkup Asia yang berpusat di Yogyakarta, baru saja selesai. Saya dua kali mengikuti festival film ini, 2013 dan 2015. Posisi saya ialah sebagai pendengar yang setia dari public lecture yang diadakan JAFF, dan tidak ketinggalan sebagai penonton yang baik pada film-film yang diputar di festival tersebut. JAFF tahun ini mengangkat tema tentang [Be]Coming, datang dan menjadi. Tema ini menarik, bahwa kita dan kehidupan kita pada dasarnya tidak pernah berada pada titik ujung yang selesai. Ia selalu berada pada proses menjadi, proses mencari bentuk yang entah kapan usainya. Tema ini dipakai guna melihat dunia perfilman Asia yang berinteraksi dan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh film-film dunia, Amerika dan Eropa seperti Hollywood. Lebih spesifik, festival ini juga menegaskan kepada kita tentang posisi film-film Tanah Air, entah dalam interaksi dengan film-film dari Asia maupun secara global, mulai dari tema yang diusung, industri perfilman, hingga kajian-kajian tentang film kita di Indonesia.
Saya menonton beberapa film dengan genre yang berbeda. Ada film dokumenter, ada pula film fiksi-imajinasi pembuat film. Ada film pendek ada pula film panjang. Ada film yang ‘tak peduli’ pada pasar, ada pula film yang sangat berorientasi pada selera pasar –Garin Nugroho menyebutnya sebagai ‘sinema borongan’. Ada film dari dalam negeri, ada pula film dari luar negeri. Yang menarik dari film-film yang saya tonton adalah usaha menampilkan warna lokal dalam tema-tema keseharian: persahabatan, persaudaraan, keluarga, rekan kerja, dan dunia asmara. Tak hanya itu, konteks sosial dan politik negara-negara Asia yang tak luput dari konflik horizontal juga menjadi tema yang diusung oleh filmmaker terutama dari luar Indonesia. JAFF memutarkan beberapa film yang mengusung tema identitas dan pluralitas yang merupakan gambaran sosial masyarakat Asia hari ini. Tak ketinggalan, festival ini juga memberikan satu hari spesial bagi Jepang untuk menampilkan dan membicarakan industri film mereka, termasuk industri film dewasa Jepang yang sangat terkenal itu: Japan Adult Video.
Di JAFF, saya seperti agak-agak mengalami dejavu. Bukan pada peristiwa, tapi pada garis merah dari tema-tema film yang saya tonton. Misal, film dari Singapura, Taiwan, dan Hongkong adalah film-film dengan alur cerita yang menguras air mata. Temanya, biasanya bercerita tentang kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh orang yang sangat dicintai terhadap kelompok liyan: ayah yang menua, remaja perempuan yang cinta mati pada kekasihnya, dan difabel. Terus terang, saya mengalami depresi dengan film-film macam begini. Depresi karena harus menyaksikan sepanjang menit adegan-adegan yang mengaduk-aduk nurani dan perasaan kemanusiaan saya. Beberapa film serupa yang tidak beredar di festival, dari negara-negara yang sama, biasanya juga menjadikan anak kecil sebagai korban, entah pembulian (bullying), entah ketidakadilan –anak jadi korban lapis kesekian- yang dibungkus dengan adegan laga atau bencana. Saya sudah menonton film dari negara-negara tersebut dengan tema yang ‘khas’ sejak beberapa tahun silam. Saya kembali menyaksikan tema yang ‘khas’ tersebut di JAFF tahun 2015. Sepertinya ini bukan kejutan. Saya mengira-kira ini bagian dari cerita kondisi sosial-politik di sana: bahwa rezim politik yang represif dan otoriter pada banyak hal berpengaruh terhadap dunia perfilman dan filmmaker itu sendiri guna memproduksi film dengan tema yang berbeda, beragam, dan kritis. Karena, yang jamak diketahui publik, bahwa gesekan politik semakin kencang di Hongkong. Demi stabilitas dan kemajuan bidang ekonomi, pemerintah Taiwan dan Singapura tutup mata dan tak ambil pusing dengan cara mereka memerintah yang terkesan tertutup dan absolut: shut up! And just watching. Pada titik ini kita akan bertanya, apa dan bagaimana cara kita mendefinisikan kelokalan?
Sementara di Indonesia, kita perlu berbangga karena sineas kita berada pada ruang yang cukup afirmatif guna mendukung mewujudkan ide-ide kreatif dan kritis mereka. Mereka cenderung leluasa mengeksplorasi imajinasi mengenai persoalan-persoalan yang dianggap sensitif dalam masyarakat. Cukup banyak film dari sineas kita yang bicara tentang toleransi dan pluralitas beragama, bersuku bangsa, atau yang menyorot tentang identitas seksual kelompok liyan hingga kehidupan orang-orang dari kelas sosial tertentu. Terlepas ini persoalan tren pasar yang tengah digandrungi industri film termasuk oleh penonton, tema-tema ini adalah tema-tema yang berkeliaran luas dalam perbincangan dan wacana publik, baik secara politik maupun sosial-budaya. Ambil bagiannya sineas Indonesia dalam diskusi publik yang luas tersebut, berupa film, sudah merupakan keberpihakan yang patut diapresiasi. Apresiasi yang tinggi juga diberikan kepada mereka yang memfilmkan kehidupan kelompok-kelompok marginal yang tidak diperhatikan atau tercover dalam perfilman arus utama selama ini. Sineas paling tidak secara terbuka memproklamirkan dirinya menjadi bagian dari masyarakat yang peduli kemudian mencurahkan pikiran dan tenaga pada hiruk-pikuk persoalan publik. Menurut Garin, fenomena ini merupakan tren dari sineas kita yang cenderung memproduksi film dengan tema-tema yang langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat penonton.
Tema Cerita Lokal Tak Pernah Mati
Saya terbahak ketika pertama kali melihat adegan gadis mengelus-eluskan pisang ke wajahnya dengan ekspresi senang-bahagia. Adegan ini ada dalam film pendek Merindu Mantan (Revenge) karya dari anak muda Indonesia yang menjadi film pilihan dari Viddsee Short Film Showcase, semacam lembaga film independen yang bermukim di Singapura. Seperti yang terangkup dalam judulnya, sang gadis menahan rindu sekaligus dendam kepada laki-laki yang sudah menjadi kekasih perempuan lain. Tak pikir panjang, pisang tadi diberi mantra lalu ditusuk dengan jarum. Kenyataan lapis pertama, pisang memang ditusuk oleh jarum. Kenyataan lapis kedua, sang mantan pacar kaget alang kepalang ketika ‘burung kemaluannya’ senat-senut perih secara tiba-tiba. Penonton, baik perempuan maupun laki-laki tentu bisa bayangkan betapa mengerikannya ketika pisang itu ditancapi oleh tusuk konde.
Adegan tusuk pisang ini mengingatkan saya pada film-film tenung-santet yang banyak tayang pada pesawat televisi dekade awal 2000an. Yang paling terkenal tentu saja film-film dari aktris legendaris Suzanna. Adegan santet dalam film waktu itu cenderung identik dengan film-film horor dan film-film seks. Film-film mendiang Suzanna tidak saja berkaitan dengan hantu perempuan yang mati diperkosa atau melahirkan, tapi juga diisi dengan cerita pesugihan, adegan seksual, dan ritual-ritual mistik lainnya. Kesemuanya itu tidak bisa dilepaskan dari tradisi kebudayaan Jawa yang menjadi latar belakang film dibuat. Merindu Mantan, seolah menjadi bagian dari satu adegan film-film Suzanna yang membawa saya pada pengalaman menonton masa-masa SMP dan suasana hari ini yang menggelitik imajinasi saya. Film ini, melalui Viddsee, bersaing dengan film-film dari negara Asia Pasifik termasuk Indonesia agar dapat diputar di JAFF tahun ini. Suatu capaian yang tidak mudah bukan?
Selain film fiksi, JAFF juga menawarkan saya film pilihan dari genre dokumenter. Harimau Minahasa karya Andang Kelana dan Syaiful Anwar yang membuat saya terkesan secara psiko-sosial. Bagaimana tidak, Budi, tokoh utama dari film tersebut yang mungkin saja hingga hari ini ia masih bermukim di Manado (Sulawesi) ternyata memiliki pengalaman pahit, tunangannya meninggal dalam sebuah kecelakaan di Mukomuko (Sumatera), tempat saya menghabiskan masa remaja. Saya ikut berduka atas tragedi tersebut. Budi sangat tidak sedang bergurau soal rantaunya hingga ke daerah ini. Andang dan Syaiful membuktikannya kepada saya melalui cerita konyol –yang oleh Budi dan pemuda di Mukomuko- kerap dipraktekkan: memeloroti celana dalam ketika bulu kuduk berdiri bertanda bertemu hantu laki-laki atau perempuan di sekitar pekuburan. Kata ibu saya yang penduduk migran di Mukomuko, konon hantu-hantu itu takut dengan kelamin yang tidak ditutupi kain atau daun. Tentu saja kita akan terbahak. Lebih terbahak lagi ketika saya menyaksikan Budi menuturkannya sungguh-sungguh bukan di depan orang Mukomuko.
Selain cerita melepas kolor ketika bertemu hantu, cerita lainnya ialah kisah bayi menangis pada malam hari di rerumpunan bambu. Di Mukomuko dikenal dengan cerita cingeak. Di Mukomuko, cingeak tak begitu digubris. Karena bayi itu adalah bayi jadi-jadian yang ditinggal mati oleh ibunya. Saya sendiri beberapa kali pernah mendengar tangis bayi ini di pekarangan belakang rumah yang ditanami bambu oleh mendiang bapak agar tanah tidak longsor terbawa arus sungai. Cuma, ibu selalu melarang jika abang berencana mencari asal suara tangis bayi di rimbun bambu: seperti apa sih rupa bayi jadi-jadian? Cerita seorang teman di Mukomuko, jika ia mendengar tangisan tersebut biasanya ia akan melemparkan puntung kayu ke rimbun bambu sebagai ganti ‘dada’ ibunya. Bayi akan berhenti menangis karena tengah disusui. Lagian, pada banyak cerita, si bayi tak pernah ditemukan. Cerita ini mirip dengan pengalaman Budi dalam Harimau Minahasa. Ia menuturkan pengalamannya mendengar tangis bayi ketika melewati kebun jagung di larut malam. Ia laporkan tangisan itu kepada bapaknya, bersama-sama mereka menyisir kebun jagung dan menemukan bayi perempuan di sekitaran rumpun bambu yang kemudian diangkat menjadi adik tiri perempuan Budi satu-satunya. Saya tidak bermaksud mengatakan adik tiri perempuan Budi keturunan bayi jadi-jadian. Karena, cerita itu terjadi di Jawa. Poinnya adalah Budi memiliki pengalaman cerita lokal, pengalaman budaya yang mirip dengan yang saya alami di Mukomuko.
Merindu Mantan dan Harimau Minahasa adalah dua film lokal yang berkesan bagi saya. Merindu Mantan mencoba menampilkan cerita asmara anak muda yang dibalut dengan konteks sosial-budaya yang melingkupinya. Kisah-kisah asmara selalu ada pada setiap generasi dengan warnanya sendiri. Kata dan istilah dalam dunia percintaan seperti pacar, mantan pacar, jomblo, ditelikung, di-PHP, di-friendzone, dianggap abang-adik dan seterusnya menjadi wacana yang tak habis-habis ditulis, dilagukan, serta difilmkan. Merindu Mantan terpilih untuk diputar pada JAFF tahun ini agaknya tidak hanya karena ia mengusung konten lokal mulai dari ritual mistik (tenung) dan identitas tradisi (Jawa) yang dipertontonkan kepada publik lintas negara-bangsa, tapi juga tema cinta membara antar-anak muda yang memabukkan dan mengaburkan akal sehat tersebut. Tema cinta membara ini menjadi tema universal yang juga terjadi di belahan bumi lain dengan ‘daya rusak’ yang dahsyat jika seseorang disakiti, dikhianati oleh pujaan hatinya.
Pada Harimau Minahasa, seperti kesan yang saya tuliskan di atas, cerita rakyat (folklore) yang menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat diolah menjadi mata rantai-mata rantai untuk menjelaskan siapa Budi di tanah Minahasa. Budi bisa jadi satu dari sekian banyak ‘harimau’ di luar sana yang kehidupannya menarik dan berguna untuk dikisahkan. Bagi saya, tingkah konyol Budi bertelanjang di pekuburan bukanlah sesuatu yang baru dan unik, meski saya tertawa ketika menontonnya. Tapi ini tidak bagi penonton dari luar Mukomuko atau daerah yang tidak mengenal cerita ini. Menggali unsur lokal dalam karya film sepertinya tidak semata-mata karena cerita, mitos, atau legenda tersebut hanya berada pada daerah tertentu (kelangkaan atau kekhasan cerita), tapi juga berkaitan dengan cara masyarakat merespon suatu fenomena yang sangat berbeda dengan masyarakat lainnya. Dalam Harimau Minahasa, aspek keberanian, jinggo-isme, kelaki-lakian, hingga wacana penaklukan terlihat disusun berdasarkan pengalaman-pengalaman kultural yang dialami oleh Budi mulai dari tanah kelahirannya di Jawa, bekerja di Sumatera, hingga menapak tanah Sulawesi. Film ini ditutup dengan adegan panjang Budi mengalami semacam kemasukan ketika tidur dan berubah menjadi kakek-kakek yang mengaku sebagai kakek buyut Budi dari tanah Jawa. Ia bicara dan meracau dalam bahasa Jawa yang disisipi adegan dan dialog lucu, terjadi miskomunikasi antara si kakek yang bersemayam dalam tubuh Budi dengan filmmaker yang tak mengerti bahasa Jawa.
Saya dan Kamu, Hanya Butuh Bioskop Kelas Bawah
Film-film yang dibuat oleh filmmaker Indonesia, pada umumnya hanya tayang di bioskop milik dinasti 21. Pun film-film tersebut acapkali kalah frekuensi tayang dengan film keluaran Hollywood yang meraja itu. Usia film Indonesia paling lama bertahan di bioskop 21 sekitar dua bulan. Ada juga yang hanya berumur sebulan, setelah itu ia diputar pada acara-acara komunitas atau festival di mana sutradaranya menjadi bagian dari acara tersebut. Acapkali kita menyaksikan film-film yang baru sebulan lalu di-launching sudah bisa ditonton di rumah di depan televisi. Satu sisi, kondisi ini menguntungkan bagi penonton, khususnya bagi mahasiswa. Harga tiket menonton di bioskop 21 tergolong cukup tinggi untuk kantong anak muda dan masyarakat pada umumnya. Di Indonesia, menonton adalah aktivitas hiburan sekunder bahkan tersier. Untuk mendapatkan hiburan, publik bisa datang ke pasar malam, pantai, pegunungan, taman, obyek bermain, serta obyek wisata lainnya. Menghabiskan uang Rp 50 ribu (ticket and food) untuk sekali menonton film, durasi 2 jam, adalah keputusan yang diambil secara tidak spontan dan tidak rutin dilakukan. Dengan nominal tersebut penonton film, apalagi di Yogyakarta, akan dihadapkan pada beberapa pilihan kebutuhan/keinginan lainnya. Lagi-lagi jika penonton film ini dibayangkan adalah mahasiswa dan masyarakat rata-rata yang ada banyak alternatif pemenuhan kebutuhan yang dapat ditutup dengan sejumlah nominal tersebut. Namun di sisi lain, ini tentu bukanlah kabar yang menggembirakan bagi sineas film dan industri film Tanah Air yang masih mencoba mengukuhkan kaki agar bisa berdiri kokoh, didukung sepenuhnya oleh pemerintah dan penonton Indonesia.
Pendeknya usia tayang film Indonesia di bioskop 21 termasuk modal menonton film yang cukup tinggi juga menjadi isu yang diperbincangkan dalam public lecture JAFF tempo hari. Dunia perfilman kita mulai dari hulu hingga hilir termasuk penonton tengah membutuhkan ruang-ruang pemutaran film yang komersil namun terjangkau oleh khalayak luas. Dinasti bioskop 21 hanya memutarkan film-film Indonesia yang baru dirilis dan itu pun usianya tak sampai seumur jagung. Setelah itu ia akan digantikan oleh film-film produksi luar negeri yang laju produksinya sangat cepat ketimbang industri film dalam negeri. Belum lagi persoalan harga tiket yang sepertinya dimonopoli oleh dinasti 21 saja. Kondisi yang belum menggembirakan ini disikapi dengan pembentukan komunitas-komunitas pencinta film di mana melalui komunitas itulah publik dapat menonton film, baik secara gratis maupun hanya dengan mengeluarkan ongkos yang lebih sedikit.
Saya sendiri menonton film jika tidak melalui VCD/DVD ya di bioskop 21. Karena, hanya jaringan bioskop itulah yang ada di kota yang saya singgahi. Masih terbayang ketika belasan tahun lalu, sekitar setengah kilometer dari rumah, persis di seberang bangunan SMP saya, pemerintah daerah membangun gedung tinggi, konon katanya diperuntukkan sebagai bioskop. Waktu itu, beberapa kali saya sempat bermain di bawah gedung bioskop yang tengah dibangun. Anda bisa bayangkan betapa senangnya hati ketika tahu akan ada tempat yang luas dan lebih nyaman untuk menonton film ketimbang lapangan bola (menonton layar tancap paling sering sekali setahun). Sepanjang ingatan saya, bioskop itu tak pernah memutarkan film, karena memang gedung tinggi itu tak pernah diselesaikan. Yang ada tiang dan dindingnya lapuk kemudian dijadikan bahan bakar oleh penduduk setempat. Bioskop menjadi barang langka dan mewah bagi saya waktu itu, dan bagi remaja/anak muda di sana hari ini. Sejarah kembali berulang.
Jika sudah begini, saya berharap besar pada pemerintah lokal serta pemilik modal untuk mengembangkan usaha mereka membangun bioskop-bioskop kecil dan sederhana di kota-kota provinsi hingga kabupaten di Indonesia. Jujur saja, saya juga tak cukup malu untuk membayangkan diri sebagai pengusaha bioskop, paling tidak untuk kota Padang dan Mukomuko. Beberapa kali teman saya teriak-teriak di media sosial betapa sulitnya mewujudkan keinginan menonton film di kota Padang karena, kabarnya, di sana tidak ada lagi bioskop. Padang pernah memiliki bioskop, Bioskop Raya. Kali terakhir saya mengunjungi bioskop itu sekitar 4 tahun lalu. Poster yang dipajang di depan gedung itu adalah poster-poster film horor. Sekarang, katanya bioskop itu sudah tutup. Entah kekurangan penonton, entah kekurangan film. Cukup kota Padang yang dijadikan contoh untuk menjelaskan betapa sendunya industri film kita di Indonesia. Jangan sekali-kali membandingkannya dengan Yogyakarta apalagi Ibu Kota. Betapa malangnya teman-teman saya di Padang, jangankan untuk menonton film keluaran terbaru Hollywood, menonton film keluaran lama produk dalam negeri saja susahnya minta ampun. Anda silahkan tertawa, karena seorang teman saya nekat pergi ke Pekanbaru guna menonton film (kalau tak salah Captain America yang kedua) di bioskop 21 di kota itu.
Dengan kondisi yang cukup menyedihkan ini, bagaimana kita akan bicara film Indonesia dalam lingkup Asia Pasifik jika akses bagi orang-orang yang ingin menonton film saja masih sulit dan terbatas. Akses terhadap film menjadi penting guna melahirkan sineas muda dan pengkaji film. Film Indonesia tidak akan kemana-mana jika pembuat film dan pengkaji film jarang menonton film. Dalam segi tema, dunia film tanah air cukup membanggakan dengan mengusung tema-tema yang beragam dan merespon kegelisahan publik. Dari segi jumlah produksi film, juga memperlihatkan kurva naik paling tidak stabil setiap tahun. Kondisi ini mestilah diikuti dengan distribusi film yang merata, yang tidak ditangani oleh satu pihak yang leluasa mendikte pasar film Tanah Air. Pada akhirnya, kita berharap besar pada pemerintah (Dinas Kebudayaan, Badan Industri Kreatif) betul-betul mengatur langkah pemilik modal agar lebih ‘ramah’ kepada publik penonton film. Soal film, saya tidak pernah putus berharap kepada negeri ini dan orang-orang yang mengurusinya.
Foto: Google
Perhelatan Jogja-Netpac, salah satu festival film terkeren di dunia dalam lingkup Asia yang berpusat di Yogyakarta, baru saja selesai. Saya dua kali mengikuti festival film ini, 2013 dan 2015. Posisi saya ialah sebagai pendengar yang setia dari public lecture yang diadakan JAFF, dan tidak ketinggalan sebagai penonton yang baik pada film-film yang diputar di festival tersebut. JAFF tahun ini mengangkat tema tentang [Be]Coming, datang dan menjadi. Tema ini menarik, bahwa kita dan kehidupan kita pada dasarnya tidak pernah berada pada titik ujung yang selesai. Ia selalu berada pada proses menjadi, proses mencari bentuk yang entah kapan usainya. Tema ini dipakai guna melihat dunia perfilman Asia yang berinteraksi dan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh film-film dunia, Amerika dan Eropa seperti Hollywood. Lebih spesifik, festival ini juga menegaskan kepada kita tentang posisi film-film Tanah Air, entah dalam interaksi dengan film-film dari Asia maupun secara global, mulai dari tema yang diusung, industri perfilman, hingga kajian-kajian tentang film kita di Indonesia.
Saya menonton beberapa film dengan genre yang berbeda. Ada film dokumenter, ada pula film fiksi-imajinasi pembuat film. Ada film pendek ada pula film panjang. Ada film yang ‘tak peduli’ pada pasar, ada pula film yang sangat berorientasi pada selera pasar –Garin Nugroho menyebutnya sebagai ‘sinema borongan’. Ada film dari dalam negeri, ada pula film dari luar negeri. Yang menarik dari film-film yang saya tonton adalah usaha menampilkan warna lokal dalam tema-tema keseharian: persahabatan, persaudaraan, keluarga, rekan kerja, dan dunia asmara. Tak hanya itu, konteks sosial dan politik negara-negara Asia yang tak luput dari konflik horizontal juga menjadi tema yang diusung oleh filmmaker terutama dari luar Indonesia. JAFF memutarkan beberapa film yang mengusung tema identitas dan pluralitas yang merupakan gambaran sosial masyarakat Asia hari ini. Tak ketinggalan, festival ini juga memberikan satu hari spesial bagi Jepang untuk menampilkan dan membicarakan industri film mereka, termasuk industri film dewasa Jepang yang sangat terkenal itu: Japan Adult Video.
Di JAFF, saya seperti agak-agak mengalami dejavu. Bukan pada peristiwa, tapi pada garis merah dari tema-tema film yang saya tonton. Misal, film dari Singapura, Taiwan, dan Hongkong adalah film-film dengan alur cerita yang menguras air mata. Temanya, biasanya bercerita tentang kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh orang yang sangat dicintai terhadap kelompok liyan: ayah yang menua, remaja perempuan yang cinta mati pada kekasihnya, dan difabel. Terus terang, saya mengalami depresi dengan film-film macam begini. Depresi karena harus menyaksikan sepanjang menit adegan-adegan yang mengaduk-aduk nurani dan perasaan kemanusiaan saya. Beberapa film serupa yang tidak beredar di festival, dari negara-negara yang sama, biasanya juga menjadikan anak kecil sebagai korban, entah pembulian (bullying), entah ketidakadilan –anak jadi korban lapis kesekian- yang dibungkus dengan adegan laga atau bencana. Saya sudah menonton film dari negara-negara tersebut dengan tema yang ‘khas’ sejak beberapa tahun silam. Saya kembali menyaksikan tema yang ‘khas’ tersebut di JAFF tahun 2015. Sepertinya ini bukan kejutan. Saya mengira-kira ini bagian dari cerita kondisi sosial-politik di sana: bahwa rezim politik yang represif dan otoriter pada banyak hal berpengaruh terhadap dunia perfilman dan filmmaker itu sendiri guna memproduksi film dengan tema yang berbeda, beragam, dan kritis. Karena, yang jamak diketahui publik, bahwa gesekan politik semakin kencang di Hongkong. Demi stabilitas dan kemajuan bidang ekonomi, pemerintah Taiwan dan Singapura tutup mata dan tak ambil pusing dengan cara mereka memerintah yang terkesan tertutup dan absolut: shut up! And just watching. Pada titik ini kita akan bertanya, apa dan bagaimana cara kita mendefinisikan kelokalan?
Sementara di Indonesia, kita perlu berbangga karena sineas kita berada pada ruang yang cukup afirmatif guna mendukung mewujudkan ide-ide kreatif dan kritis mereka. Mereka cenderung leluasa mengeksplorasi imajinasi mengenai persoalan-persoalan yang dianggap sensitif dalam masyarakat. Cukup banyak film dari sineas kita yang bicara tentang toleransi dan pluralitas beragama, bersuku bangsa, atau yang menyorot tentang identitas seksual kelompok liyan hingga kehidupan orang-orang dari kelas sosial tertentu. Terlepas ini persoalan tren pasar yang tengah digandrungi industri film termasuk oleh penonton, tema-tema ini adalah tema-tema yang berkeliaran luas dalam perbincangan dan wacana publik, baik secara politik maupun sosial-budaya. Ambil bagiannya sineas Indonesia dalam diskusi publik yang luas tersebut, berupa film, sudah merupakan keberpihakan yang patut diapresiasi. Apresiasi yang tinggi juga diberikan kepada mereka yang memfilmkan kehidupan kelompok-kelompok marginal yang tidak diperhatikan atau tercover dalam perfilman arus utama selama ini. Sineas paling tidak secara terbuka memproklamirkan dirinya menjadi bagian dari masyarakat yang peduli kemudian mencurahkan pikiran dan tenaga pada hiruk-pikuk persoalan publik. Menurut Garin, fenomena ini merupakan tren dari sineas kita yang cenderung memproduksi film dengan tema-tema yang langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat penonton.
Tema Cerita Lokal Tak Pernah Mati
Saya terbahak ketika pertama kali melihat adegan gadis mengelus-eluskan pisang ke wajahnya dengan ekspresi senang-bahagia. Adegan ini ada dalam film pendek Merindu Mantan (Revenge) karya dari anak muda Indonesia yang menjadi film pilihan dari Viddsee Short Film Showcase, semacam lembaga film independen yang bermukim di Singapura. Seperti yang terangkup dalam judulnya, sang gadis menahan rindu sekaligus dendam kepada laki-laki yang sudah menjadi kekasih perempuan lain. Tak pikir panjang, pisang tadi diberi mantra lalu ditusuk dengan jarum. Kenyataan lapis pertama, pisang memang ditusuk oleh jarum. Kenyataan lapis kedua, sang mantan pacar kaget alang kepalang ketika ‘burung kemaluannya’ senat-senut perih secara tiba-tiba. Penonton, baik perempuan maupun laki-laki tentu bisa bayangkan betapa mengerikannya ketika pisang itu ditancapi oleh tusuk konde.
Adegan tusuk pisang ini mengingatkan saya pada film-film tenung-santet yang banyak tayang pada pesawat televisi dekade awal 2000an. Yang paling terkenal tentu saja film-film dari aktris legendaris Suzanna. Adegan santet dalam film waktu itu cenderung identik dengan film-film horor dan film-film seks. Film-film mendiang Suzanna tidak saja berkaitan dengan hantu perempuan yang mati diperkosa atau melahirkan, tapi juga diisi dengan cerita pesugihan, adegan seksual, dan ritual-ritual mistik lainnya. Kesemuanya itu tidak bisa dilepaskan dari tradisi kebudayaan Jawa yang menjadi latar belakang film dibuat. Merindu Mantan, seolah menjadi bagian dari satu adegan film-film Suzanna yang membawa saya pada pengalaman menonton masa-masa SMP dan suasana hari ini yang menggelitik imajinasi saya. Film ini, melalui Viddsee, bersaing dengan film-film dari negara Asia Pasifik termasuk Indonesia agar dapat diputar di JAFF tahun ini. Suatu capaian yang tidak mudah bukan?
Selain film fiksi, JAFF juga menawarkan saya film pilihan dari genre dokumenter. Harimau Minahasa karya Andang Kelana dan Syaiful Anwar yang membuat saya terkesan secara psiko-sosial. Bagaimana tidak, Budi, tokoh utama dari film tersebut yang mungkin saja hingga hari ini ia masih bermukim di Manado (Sulawesi) ternyata memiliki pengalaman pahit, tunangannya meninggal dalam sebuah kecelakaan di Mukomuko (Sumatera), tempat saya menghabiskan masa remaja. Saya ikut berduka atas tragedi tersebut. Budi sangat tidak sedang bergurau soal rantaunya hingga ke daerah ini. Andang dan Syaiful membuktikannya kepada saya melalui cerita konyol –yang oleh Budi dan pemuda di Mukomuko- kerap dipraktekkan: memeloroti celana dalam ketika bulu kuduk berdiri bertanda bertemu hantu laki-laki atau perempuan di sekitar pekuburan. Kata ibu saya yang penduduk migran di Mukomuko, konon hantu-hantu itu takut dengan kelamin yang tidak ditutupi kain atau daun. Tentu saja kita akan terbahak. Lebih terbahak lagi ketika saya menyaksikan Budi menuturkannya sungguh-sungguh bukan di depan orang Mukomuko.
Selain cerita melepas kolor ketika bertemu hantu, cerita lainnya ialah kisah bayi menangis pada malam hari di rerumpunan bambu. Di Mukomuko dikenal dengan cerita cingeak. Di Mukomuko, cingeak tak begitu digubris. Karena bayi itu adalah bayi jadi-jadian yang ditinggal mati oleh ibunya. Saya sendiri beberapa kali pernah mendengar tangis bayi ini di pekarangan belakang rumah yang ditanami bambu oleh mendiang bapak agar tanah tidak longsor terbawa arus sungai. Cuma, ibu selalu melarang jika abang berencana mencari asal suara tangis bayi di rimbun bambu: seperti apa sih rupa bayi jadi-jadian? Cerita seorang teman di Mukomuko, jika ia mendengar tangisan tersebut biasanya ia akan melemparkan puntung kayu ke rimbun bambu sebagai ganti ‘dada’ ibunya. Bayi akan berhenti menangis karena tengah disusui. Lagian, pada banyak cerita, si bayi tak pernah ditemukan. Cerita ini mirip dengan pengalaman Budi dalam Harimau Minahasa. Ia menuturkan pengalamannya mendengar tangis bayi ketika melewati kebun jagung di larut malam. Ia laporkan tangisan itu kepada bapaknya, bersama-sama mereka menyisir kebun jagung dan menemukan bayi perempuan di sekitaran rumpun bambu yang kemudian diangkat menjadi adik tiri perempuan Budi satu-satunya. Saya tidak bermaksud mengatakan adik tiri perempuan Budi keturunan bayi jadi-jadian. Karena, cerita itu terjadi di Jawa. Poinnya adalah Budi memiliki pengalaman cerita lokal, pengalaman budaya yang mirip dengan yang saya alami di Mukomuko.
Merindu Mantan dan Harimau Minahasa adalah dua film lokal yang berkesan bagi saya. Merindu Mantan mencoba menampilkan cerita asmara anak muda yang dibalut dengan konteks sosial-budaya yang melingkupinya. Kisah-kisah asmara selalu ada pada setiap generasi dengan warnanya sendiri. Kata dan istilah dalam dunia percintaan seperti pacar, mantan pacar, jomblo, ditelikung, di-PHP, di-friendzone, dianggap abang-adik dan seterusnya menjadi wacana yang tak habis-habis ditulis, dilagukan, serta difilmkan. Merindu Mantan terpilih untuk diputar pada JAFF tahun ini agaknya tidak hanya karena ia mengusung konten lokal mulai dari ritual mistik (tenung) dan identitas tradisi (Jawa) yang dipertontonkan kepada publik lintas negara-bangsa, tapi juga tema cinta membara antar-anak muda yang memabukkan dan mengaburkan akal sehat tersebut. Tema cinta membara ini menjadi tema universal yang juga terjadi di belahan bumi lain dengan ‘daya rusak’ yang dahsyat jika seseorang disakiti, dikhianati oleh pujaan hatinya.
Pada Harimau Minahasa, seperti kesan yang saya tuliskan di atas, cerita rakyat (folklore) yang menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat diolah menjadi mata rantai-mata rantai untuk menjelaskan siapa Budi di tanah Minahasa. Budi bisa jadi satu dari sekian banyak ‘harimau’ di luar sana yang kehidupannya menarik dan berguna untuk dikisahkan. Bagi saya, tingkah konyol Budi bertelanjang di pekuburan bukanlah sesuatu yang baru dan unik, meski saya tertawa ketika menontonnya. Tapi ini tidak bagi penonton dari luar Mukomuko atau daerah yang tidak mengenal cerita ini. Menggali unsur lokal dalam karya film sepertinya tidak semata-mata karena cerita, mitos, atau legenda tersebut hanya berada pada daerah tertentu (kelangkaan atau kekhasan cerita), tapi juga berkaitan dengan cara masyarakat merespon suatu fenomena yang sangat berbeda dengan masyarakat lainnya. Dalam Harimau Minahasa, aspek keberanian, jinggo-isme, kelaki-lakian, hingga wacana penaklukan terlihat disusun berdasarkan pengalaman-pengalaman kultural yang dialami oleh Budi mulai dari tanah kelahirannya di Jawa, bekerja di Sumatera, hingga menapak tanah Sulawesi. Film ini ditutup dengan adegan panjang Budi mengalami semacam kemasukan ketika tidur dan berubah menjadi kakek-kakek yang mengaku sebagai kakek buyut Budi dari tanah Jawa. Ia bicara dan meracau dalam bahasa Jawa yang disisipi adegan dan dialog lucu, terjadi miskomunikasi antara si kakek yang bersemayam dalam tubuh Budi dengan filmmaker yang tak mengerti bahasa Jawa.
Saya dan Kamu, Hanya Butuh Bioskop Kelas Bawah
Film-film yang dibuat oleh filmmaker Indonesia, pada umumnya hanya tayang di bioskop milik dinasti 21. Pun film-film tersebut acapkali kalah frekuensi tayang dengan film keluaran Hollywood yang meraja itu. Usia film Indonesia paling lama bertahan di bioskop 21 sekitar dua bulan. Ada juga yang hanya berumur sebulan, setelah itu ia diputar pada acara-acara komunitas atau festival di mana sutradaranya menjadi bagian dari acara tersebut. Acapkali kita menyaksikan film-film yang baru sebulan lalu di-launching sudah bisa ditonton di rumah di depan televisi. Satu sisi, kondisi ini menguntungkan bagi penonton, khususnya bagi mahasiswa. Harga tiket menonton di bioskop 21 tergolong cukup tinggi untuk kantong anak muda dan masyarakat pada umumnya. Di Indonesia, menonton adalah aktivitas hiburan sekunder bahkan tersier. Untuk mendapatkan hiburan, publik bisa datang ke pasar malam, pantai, pegunungan, taman, obyek bermain, serta obyek wisata lainnya. Menghabiskan uang Rp 50 ribu (ticket and food) untuk sekali menonton film, durasi 2 jam, adalah keputusan yang diambil secara tidak spontan dan tidak rutin dilakukan. Dengan nominal tersebut penonton film, apalagi di Yogyakarta, akan dihadapkan pada beberapa pilihan kebutuhan/keinginan lainnya. Lagi-lagi jika penonton film ini dibayangkan adalah mahasiswa dan masyarakat rata-rata yang ada banyak alternatif pemenuhan kebutuhan yang dapat ditutup dengan sejumlah nominal tersebut. Namun di sisi lain, ini tentu bukanlah kabar yang menggembirakan bagi sineas film dan industri film Tanah Air yang masih mencoba mengukuhkan kaki agar bisa berdiri kokoh, didukung sepenuhnya oleh pemerintah dan penonton Indonesia.
Pendeknya usia tayang film Indonesia di bioskop 21 termasuk modal menonton film yang cukup tinggi juga menjadi isu yang diperbincangkan dalam public lecture JAFF tempo hari. Dunia perfilman kita mulai dari hulu hingga hilir termasuk penonton tengah membutuhkan ruang-ruang pemutaran film yang komersil namun terjangkau oleh khalayak luas. Dinasti bioskop 21 hanya memutarkan film-film Indonesia yang baru dirilis dan itu pun usianya tak sampai seumur jagung. Setelah itu ia akan digantikan oleh film-film produksi luar negeri yang laju produksinya sangat cepat ketimbang industri film dalam negeri. Belum lagi persoalan harga tiket yang sepertinya dimonopoli oleh dinasti 21 saja. Kondisi yang belum menggembirakan ini disikapi dengan pembentukan komunitas-komunitas pencinta film di mana melalui komunitas itulah publik dapat menonton film, baik secara gratis maupun hanya dengan mengeluarkan ongkos yang lebih sedikit.
Saya sendiri menonton film jika tidak melalui VCD/DVD ya di bioskop 21. Karena, hanya jaringan bioskop itulah yang ada di kota yang saya singgahi. Masih terbayang ketika belasan tahun lalu, sekitar setengah kilometer dari rumah, persis di seberang bangunan SMP saya, pemerintah daerah membangun gedung tinggi, konon katanya diperuntukkan sebagai bioskop. Waktu itu, beberapa kali saya sempat bermain di bawah gedung bioskop yang tengah dibangun. Anda bisa bayangkan betapa senangnya hati ketika tahu akan ada tempat yang luas dan lebih nyaman untuk menonton film ketimbang lapangan bola (menonton layar tancap paling sering sekali setahun). Sepanjang ingatan saya, bioskop itu tak pernah memutarkan film, karena memang gedung tinggi itu tak pernah diselesaikan. Yang ada tiang dan dindingnya lapuk kemudian dijadikan bahan bakar oleh penduduk setempat. Bioskop menjadi barang langka dan mewah bagi saya waktu itu, dan bagi remaja/anak muda di sana hari ini. Sejarah kembali berulang.
Jika sudah begini, saya berharap besar pada pemerintah lokal serta pemilik modal untuk mengembangkan usaha mereka membangun bioskop-bioskop kecil dan sederhana di kota-kota provinsi hingga kabupaten di Indonesia. Jujur saja, saya juga tak cukup malu untuk membayangkan diri sebagai pengusaha bioskop, paling tidak untuk kota Padang dan Mukomuko. Beberapa kali teman saya teriak-teriak di media sosial betapa sulitnya mewujudkan keinginan menonton film di kota Padang karena, kabarnya, di sana tidak ada lagi bioskop. Padang pernah memiliki bioskop, Bioskop Raya. Kali terakhir saya mengunjungi bioskop itu sekitar 4 tahun lalu. Poster yang dipajang di depan gedung itu adalah poster-poster film horor. Sekarang, katanya bioskop itu sudah tutup. Entah kekurangan penonton, entah kekurangan film. Cukup kota Padang yang dijadikan contoh untuk menjelaskan betapa sendunya industri film kita di Indonesia. Jangan sekali-kali membandingkannya dengan Yogyakarta apalagi Ibu Kota. Betapa malangnya teman-teman saya di Padang, jangankan untuk menonton film keluaran terbaru Hollywood, menonton film keluaran lama produk dalam negeri saja susahnya minta ampun. Anda silahkan tertawa, karena seorang teman saya nekat pergi ke Pekanbaru guna menonton film (kalau tak salah Captain America yang kedua) di bioskop 21 di kota itu.
Dengan kondisi yang cukup menyedihkan ini, bagaimana kita akan bicara film Indonesia dalam lingkup Asia Pasifik jika akses bagi orang-orang yang ingin menonton film saja masih sulit dan terbatas. Akses terhadap film menjadi penting guna melahirkan sineas muda dan pengkaji film. Film Indonesia tidak akan kemana-mana jika pembuat film dan pengkaji film jarang menonton film. Dalam segi tema, dunia film tanah air cukup membanggakan dengan mengusung tema-tema yang beragam dan merespon kegelisahan publik. Dari segi jumlah produksi film, juga memperlihatkan kurva naik paling tidak stabil setiap tahun. Kondisi ini mestilah diikuti dengan distribusi film yang merata, yang tidak ditangani oleh satu pihak yang leluasa mendikte pasar film Tanah Air. Pada akhirnya, kita berharap besar pada pemerintah (Dinas Kebudayaan, Badan Industri Kreatif) betul-betul mengatur langkah pemilik modal agar lebih ‘ramah’ kepada publik penonton film. Soal film, saya tidak pernah putus berharap kepada negeri ini dan orang-orang yang mengurusinya.
Foto: Google
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^