Skip to main content

UGM (Kampus di Indonesia) Pasca Tragedi 1965

Oleh Abdul Wahid (Dosen Sejarah FIB UGM)



Peristiwa 1965 tidak dapat dilepaskan dari institusi atau lembaga sebagai hal yang penting dalam kehidupan bernegara. Kelembagaan yang ada dalam negara menjadi alat yang dipakai oleh rezim berkuasa untuk memuluskan jalan ideologi mereka. Hal yang sama terjadi dalam tragedi 65, bahwa lembaga terlibat sekaligus menjadi korban dari penetrasi ideologi negara. Riset ini menjadikan Perguruan Tinggi (PT) sebagai obyek kajian dalam melihat tragedi 1965 di Indonesia. Ada tiga kampus yang menjadi perhatian utama, khususnya kampus-kampus negeri seperti UGM, IPB, dan UI. Bukan berarti kampus swasta tidak terlibat (Universitas Res Republica/ Universitas Trisakti) juga tidak luput dari kajian ini. Kampus-kampus tersebut tidak hanya menjadi korban, tapi juga dijadikan sebagai alat dengan cara dan formatnya masing-masing oleh negara dan penguasa waktu itu.

Keterlibatan kampus dalam tragedi 65 tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang PT yang dipakai oleh Sukarno sebagai wadah mewujudkan cita-cita revolusi. PT menjadi lembaga yang sarat akan muatan kepentingan politik karena ia dijadikan sebagai arena politik untuk mewujudkan cita-cita berbangsa waktu itu (Nasakom, anti-imperialis, kasus Irian Barat/Papua, dll). Pada masa itu PKI menjadi partai yang besar dengan proses pengkaderan yang sangat baik dan holistik yang terjadi di kampus-kampus. Tidak hanya PKI, partai lain pun berlomba-lomba melakukan hal serupa demi kepentingan dan kebesaran partai mereka. Implikasi dari penguasaan kampus oleh partai politik menjadikan mahasiswa terbagi dalam dua klastes besar: nasionalis dan religius/agama.

Proses Skrining (Screening) di Kampus UGM

UGM menjadi kampus pertama yang paling banyak terlibat dalam tragedi 1965. UGM cukup terbuka mengenai hal ini yang dapat dilacak dalam buku-buku sejarah tentang UGM. Ada beberapa orang dari UGM yang ditunjuk guna melakukan interogasi baik kepada dosen, staf, maupun mahasiswa yang terlibat dan dianggap terlibat yang menjadi bagian dari PKI. Interogasi tidak dilakukan di dalam kampus, melainkan di markas TNI atau di daerah yang sudah ditunjuk. Oleh karena itu, keterlibatan ini dilihat sebagai keterlibatan beberapa individu yang tidak mewakili institusi PT, UGM. Karena, UGM sendiri menjadi korban yang dirugikan dari proses skrining yang dilakukan terhadap dirinya. Contoh, pengganti rektor UGM yang habis masa jabatan waktu itu bukanlah dari internal UGM, melainkan dari pihak luar yang langsung ditunjuk dari atas (oleh negara) menggantikan rektor yang habis masa jabatannya. Rektor baru ini (kalau tidak keliru dari UNSOED) hanya menjabat dua tahun. Pun, tidak sedikit dosen-dosen UGM yang dirumahkan, yang dikirim ke luar negeri, yang dipaksa untuk mengubah pandangan politik mereka yang bersesuaian dengan selera penguasa, tidak lagi menjadi PNS, atau tetap bekerja di UGM sebagai pegawai rendahan. Sementara bagi mahasiswa, ada sekitar 3000 mahasiswa yang terlibat dan dianggap terlibat yang ditangkap dan diintrogasi. Sekitar 2500 dari mereka mendapat izin untuk kembali ke kampus dengan aturan main (harap lapor) yang masih menjadi kewajiban para mahasiswa tersebut. Sementara sisanya mendapatkan surat C2 dan diwajibkan belajar lebih lanjut tentang cinta tanah air (Santi Aji) guna 'meluruskan' hati dan pikiran mereka agar tidak membelot dari negara.

UGM pasca tragedi 1965 berubah menjadi kampus yang giat melakukan sensor di sana sini. Penerapan NKK/BKK yang mengharamkan kampus berpolitik, pencaplokan lembaga-lembaga mahasiswa nasionalis/kiri oleh lembaga kanan, sementara di luar kampus penjarahan terhadap masyarakat (ternak sapi, warung, dll) diambil alih-paksa oleh penguasa karena dianggap bagian dari PKI. Serta yang paling kentara ialah perubahan signifikan dalam proses produksi ilmu pengetahuan dari kampus yang terlibat dan menjadi korban penguasa. Di UGM pasca tragedi tersebut pemikiran-pemikiran sosial kiri/komunis dilarang, buku-buku kiri dilarang beredar, tema-tema riset dipantau dan disensor (apalagi yang berkaitan dengan isu agraria), teori-teori tertentu dalam ilmu sosial dihindari, dan budaya intelektual dibatasi.

Dampak Jangka Panjang Tragedi 1965 Bagi UGM

Pasca tragedi 1965, UGM kehilangan satu generasi intelektual awal di kampus ini. Mereka sengaja dan dipaksa dihilangkan. Mereka tidak saja tidak diberi peran di dalam kampus, melainkan juga penghapusan sistematis jejak pemikiran dari mereka. Kampus melakukan re-orientasi ideologi, kampus menjadi sangat western, menjadi sangat Amerika. Sumber Daya Manusia di dalam kampus menjadi sasaran utama, dampak langsung dari tragedi 65. Ini adalah bagian dari kekerasan kultural. Pembasmian intelektual terjadi di kampus kita, intelektual-sida. Pasca tragedi 1965, kebebasan akademik menjadi barang mewah yang baru bisa didapatkan setelah melalui perjuangan yang cukup panjang dan lama.

Meski begitu, UGM cukup berani untuk membuka semua kisah ini tidak saja melalui buku-buku sejarah tentang UGM, tapi juga menampilkan cerita tersebut di museum UGM yang ada di Bulaksumur hari ini. Mahasiswa dan publik bisa mengakses hal itu secara bebas dan terbuka.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...