Skip to main content

2015: Ramadhan, Kemerdekaan, dan Misi 1 Akhirnya Selesai



Tahun ini tahun yang cukup berat. Setelah ditinggal selamanya oleh nenek, aku memasuki ramadhan dengan hati yang campur aduk: senang, gembira, namun juga sedih, sibuk, dan susah untuk fokus pada satu hal. Bagaimana tidak, deadline datang beruntun, kesehatan menurun, belum lagi soal ini itu yang datangnya tiba-tiba namun menguras energi dan perasaan. Namun begitu, sembah sujud, aku masih bisa menikmati dan beribadah maksimal di bulan suci ramadhan. Semua dilalui dengan pelan-pelan. Pada bulan suci itu juga satu misi yang penting terlewati dengan cukup baik meski tersangkut di sana sini.

Sempat stress dan kalut dengan tuntutan penelitian yang berat dan menghendaki banyak duduk, banyak membaca, dan merenung dalam. Pada titik tertentu sepat down dan berpikir untuk menyerah. Namun, cara paling sederhana memulihkannya ialah dengan tidak memikirkannya terlalu berat. Cukup menghadapi laptop setiap hari, sabar mengetik, dan membaca ulang, mengoreksi, dan kembali mengumpulkan semangat untuk menyelesaikannya. Dan akhirnya selesai juga. Saya bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan yang selalu dekat dan menolong dengan caranya sendiri.

Lalu, setiap tahun menjadi tahun yang berbeda bagi aku. Aku selalu merasakan tahun ini tahun yang lebih kompleks, lebih bermakna dari tahun sebelumnya. Merayakan apa saja. Mulai dari ulang tahun diri sendiri, ulang tahun negara tercinta, memasuki ramadhan dan lebaran, mengakhiri satu fase dalam hidup, dan seterusnya. 2012, 2013, 2014 adalah tahun tahun yang rumit. Namun tahun 2015 adalah tahun yang tak kalah rumit dan menguras energi. Meski begitu, satu hal yang membuat aku merasa optimis dan tidak lelah adalah keyakinan yang besar tentang hari esok adalah hari yang bermakna yang sudah dibangun sejak hari lalu dan hari ini.

Sama seperti ketika tahun ini aku lebaran di Jogja. Ini lebaran pertama kali aku tidak kumpul dengan keluarga. Pernah satu kali aku lebaran di tempat tante, lalu lebaran sendiri di kampung orang. Memang ibu dan saudara aku sedih, namun sepertinya mereka cukup memahami kondisi aku. aku berharap dan berencana, pada lebaran besok aku akan berlebaran kembali di rumah bersama ibu dan saudara.

Aku kadang merasa, aku terlalu cepat tumbuh menjadi dewasa. Iya, temen aku yang seumuran memang beberapa sudah menikah dan punya anak. Dewasa di sini bukan persoalan itu. Ini persoalan tentang kehidupan yang lebih kompleks. Bagaimana perempuan muda seusia aku memang hidup? Bagaimana aku memandang lapangan kerja aku? Bagaimana aku memandang setiap kota yang pernah aku singgahi? Bagaimana aku memandang laki-laki yang dekat dengan kehidupan aku? Dan bagaimana aku memandang tiap putusan yang akan aku ambil dalam hidup?

Aku rasa teman-teman aku juga mengalami hal yang kurang lebih sama. Hanya saja kadar kompleksitasnya tidak seperti aku. Aku berkaca dari kenyataan dan pengalaman aku dan orang-orang di sekeliling aku. Jika memang kondisinya ribet dan njlimet begini, aku kan tidak bisa menutup mata. Misalnya, main tanda tangan kontrak saja, atau main terima saja dilamar oleh laki-laki, atau berdamai saja dengan kondisi kota yang ditempati. Banyak hal kemudian yang memang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan.

Ini 17 Agustus 2015, 70 tahun sudah Indonesia, tanah air yang aku tumpangi hidup di muka bumi. Usia yang cukup matang untuk berbenah dan memperbaiki diri. Aku berharap besar bagi negeri ini. Pada suatu masa anak negeri ini dapat mencicipi pendidikan secara gratis hingga ke bangku kuliah. Bangku kuliah, pada banyak hal, memang sangat membantu masa depan anak bangsa ini, soal: mental, kecerdasan, kemandirian, dan kemampuan kognisi lainnya.

DIRGAHAYU NK REPUBLIK INDONESIA KE-70 TAHUN 2015!

NB: Foto dari Google

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...