AGAKNYA, tidak semua orang pernah mengalami musim kering bertubi-tubi seperti yang pernah kami alami di salah satu daerah pinggiran di Bengkulu. Sekitar satu dasawarsa lalu, di setiap musim kemarau, jika anda berkunjung, anda akan menyaksikan warga berbondong-bondong menenteng jerigen dan ember di kiri kanan mereka. Besar kecil, tua muda, laki perempuan menuju pusat dimana dahaga dan kelangsungan hidup harus tetap terjaga.
Ialah Sungai Manjunto, sungai terpanjang dan terbesar yang membelah beberapa daerah di provinsi ini. Sungai inilah penolong utama kami di musim kemarau. Dan keluargaku adalah ‘pelanggan’ utama dari sekian banyak ‘pelanggan’ yang menggantungkan hidup pada sungai ini di musim kering. Jangan ditanya apakah air sungai ini layak dikonsumsi dan higienis. Bagi ibuku, selama air ini jernih dan tak berbau, selama itu pula ibu tak menghiraukan apa-apa.
Ada yang menarik dari cara ibuku memanfaatkan air di musim kering. Dengan imek-imek (baca; sedikit-sedikit) ibu menuangkan air dari jerigen ke dalam periuk, mencuci beras. Air bekas bilasan beras yang putih susu ini, ia gunakan sebagai pencuci piring tahap satu. Sementara air bekas mencuci bayam, ia gunakan sebagai pembilas piring tahap dua. Tahap tiga, ibu menggunakan air bersih dari jerigen. Nah, dengan bekas bilasan tahap tiga inilah kami mencuci tangan sebelum makan. Aku tergelak jika mengingat momen itu.
Belasan tahun kemudian, dimana kami tak lagi mencemaskan kemarau datang, perilaku ini masih kerap terulang. Bagi ibuku, bisa jadi, membuang air jernih begitu saja adalah ‘dosa’ besar. Karena di musim penghujan pun, ibu kerap melakukan hal ini. “Ya, tak tega membuang air cuma-cuma begitu,” demikian alasan ibu.
Meski begitu, tauladan ‘nyentrik’ ini agaknya cukup sulit diwariskan. Kini, di kota yang banyak air ini, ternyata aku tak secermat dan tak setelaten ibu menyikapi air, baik air bersih maupun air bekas. Sikap berfoya-foya menggunakan air masih saja terulang. Contoh kecil, membiarkan saja rintik-rintik air menembus lantai karena sambungan pipa yang macet atau bocor. Air, bagi banyak orang termasuk aku, mungkin tak jauh beda dengan udara. Dimana kita bebas dan sebebasnya mengambil, membuang, kemudian melupakan. Air, ya zat begitulah.
Padahal, jika ingin sedikit merenung, begitu lalainya kita terhadap zat ‘yang maha luar biasa’ ini. Sejak di bangku sekolah dasar, kita diperkenalkan dengan air yang mengambil porsi paling besar dalam tubuh dan kehidupan. Begitu menyenangkan menyaksikan kedelai berkecambah dengan bebera kali disirami air. Atau, alangkah terpana-pana kita menyaksikan separuh lingkaran pelangi menghias langit selepas hujan singkat ketika senja menjelang. Mungkin karena air mudah didapat sehingga kelalaian kita menjadi wajar dan tak pelik. Kemudian pelangi pun tak bermakna apa-apa.
Akan tetapi, ketika Jurnal Nature (dalam http://sains.kompas.com/) bercerita bahwa di masa depan bumi akan semakin jarang disinggahi hujan, aku jadi bergidik. Lalu, jika hal ini dibarengi dengan semakin meranggasnya hutan-hutan kita seperti yang ‘diteriakan’ oleh teman-teman pecinta lingkungan alam, akan dimanakah kita menjumpai air bersih? Akan kapan lagi kita berjumpa hujan? Sebegitu terancamkah bumi kita, hingga hujan menjadi ‘barang mewah’ untuk dinikmati bahkan dilihat. Apakah sejarah menenteng jerigen sepanjang satu kilometer, seperti yang pernah kami alami, harus kembali terulang, dan kali ini juga dilakukan oleh bapak presiden dan para menteri?
Mari, Cintai Air dan Sumbernya
Cerita ‘nyentrik’ dari cara ibuku memperlakukan air, sekali dua, mungkin boleh dicobakan di rumah. Awalnya, mungkin anda bakal jijik-jijik geli. Tapi, jika kegelian ini dibarengi dengan renungan betapa berharganya air, mudah-mudahan akan sedikit berkurang. Belum lagi, kalau kita membayangkan betapa masih banyak saudara, hewan, dan flora di beberapa belahan wilayah tengah bersusah payah mendapatkan air bersih demi kelangsungan hidup mereka. Dan betapa beruntungnya kita hingga saat ini masih bisa mandi dua kali sehari menggunakan air bersih, hangat pula. Memang, pengalaman kepayahan, kiranya, jauh lebih ampuh membuat kita menghargai kemudahan.
Mungkin kondisi ini tidak adil. Tapi dengan kesadaran kita, bahwa kondisi persediaan air bersih yang tak merata ini, mampu menggugah kita guna berhemat air bersih dan peduli pada lingkungan sekitar. Sebagai pengguna air bersih dalam lingkup kecil, ya, dengan cara inilah kita menunjukkan –pada diri- bahwa kita cinta pada air, bumi, dan kehidupan mendatang. Cinta, betapa berharganya air yang mungkin kerap kita sia-siakan waktu dulu.
Tentu saja saran ini jauh lebih gampang dituliskan ketimbang dijalankan. Namun, ketika kita mendapat kabar bahwa pemanasan bumi semakin menjadi-jadi, polusi air dan udara membuat lembaga yang menanganinya angkat tangan, serta pencemaran limbah terhadap lingkungan semakin minta ampun, apakah kita hanya tetap duduk dan menggeleng-geleng saja –tanpa berbuat sesuatu?
Hemat kami, lebih dari itu dan yang paling utama ialah menjaga keberadaan sumber air bersih. Waduk, situ, sumur, pepohonan dan hutan, serta sungai-sungai dimana mengalir banyak mata air, sudah selayaknya mendapat perhatian lebih dari kita bersama. Tempat-tempat ini menjadi ‘mutlak’ sebagai penentu kelangsungan kehidupan kita di masa mendatang. Tak terbayangkan rasanya jika situ, sungai, dan sumur tercemar oleh beragam limbah, baik limbah pabrik maupun limbah domestik. Dan tak perlu heran, jika pencemaran itu terjadi adalah karena semata-mata kelalaian kita dalam menilai, memosisikan, serta memperlakukan air dan lingkungan.
Meski begitu, tak perlu memusingkan keterlambatan untuk memulai meubah cara pandang kita terhadap air dan sumbernya. Ibuku tak pernah terlihat merasa malu bahkan ‘terhina’ hanya karena ia memperlakukan air dengan cara tak lazim. Dan kita, agaknya juga tak perlu jaim guna berhemat air dan mengakui bahwa “Saya hanyalah sekadar nama jika tanpa air”, hingga menjaga keberadaan air bersih dan sumbernya menjadi perhatian utama kita bersama.
Ialah Sungai Manjunto, sungai terpanjang dan terbesar yang membelah beberapa daerah di provinsi ini. Sungai inilah penolong utama kami di musim kemarau. Dan keluargaku adalah ‘pelanggan’ utama dari sekian banyak ‘pelanggan’ yang menggantungkan hidup pada sungai ini di musim kering. Jangan ditanya apakah air sungai ini layak dikonsumsi dan higienis. Bagi ibuku, selama air ini jernih dan tak berbau, selama itu pula ibu tak menghiraukan apa-apa.
Ada yang menarik dari cara ibuku memanfaatkan air di musim kering. Dengan imek-imek (baca; sedikit-sedikit) ibu menuangkan air dari jerigen ke dalam periuk, mencuci beras. Air bekas bilasan beras yang putih susu ini, ia gunakan sebagai pencuci piring tahap satu. Sementara air bekas mencuci bayam, ia gunakan sebagai pembilas piring tahap dua. Tahap tiga, ibu menggunakan air bersih dari jerigen. Nah, dengan bekas bilasan tahap tiga inilah kami mencuci tangan sebelum makan. Aku tergelak jika mengingat momen itu.
Belasan tahun kemudian, dimana kami tak lagi mencemaskan kemarau datang, perilaku ini masih kerap terulang. Bagi ibuku, bisa jadi, membuang air jernih begitu saja adalah ‘dosa’ besar. Karena di musim penghujan pun, ibu kerap melakukan hal ini. “Ya, tak tega membuang air cuma-cuma begitu,” demikian alasan ibu.
Meski begitu, tauladan ‘nyentrik’ ini agaknya cukup sulit diwariskan. Kini, di kota yang banyak air ini, ternyata aku tak secermat dan tak setelaten ibu menyikapi air, baik air bersih maupun air bekas. Sikap berfoya-foya menggunakan air masih saja terulang. Contoh kecil, membiarkan saja rintik-rintik air menembus lantai karena sambungan pipa yang macet atau bocor. Air, bagi banyak orang termasuk aku, mungkin tak jauh beda dengan udara. Dimana kita bebas dan sebebasnya mengambil, membuang, kemudian melupakan. Air, ya zat begitulah.
Padahal, jika ingin sedikit merenung, begitu lalainya kita terhadap zat ‘yang maha luar biasa’ ini. Sejak di bangku sekolah dasar, kita diperkenalkan dengan air yang mengambil porsi paling besar dalam tubuh dan kehidupan. Begitu menyenangkan menyaksikan kedelai berkecambah dengan bebera kali disirami air. Atau, alangkah terpana-pana kita menyaksikan separuh lingkaran pelangi menghias langit selepas hujan singkat ketika senja menjelang. Mungkin karena air mudah didapat sehingga kelalaian kita menjadi wajar dan tak pelik. Kemudian pelangi pun tak bermakna apa-apa.
Akan tetapi, ketika Jurnal Nature (dalam http://sains.kompas.com/) bercerita bahwa di masa depan bumi akan semakin jarang disinggahi hujan, aku jadi bergidik. Lalu, jika hal ini dibarengi dengan semakin meranggasnya hutan-hutan kita seperti yang ‘diteriakan’ oleh teman-teman pecinta lingkungan alam, akan dimanakah kita menjumpai air bersih? Akan kapan lagi kita berjumpa hujan? Sebegitu terancamkah bumi kita, hingga hujan menjadi ‘barang mewah’ untuk dinikmati bahkan dilihat. Apakah sejarah menenteng jerigen sepanjang satu kilometer, seperti yang pernah kami alami, harus kembali terulang, dan kali ini juga dilakukan oleh bapak presiden dan para menteri?
Mari, Cintai Air dan Sumbernya
Cerita ‘nyentrik’ dari cara ibuku memperlakukan air, sekali dua, mungkin boleh dicobakan di rumah. Awalnya, mungkin anda bakal jijik-jijik geli. Tapi, jika kegelian ini dibarengi dengan renungan betapa berharganya air, mudah-mudahan akan sedikit berkurang. Belum lagi, kalau kita membayangkan betapa masih banyak saudara, hewan, dan flora di beberapa belahan wilayah tengah bersusah payah mendapatkan air bersih demi kelangsungan hidup mereka. Dan betapa beruntungnya kita hingga saat ini masih bisa mandi dua kali sehari menggunakan air bersih, hangat pula. Memang, pengalaman kepayahan, kiranya, jauh lebih ampuh membuat kita menghargai kemudahan.
Mungkin kondisi ini tidak adil. Tapi dengan kesadaran kita, bahwa kondisi persediaan air bersih yang tak merata ini, mampu menggugah kita guna berhemat air bersih dan peduli pada lingkungan sekitar. Sebagai pengguna air bersih dalam lingkup kecil, ya, dengan cara inilah kita menunjukkan –pada diri- bahwa kita cinta pada air, bumi, dan kehidupan mendatang. Cinta, betapa berharganya air yang mungkin kerap kita sia-siakan waktu dulu.
Tentu saja saran ini jauh lebih gampang dituliskan ketimbang dijalankan. Namun, ketika kita mendapat kabar bahwa pemanasan bumi semakin menjadi-jadi, polusi air dan udara membuat lembaga yang menanganinya angkat tangan, serta pencemaran limbah terhadap lingkungan semakin minta ampun, apakah kita hanya tetap duduk dan menggeleng-geleng saja –tanpa berbuat sesuatu?
Hemat kami, lebih dari itu dan yang paling utama ialah menjaga keberadaan sumber air bersih. Waduk, situ, sumur, pepohonan dan hutan, serta sungai-sungai dimana mengalir banyak mata air, sudah selayaknya mendapat perhatian lebih dari kita bersama. Tempat-tempat ini menjadi ‘mutlak’ sebagai penentu kelangsungan kehidupan kita di masa mendatang. Tak terbayangkan rasanya jika situ, sungai, dan sumur tercemar oleh beragam limbah, baik limbah pabrik maupun limbah domestik. Dan tak perlu heran, jika pencemaran itu terjadi adalah karena semata-mata kelalaian kita dalam menilai, memosisikan, serta memperlakukan air dan lingkungan.
Meski begitu, tak perlu memusingkan keterlambatan untuk memulai meubah cara pandang kita terhadap air dan sumbernya. Ibuku tak pernah terlihat merasa malu bahkan ‘terhina’ hanya karena ia memperlakukan air dengan cara tak lazim. Dan kita, agaknya juga tak perlu jaim guna berhemat air dan mengakui bahwa “Saya hanyalah sekadar nama jika tanpa air”, hingga menjaga keberadaan air bersih dan sumbernya menjadi perhatian utama kita bersama.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^