ODHA di Mata Publik
INDONESIA masa kini masih menilai Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai ‘benalu’ dan pembawa virus mematikan di tengah masyarakat. ODHA dalam banyak kasus dianggap ‘pantas’ dan ‘wajar’ mendapat perlakuan diskriminasi sebagai ‘pamrih’ atas ‘dosa-dosa’ mereka. Perlakuan diskriminasi ini bermacam-macam bentuknya. Seperti dikucilkan, dihina, disumpahi, disyukuri, hak-hak sosial dan pribadi mereka dicabut, bahkan -secara tidak langsung- dipercepat untuk dilenyapkan dari tengah lingkungan. Ironisnya, perlakuan ini tidak hanya datang dari orang-orang di luar ODHA, bahkan datang dari pihak keluarga sendiri. Kenapa? Karena sebagian besar dari kita tak siap bahwa ada penyakit yang namanya HIV/AIDS yang mematikan, serta sama sekali tak pernah terbayangkan keberadaan ODHA bisa ada di depan kita.
Konstruksi ODHA yang lemah, sakit-sakitan, hidup nan sunyi, dan hopeless ditampilkan kepada publik melalui beragam media. Bisa dalam bentuk liputan berita di sebuah panti rehabilitasi, foto-foto ODHA yang kurus dan pucat, film tentang ODHA yang nelangsa, ataupun pengakuan-pengakuan (pengakuan penyesalan) ODHA. Semua publikasi itu digambarkan secara suram, meranggas, kurus kering, dan tak berdaya. Parahnya, itu dianggap wajar. Konstruksi ini alih-alih membuat penonton atau pembaca bersimpati kepada ODHA, justru sebaliknya, mensyukuri ‘kemeranggasan’ mereka. Belum lagi ada campur tangan penegak moral macam agama, adat istiadat, dan lain-lain yang cenderung memandang negatif ODHA. ODHA semakin menjadi-jadi mendapat perlakuan diskriminasi dari ‘fatwa-fatwa’ penegak moral. Jauh melebihi campur tangan Tuhan sesungguhnya.
Padahal, menanggungkan serangan HIV/AIDS saja ODHA sudah tak punya daya. Berharap sembuh saja menjadi fatamorgana. Ditambah lagi dengan menanggungkan perlakuan diskriminasi dari masyarakat di sekitar mereka. Bayangkan. Sebagai minoritas, hidup macam apa yang dapat mereka raih dengan sakit berlipat-lipat seperti itu? Tentu saja di dasar hati mereka yang paling dalam, masih ada seberkas cita-cita yang belum tergapai atau bahkan terucap. Seperti, mendengar tawa si kecil sepanjang hari, menyaksikan agar ibu tak susah lagi bekerja, menyeduhkan segelas kopi kepada istri tercinta, memijat kaki suami yang lelah seharian bekerja, dan macam-macam. Hanya karena anda, ia, dan mereka ODHA, tak sedikit cita-cita sederhana itu hanya bermain di angan-angan. Mengingat diri adalah ODHA, secepat kilat ia buyar dari lamunan.
Konstruksi ODHA yang lemah ini sudah berjalan sejak sekitar 30 tahun lalu. Sejalan dengan penemuan virus mematikan HIV/AIDS, 1981. Masifnya pemberitaan di media tentang ODHA yang tak berdaya dan hopeless tak mudah dilawan. Memang ada Komunitas HIV/AIDS Indonesia yang coba mengcounter atau memutus rantai anggapan dan perlakuan diskriminastif terhadap ODHA. ODHA tidak selamanya hopeless! Mereka bisa produktif. Namun, counter komunitas ini tidak semasif serangan diskriminasi terhadap ODHA di lingkungan yang lebih besar. ODHA dalam pandangan masyarakat luas masih menjadi ‘the other’ yang ‘merusak’ tatanan sosial. Padahal, seandainya lebih sedikit teliti, status ODHA bukanlah karena ‘dosa’ diri sendiri tapi ada faktor lain, seperti jarum suntik yang terinfeksi HIV/AIDS di rumah sakit, suami atau istri yang terinfeksi HIV/AIDS, transfusi darah yang terinfeksi HIV/AIDS, dan sebagainya. Apa daya, kebanyakan masyarakat kita tak mau tahu soal itu. Yang mereka tahu, setiap ODHA adalah pendosa.
Kondom, Pencegahan, dan Sinergitas
Posisi ODHA yang kurang beruntung itu setidaknya membawa refleksi kepada kita yang berpotensi terjangkit HIV/AIDS –tentu saja anggapan ini tidak serta merta mendukung konstruksi media dan masyarakat bahwa ODHA berhak mendapat perlakuan diskriminasi. Saya, menolak perlakuan diskriminasi terhadap ODHA dan minoritas. Di sini pentingnya program Pekan Kondom Nasional yang dicanangkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dan Kementerian Kesehatan RI yang bekerja sama dengan DKT Indonesia, untuk mewujudkan kepedulian dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencegahan HIV/AIDS.
Kondom seperti yang dikampanyekan menjadi alat kesehatan yang dapat mencegah penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS ketika digunakan pada setiap kegiatan seks berisiko. Seperti yang tertera pada banyak sumber, kondom digunakan untuk/oleh pelaku seks beresiko tinggi, seperti pekerja seks dan pelanggannya, kaum gay dan waria, serta pemakai narkoba –lagi, ini bukan berarti mendukung perilaku seks bebas dan legalitas narkoba. Keterbukaan mata dan pikiran terhadap keberadaan lokalisasi dan pendukungnya, minimnya pengetahuan akan ancaman HIV/AIDS, dan cenderung tak peduli dengan kesehatan reproduksi, masih seolah-olah diacuhkan begitu saja. Terkesan tidak diakui. Menutup mata bahwa fenomena itu nyata adanya di hampir setiap kota dan daerah di Indonesia. Tragis memang.
Pekan Kondom Nasional menjadi salah satu agenda strategis guna mencerdaskan masyarakat terhadap bahaya HIV/AIDS. Program PKN tentu saja tidak melulu membagi-bagikan kondom, tetapi lebih kepada edukasi dan penyuluhan agar masyarakat tahu dan sadar bahwa terjangkit HIV/AIDS itu tidak nyaman sama sekali. Baik oleh virus yang mematikan maupun stigma dan perlakuan masyarakat luas terhadap ODHA yang cenderung diskriminatif. Saya pikir ini menjadi poin penting kenapa pelaku seks beresiko tinggi maupun rendah dituntut untuk menggunakan kondom dalam berhubungan seksual.
Dengan data ODHA mencapai 186 ribu jiwa dan 200 ribu pengidap HIV/AIDS di Indonesia (tempo.co 25 November 2011) menunjukkan ancaman penyakit menular seksual ini semakin besar dan serius. Menurut Kementerian Kesehatan RI jumlah kasus HIV/AIDS berturut-turut mencapai 15.372/3.541 selama Januari-September 2012. Belum lagi ditambah dengan kasus yang tidak dilaporkan karena berbagai faktor. Rata-rata pengidap HIV/AIDS adalah usia produktif (20-40 tahun), termasuk perempuan dan anak-anak. Jelas, ini menjadi ancaman akan keberlangsungan suatu negara bahkan umat manusia serta peradaban dunia. Tidak mengherankan jika Menteri Kesehatan RI, Nafsiah Mboi, mengatakan tanpa program terobosan untuk mencegah penularan AIDS, maka lebih dari 1,8 juta rakyat Indonesia terancam terinfeksi penyakit mematikan ini pada tahun 2025 (bbc.co.uk/indonesia/25 Juni 2012).
HIV/AIDS merupakan penyakit global yang tidak hanya mengancam Indonesia. Beberapa negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan negara-negara di Afrika Selatan, Etiopia, Ghana, Kenya, Congo, Nigeria, dan seterusnya menggelontorkan banyak tenaga, waktu, dan uang guna menghadapi penyakit ini dengan serius. United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) dalam press releasenya mencatat hingga akhir 2010 terhitung 34 juta (31,6 – 35,2 juta) orang di dunia hidup dengan HIV. 2,7 juta (2,4 – 2,9 juta) baru terinfeksi HIV. Dan, 1,8 juta (1,6 – 1,9 juta) orang meninggal karena AIDS. Untuk itu, hingga 2015, lembaga ini membutuhkan tidak kurang US 15 milyar untuk pencegahan, pengobatan, dan perawatan ODHA dan HIV/AIDS (unaids.org, 21 November 2011). Angka-angka ini menjelaskan betapa ancaman HIV/AIDS tidak main-main dan jangan disepelekan.
Indonesia dengan pengidap HIV/AIDS yang tidak (belum) setinggi Amerika Serikat, Inggris, atau negara-negara di Afrika Selatan, sudah seharusnya memandang ancaman HIV/AIDS dengan serius. Serius tidak hanya oleh Kementerian Kesehatan RI, KPAN, dan DKT Indonesia, tetapi juga oleh rakyat yang masih awam dengan HIV/AIDS. Elemen lain dari masyarakat seperti budaya, agama, sosial, bahkan politik juga turut serta bagaimana program penanggulangan HIV/AIDS yang sudah digagas ini menjadi poin penting (public policy) dan berkelanjutan. Bukan justru sebaliknya, saling meniadakan atau meliyankan. Jika penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS sudah menjadi katalisator dari setiap elemen masyarakat, jauh akan lebih mudah mengurangi dan menghindari terjangkitnya penyakit mematikan ini. Sinergitas banyak pihak dan lembaga menjadi kunci sukses program PKN, pencegahan, dan kesadaran akan ancaman HIV/AIDS.
halo, postingnya bagus. boleh tau sumbernya dari mana? atau buku apa? saya butuh sekali materi ini.. terima kasih.. :)
ReplyDelete