memasuki musim libur begini, satu yang kutakutkan, sepi. hampir setiap orang kembali ke rumah dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. berjumpa ibu dan ayah, adik kakak, saudara, teman kecil, dan para tetangga yang selalu menarik dicermati. pun dengan perjalanan menuju tempat asal menjadi moment yang tak ingin begitu saja dilewatkan. seperti tiga tahun silam. aku lebih memilih selalu membuka mataku sepanjang perjalanan ketimbang membaca buku atau tidur. karena selalu terjaga dalam perjalanan bagiku menjadi babak-babak awal sebelum berlabuh ke pelukan ibu.
saat ini musim itu kembali datang. ya, satu problematik bagiku dalam menempuh pendidikan: aku benci libur. meski kadang aku tak kalah bahagia jika selalu banyak libur. karena dengan libur teman sekampus jadi berkurang, pustaka juga ogah-ogahan meladeni, kampus beradik kakak dengan kuburan, acara-acara juga berkurang, tidur menjadi alasanku untuk malas beraktivitas, dan sepi mencekam dimana-mana. lumayan kompleks kan jika libur itu datang?
tapi aku juga tidak etis jika egois begitu. bagi banyak orang libur menjadikan mereka kembali humanis. berkunjung kesana kemari, bakti sosial yang tadinya jarang dilakukan, iven liburan untuk sekelompok kecil komunitas, atau menghabiskan waktu libur di rumah yang penuh kenangan. macam-macam. begitulah.
jika libur dalam kacamata banyak orang sebagai kata berkonotasi baik, maka bagiku libur sarat dengan konotasi negatif. apakah karena aku kesepian? karena aku jauh dari orang-orang tercinta? bisa jadi iya, bisa jadi tidak. tidak, karena setiap malam ibu dan kakakku rutin menelepon. bertanya banyak ini itu, bercerita apa saja. seperti dulu kala. mungkin hanya soal lama berbincang yang berbeda.
kata chairil anwar, mati kau dikoyak sepi! pantas saja. sepi menjadi penjagal paling anarkhi dan itu jalang. membunuh jiwa-jiwa. jiwa yang tak tahan maka matilah. terkubur dengan sangat nista. mati sia-sia. sepi membuat otak dengan mudah terinfuls kepada hal-hal berbau negatif. karena sepi memungkinkanku berpikir out of context. bahkan irrasional namun dikemas seolah-olah wajar. ya, sepi adalah hakikat pembebasan. pembebasan yang tak pernah melarangmu ini dan itu. justru di balik pembebasan, satu insan tumbuh tanpa benteng pertahanan. mudah saja sepi menelanjangi kemudian menikam dari depan.
meski begitu, aku punya benteng-benteng pertahanan dimana aku harus tak kalah kepada sepi. jiwa-jiwa yang mulai akan kuat ini tak begitu saja angkat tangan pada serangan sepi. sepi hanya menjadi babak dari sekian banyak babak yang harus dan telah kulewati. bertahun silam sepi kerap menemani. dan berpuluh kali pula mungkin aku pernah tercabik-cabik olehnya. apa lacur, jiwa ini semakin kebal. hingga sepi hanyalah moment dimana aku dapat berpikir jernih dan mengeksekusi setiap rencana. tanpa sepi, aku hanyalah insan kian kemari yang gampang terombang ambing oleh keramaian. dan, aku rasa telah menyelamatkanku dari ketololan.
dedees
rumah perak, 21 januari 2013
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^