Skip to main content

Narasi Kecil dan 'Jeratan Narsistik' Kedaerahan


ADA kecenderungan pada beberapa daerah, pemuda setempat mengalami ‘kesadaran’ bahwa para leluhur mereka adalah juga pejuang yang tidak main-main dalam memerdekakan negeri dan bangsa ini. ‘Kesadaran’ ini muncul karena banyak faktor. Salah satunya ‘bosan’ mendengar bahwa pejuang-pejuang negeri ini seolah-olah berasal dari ‘daerah dominan’ yang memerintah negeri dan bangsa ini (baca; sejarah versi rezim berkuasa). Tidak bermaksud rasis, tapi kuasa Jawa, budaya Jawa, dan konstruksi sejarah versi orang-orang Jawa sekian puluh atau ratusan tahun, tak dapat ditampik telah ‘membenamkan’ nama-nama pejuang yang dianggap kecil di daerah luar pulau Jawa. Dan yang menarik, beberapa orang Jawa saat ini –dalam beberapa kesempatan- mengaku ‘insyaf’ bahwa narasi besar sejarah memang ‘dikuasai’ oleh etnis mereka, dan itu tidak selalu membawa kebaikan dan kemaslahatan. Agaknya, peringatan lahirnya PDRI sebagai salah satu narasi kecil yang berpengaruh terhadap kebangsaan ini adalah salah satu bentuk politik pengakuan baik dari pemuda setempat maupun oleh rezim berkuasa. Menurut saya, ini satu langkah kecil tapi membawa perubahan berarti dalam lanskap sejarah Indonesia.

Indonesia yang beragam lahir dari tangan-tangan pejuang tangguh, gigih, cerdas, namun satu tujuan; kemerdekaan. Keberadaan mereka tersebar dari timur ke barat hingga beberapa ke luar negeri. Mulai dari berambut keriting, kulit sawo matang, mata sipit, dialek yang khas, bersekolah rakyat atau tidak sama sekali, bertelanjang dada, tak paham bahasa Melayu, bersorban, dan banyak artifisial budaya lainnya dari para pejuang. Kesemua itu menjelaskan betapa rumitnya kelak jika keberagaman ini disatukan hanya dengan satu sistem dimana tidak ada toleransi di dalam sistem itu. Tidak ada tawar menawar. Tidak ada negosiasi. Seperti menyesakkan puluhan jenis barang ke dalam sebuah katidiang, yang penting penuh dan siap dibawa.

Keberagaman, pluralisme, dan atau multikulturalisme adalah bagian dari wacana (discourse) debat modern yang aspek-aspeknya berkaitan erat dengan konteks sosial kekinian. Debat-debat kemajemukan ini merefleksikan pemikiran-pemikiran baru yang tak bisa begitu saja dihindarkan baik oleh cendikiawan, pemerhati budaya, kritikus sastra, akademisi, ataupun pemerintah. Menurut saya, dari semangat kemajemukan ini dan terbuka lebih luasnya ruang, siapa saja berhak dan dilindungi konstitusi guna mengartikulasikan apa yang menurut mereka penting –sejarah, budaya, agama, dll- untuk dikoreksi ulang dan didialogkan. Tujuannya melahirkan paradigma dan model kerangka berpikir baru yang semangatnya egalitarian (equality) dan emansipatoris (pembebasan). Tak ada lagi yang merasa ‘terjajah’ dan ‘menjajah’ meski itu dalam satu negara dan bangsa yang sama.

PDRI, Tak Ingin Menang Sendiri, dan Sportifitas

Bicara tentang PDRI adalah bicara tentang keterkuburan sebuah narasi. Kenapa ia ter(di)kubur? Ingat, ia satu-satunya pemerintahan seumur jagung. PDRI hanya narasi kecil. Narasi kecil yang dikonstruksi oleh narasi besar sebagai narasi kecil yang ‘tak tahu diuntung’. Narasi kecil yang durhaka. Narasi kecil yang mbalelo (nakal; negatif). ‘Kedurhakaan’ ini dianggap tak layak hadir di bumi Indonesia. Oleh karena itu, tak heran jika nama PDRI, pejuang PDRI, dan daerah lahirnya PDRI harus segera ‘dibersihkan’ dari sejarah panjang Indonesia yang ‘harum’ dan ‘tak khianat’. Konstruksi sejarah panjang Indonesia yang ‘baik-baik saja’ itu mau tidak mau harus mengorbankan narasi kecil untuk memuluskan narasi besar. PDRI adalah ‘tumbal’. Sebagai pesakitan, PDRI di tangan pemudanya memang harus ‘mandi’ dan ‘berobat’ berkali-kali agar ‘bersih’ dan ‘sembuh’ hingga bisa diterima secara luas. Butuh keberanian yang besar, waktu yang lama, negosiasi yang kuat, serta dialog yang berulang-ulang.

Padahal jika konstruksi sejarah panjang Indonesia versi narasi besar ini dikuak, akan jelas terlihat siapa ‘mengambil muka’ dan demi apa harus ‘mengambil muka’. Sama halnya dengan kenapa harus memperingati PDRI? Untuk kepentingan apa dan siapa? Dan konstruksi sejarah model apalagi yang akan dibangun? Hemat saya, sejarah tidak bicara ‘benar’ dan ‘salah’. Karena ‘benar’ dan ‘salah’ sarat akan muatan politis si pengarang sejarah. Tapi sejarah agaknya harus menekankan kepada pihak-pihak yang pantas ‘disejarahi’. Pihak-pihak yang kepahlawanannya tidak melulu diukur dengan sebagai ia delegasikah, ia utusankah, tapi sebagai penyandang bambu runcing pun, sekaligus sebagai penentu keberhasilan perjuangan juga patut diberi tempat sebagai pahlawan. Narasi kecil seperti ini yang hingga saat sekarang masih sangat jarang diangkat ke permukaan. Peringatan PDRI, saya kira, adalah peringatan sebagai ‘perlawanan’ atas narasi besar yang mendominasi.

Menurut saya, semangat PDRI adalah semangat tak ingin menang sendiri dan semangat sportifitas. Semangat bahwa kejayaan dan kedaulatan Indonesia tak bisa dikendalikan oleh satu pihak saja. Untuk itu harus mengakui dan menghormati ada pihak-pihak tertentu yang memang dan dianggap berkemampuan (capability) lebih dalam mengelola bangsa Indonesia. Semangat ini jelas terlihat ketika Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat PDRI kepada pemerintahan pusat melalui Muhammad Natsir. Meski berat –karena perjuangan pejuang PDRI kurun waktu Desember 1948 hingga Juli 1949 jauh lebih berat, harus penuh taktik, sebagai penentu kebertahanan kemerdekaan Indonesia- Syafruddin Prawiranegara tetap mengembalikan mandat dengan ikhlas dan lapang dada. Mungkin ada sak wasangka, bahwa perjuangan yang berdarah-darah ini akan putus di tengah jalan. Tapi apa boleh buat, sebagai pejuang bela negara Syafruddin Prawiranegara dan pejuang lainnya harus patuh dan hormat pada putusan, dalam hal ini putusan Soekarno-Hatta sebagai founding leaders Indonesia.

Dari semangat tak ingin memang sendiri dan sportifitas ini, pemuda bangsa dapat memetik bahwa nilai-nilai kepahlawanan –sudah diwariskan sejak setengah abad lalu- bukanlah monopoli satu pihak. Ia milik setiap anak bangsa yang lahir di bumi pertiwi ini. Klaim pahlawan bukan milik cerdik pandai saja, bukan milik etnis yang berkuasa saja, bukan milik pemodal saja. Rohana Kudus, Samin, Marhaen, Syafruddin, Munir, Marsinah, dan seterusnya juga berhak mendapat klaim sebagai pahlawan –terlepas klaim pahlawan ini diberikan dengan tangan terbuka atau tekanan. Nilai dan semangat pejuang PDRI yang tidak monopoli ini, saya kira, dapat dijadikan sebagai landasan revitalisasi kebangsaan.

Memang Syafruddin Prawiranegara sudah ‘diakui’ sebagai pahlawan nasional oleh negara Indonesia. Tapi apakah semangat Syafruddin dan para pejuang PDRI juga ‘diakui’ dalam tataran perpolitikan tanah air sebagai salah satu penentu kebijakan negara ini? Saya pertanyakan ulang, karena konteks perpolitikan dan sosial bangsa ini belum –atau tidak ingin?- memberi ruang untuk itu. Benar memang secara personal Syafruddin Prawiranegara dijunjung tinggi, tapi nama PDRI samar-samar terdengar masih sebagai ‘sejarah gelap’ kemerdekaan. Jika boleh membaca terbalik, konteks Syafruddin Prawiranegara ‘diakui’ kepahlawanannya oleh negara adalah salah satu taktik negara ‘membungkam’ suara-suara ‘perlawanan’ yang sejak satu dekade belakangan atau runtuhnya Orde Baru memang terdengar agak ‘kencang’. Mungkin sejak Orde Baru, negara mulai tak suka dengan suara-suara ‘kencang’ dari rakyat karena dianggap subversif dan cenderung meruntuhkan dominasi dan hegemoni negara. Dan itu –jangan terlalu naif- juga masih terjadi saat ini.

Ini memancing saya berandai-andai, bahwa pengakuan Syafruddin sebagai pahlawan nasional, serta merta membersihkan wajah negara dari ‘fitnah’ bahwa (dulu) PDRI dianggap ‘subversif’ dan khianat bangsa. Targetnya tidak lain adalah pemuda dan anak cucu pejuang PDRI yang hingga hari ini, saya kira sebagian besar, sudah terpuaskan dengan pengangkatan Syafruddin sebagai pahlawan nasional. Kita, termasuk saya, merasa negara sudah mengakomodasi kepentingan lokalis-nasionalis kita. Merasa negara mulai menjelma menjadi ‘dewa penyelamat’ nama baik leluhur. Merasa negara bertransformasi signifikan memihak pada wong cilik. Merasa negara mulai merepresentasikan suara rakyat lebih maksimal. Merasa negara sebagai ‘juru selamat’ yang mengalahkan cita-cita Karl Marx yang utopis bahwa negara ‘tak mau dan pernah jujur’.

Revitalisasi Kebangsaan

Narasi-narasi kecil dalam sejarah panjang Indonesia, mau tidak mau, rela tidak rela memang harus diangkat ke permukaan. Pihak yang mengangkat tentu saja pemuda lokal dimana narasi itu pernah terjadi ataupun pihak lain yang merasa ‘layak’ dan berkapabilitas. Saya menawarkan ini –menyangkut PDRI dan Syafruddin Prawiranegara, jauh hari telah dilakukan oleh pemuda Sumatera Barat dan Jawa Barat- dengan tujuan model revitalisasi seperti apa yang dapat disumbangkan kepada bangsa dan negara ini. Narasi kecil menjadi penting karena langsung atau tidak langsung merepresentasikan kondiri riil suatu masyarakat, daerah, relasi sosial, dan kearifan lokal setempat. Di sini, pada tataran ini, bisa dilihat kemana arah kebijakan negara, sejauh mana implementasi regulasi, dan keberpihakan negara yang dirasakan oleh rakyat.

Bicara revitalisasi kebangsaan, agaknya, juga harus bicara akan ‘sumbangsih’ negara dalam peradaban rakyat Indonesia kekinian. Tidak melulu sektor ekonomi –jika sektor ini sudah memenuhi kebutuhan rakyat- tapi perkara pendidikan, kesehatan, akses teknologi informasi ke daerah-daerah, dan keterbukaan ruang publik juga menjadi poin penting yang tak dapat dinegasikan oleh negara. Karena menjadi mustahil dan jadi bahan olok-olok jika rakyat ‘dipaksa’ cinta dan bela negara, sementara negara masih merasa seolah-olah tak bersalah (innocence) dengan berbagai model peristiwa pembantaian; pembantaian umat, pembantaian sejarah, pembantaian kejujuran, dan banyak lainnya. Ini menjadi dilematis. Kontradiksi laku negara belakangan ini, sadar tidak sadar melahirkan sikap-sikap ambivalensi rakyat, misal cinta negara tapi golput, menjunjung tinggi ekonomi kerakyatan tapi menabung di Swiss, falsafah Pancasila tapi studi banding ke Jerman, menjunjung kebebasan media atau berpendapat sekaligus menjunjung kebanalan, dan seterusnya.

Pertanyaannya, spesifikasi revitalisasi kebangsaan seperti apa yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat sekaligus oleh bangsa negara ini?
Semangat revitalisasi kebangsaan, saya kira, tidak bisa lepas dari konteks dan relasi sosial kekinian. Indonesia sekarang, dalam beberapa hal, jauh berbeda dari Indonesia bulan atau tahun lalu. Kemauan zaman menuntut negara sekaligus rakyatnya agar berpikir dan bertindak sesuai era. Indonesia yang selalu dan harus ‘menggelinding’ ini memiliki banyak tantangan dan hambatan. Bahkan chaos pun tak dapat dielakkan. Chaos datang tak hanya dari dalam negeri, pengaruh dari luar negeri pun tak main-main. Dinamika ini menuntut Indonesia belajar banyak dan bijak jika masih ingin diakui sebagai negara yang berdaulat dalam kemajemukan. Karena menjadi ironis jika Pangeran Mahkota di negeri penguasa minyak dunia sana masuk angin dan kerokan justru rakyat Indonesia di sini gontok-gontokan di SPBU dan gelap gulita di malam hari.

Saya kira ini pekerjaan rumah yang besar bagi bangsa dan negara ini. selain itu, kebutuhan yang benar-benar kita butuhkan satu sama lain pasti berbeda dan harus dengan perlakuan yang berbeda pula. Sebagai contoh, masyarakat dimana lahirnya PDRI membutuhkan kadar jaminan sosial dan ketercakupan pendidikan yang tidak sama dengan masyarakat di luar Sumatera Barat. Masyarakat di Lampung mungkin tidak membutuhkan stok bahan makanan, tapi lebih mengutamakan jaminan keamanan dan nuansa politik yang lebih stabil. Belum lagi jika disandingkan dengan daerah di pulau lain yang secara sosial dan politik suasana dan kebutuhan rakyatnya bisa saja jauh berbeda.

Ini semua dapat dicapai dengan –salah satu- memahami narasi kecil setiap daerah. Narasi kecil ini berpotensi besar selain mengungkap ‘wajah lain’ dari Indonesia juga memungkinkan untuk mempermudah capaian target-target kebijakan negara yang berbasis kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Pemberian ruang lebih luas kepada daerah-daerah untuk ‘mengungkap’ siapa mereka kemudian diikuti dengan pengakuan dari negara, menjadi sebuah pencapaian yang berlandaskan pada asas ‘sama rata sama rasa’. Asas dimana negara tidak menjadi ancaman bagi mereka –yang minoritas dalam sejarah- untuk menampilkan dan mengartikulasikan kebudayaan masing-masing. Nama baik negara sebagai pelindung dan pengayom memang harus dijunjung tinggi ketimbang diplesetkan menjadi negara sebagai ‘kolonial baru’.

PDRI dan pengangkatan Syafruddin Prawiranegara sebagai pahlawan nasional, menurut saya, adalah salah satu whistler blower dari sekian banyak narasi kecil di negeri ini yang memang harus diangkat dan dinyatakan ke rakyat Indonesia. Kita tahu ada banyak jong atau perkumpulan pemuda atau pejuang yang lahir dan menentukan kemerdekaan. Jong-jong ini tersebar di Sulawesi, Papua, Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan beberapa lainnya. Waktu itu mereka adalah penggerak. Namun sekarang, narasi kecil mereka diingat hanya nama. Ada memang pemberdayaan, tapi di balik pemberdayaan masih menyisakan diskriminasi-diskriminasi yang kasat mata. Misal cakupan area pendidikan dan kesehatan. Yang diberikan hanya ‘ala kadarnya’, itupun pada saat-saat tertentu.

Meskipun demikian, kecintaan orang-orang dari narasi kecil ini kepada Indonesia bisa saja lebih besar daripada orang-orang yang mengonstruksi narasi besar. Kecintaan ini terbentuk karena ada semacam imajinasi sosial (social imaginary) bahwa tanpa mereka yang memiliki narasi kecil, mustahil bagi Indonesia masih berdiri kokoh hingga hari ini. Agaknya hal ini juga terjadi pada keberadaan PDRI. Pemuda Sumatera Barat dan Jawa Barat, menurut saya, memiliki imajinasi sosial yang bisa saja lebih tinggi dari pemuda lainnya, bahwa tanpa PDRI entah akan menjadi apa Indonesia. Bisa jadi ini benar. Akan tetapi jika kecintaan pada negara ini –bertopang pada PDRI sebagai narasi kecil- akan menjadi lebih riskan, karena secara tidak sadar sikap ‘narsistik’ pemuda Sumatera Barat pun Jawa Barat tak dapat dihindari. Akhirnya, apakah memilih ‘angkat tangan’ pada dominasi narasi besar atau bertahan pada narasi kecil dengan resiko ‘terjerat’ pada sikap ‘narsistik’? Ini menjadi kekuatan, dualisme yang tarik menarik tak karu-karuan mulai dari zaman kemerdekaan, masa konstruksi sejarah, hingga hari ini.

Penutup

Masa 67 tahun usia Republik Indonesia dan menjelang peringatan Hari Bela Negara, ternyata ada banyak elemen bangsa yang harus dibela, diuraikan kembali, dan atau untuk sementara waktu dilupakan dahulu. Peringatan PDRI merupakan salah satu langkah bagaimana mengurai sejarah dan menorehkan siapa yang berhak ‘disejarahkan’ –dihargai dan dimaknai secara bijak- di negeri ini. Apapun dampaknya pengungkapan narasi-narasi kecil jauh lebih penting ketimbang hanya menerima dan tunduk pada dominasi narasi besar. Pengungkapan narasi kecil ini erat hubungannya dengan kondisi riil, kebutuhan yang sebenarnya diperlukan oleh rakyat. Di sinilah awal bagaimana revitalisasi kebangsaan itu dimulai. Karena, bagaimana mungkin melakukan revitalisasi jika kondisi riil rakyat masih mengambang dan ketidakpercayaan saling menghantui?

Lebih dari itu, narasi kecil juga berpotensi melahirkan teori-teori baru baik di bidang sosial, humaniora, psikologi, maupun poskolonial. Teori-teori ini ‘dipastikan’ lebih akurat digunakan untuk membaca kondisi zaman keindonesiaan. Semangat menjadikan buah pikir anak negeri sebagai landasan utama ‘meubah’ bangsa, menurut saya, jauh lebih efektif dan prestise ketimbang melulu mencomot teori-teori dan pemikiran dari barat. Kenyataan bahwa kondisi dan relasi sosial Indonesia berbeda jauh dengan bangsa-bangsa di barat sana, sudah seharusnya ‘menyadarkan’ kita untuk berhenti berkaca dan menukil pada bangsa lain.

Inilah dua kelebihan dari pengungkapan narasi kecil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Makna PDRI, menurut saya, tidak sebatas penentu utama keberlangsungan kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, tapi lebih dari itu, PDRI menjadi pemantik; pemantik agar narasi kecil di daerah lain juga diangkat, serta pemantik kerangka berpikir dan interpretasi perihal nasionalisme, revitalisasi kebangsaan, serta tantangan Indonesia kekinian menjadi lebih beragam, menyebarnya ruang-ruang dialektika yang menyegarkan serta semakin semaraknya budaya literate anak muda Indonesia.




Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...