Skip to main content

Puasa 1433 H di Kota Sejuta Angkringan



KAMIS dini hari aku dibangunkan oleh teman yang baik niatnya. Apalagi kalau bukan untuk sahur -mempersiapkan tenaga esok hari. Sedikit terhuyung aku bangun dan membasuh muka. Memanaskan air dan menyeduh susu. Ada sisa camilan semalam yang cukup menambah stok karbohidrat buat esok pagi. Maka, kujinjing makanan dan minuman itu ke
kamar teman. Siap menyantap menu seadanya sembari menonton laku orang-orang dipaksa melucu di tv :)

Jumat, hari pertama puasa kami. Di kantor, waktu memang tak bisa dibunuh dengan mudah. Sesekali perut melilit pilit. Apalagi ketika menjelang salat zuhur dan ashar. Widih, bikin mata mengantuk dan hidung berair. Syukur intensitas kerja mulai sedikit menurun. Dan waktu leha-leha cukup menghemat tenaga dan pikiran. Maka kuputuskan menulis dan membaca; buku, opini di online, serta survei gebetan nasional yang menyita tenaga buat ketawa itu.

Sedangkan twitterland sesekali aku jabanin. Ya, sekadar mengecek timeline dan mention warga yang tak pernah sunyi. Pun, seperti kebanyakan orang cerdas, meminta maaf dan mengucapkan marhaban yaa ramadhan kepada rakyat twitter. Selebihnya, aku hanya memantau beberapa akun gila; masih gilakah mereka di bulan puasa ini? Jawabannya ternyata iya dan hanya sekitar 0,05 % penyakitnya disembuhin. Semoga tidak yang adu
jotos di sana.

Ketika melirik facebook, seperti yang sudah-sudah, isinya begitu-begitu saja. Memang tidak ada yang meng-anger pakaian dan rok di wall aku. Tapi, jualan di wall teman sesekali mampir juga di home. Ini tidak hanya menyakitkan mata pengunjung akun aku, tapi hati aku juga; treunyuh karena tak mampu beli! Maka cepat-cepat kupakai sepatu dan kulambaikan log out dari sana. Aku mengurut dada, dada sendiri.

Sayup-sayup imbauan untuk singgah di live.com dan tumblr juga bergema. Goggle+ pun setiap membuka gmail selalu merayu untuk digerayangi. Tapi, aku malas. Walau isinya
cuma begitu, tapi jebakannya dahsyat men! bikin aku kesurupan! Belum lagi hi5, Linkedln, twoo, apalagi skype yang selalu minta ngeadd friends. Socmed ini sejak empat tahun lalu memang suka mengatur-atur aku. Dan sudah kentara sekali ingin memerkosa aku di bulan suci ini. Maka, aku berdoa; lindungilah hamba dari godaan socmed yang terkutuk.

Karena penentuan 1 ramadhan tak seragam, maka di kantor pun yang puasa juga tak seragam. Siang-siang panas 105 derajat reamur ini masih ada yang ngerokok dan makan siang. Jleb! Aku hanya menekur di depan monitor gading meja kerjaku. Memang mereka tak makan siang di depan aku - di dapur - tetap saja tersiksa yang puasa sob! Apalagi macam aku yang labil dan iman anak bawang ini. Pengen mlintir rasanya! :)

Satu jam, dua jam, tiga jam, eh sebentar saja azan ashar berkumandang di masjid sebelah kantor. Aku senang alang kepalang. Waktu tak perlu dibunuh sob. Biarkan Tuhan dengan tangan-tanganNya yang mendorong jarum pendek jam sprint berlari ke finish. Dengan kuasaNya, dahaga yang rakus ini mulai dijinakkan. Tak terasa, niat puasa dan kesenangan menyambut ramadhan adalah oase dalam diri yang tak pernah kering dan tak pernah berhenti mendahagakan. Hari pertama puasa, aku belajar akan kerendahan hati dan tak rakus ketika berbuka :)

Sembari terkekeh-kekeh di depan netbok aku berbuka dengan es kelapa muda dan secangkir susu hangat. Cukup mengeyangkan dan membuat perut tidak letih berkontraksi. Maka isilah sepertiga perutmu (lambung) dengan air, sepertiga lagi dengan makanan, dan tinggalkan sepertiga lagi untuk angin dan doa ^_^. Yaoloh, hari pertama puasa ini sudah mulai disingsetkan! hehehe.

Ngarai Rindu: 22.05/20/07/12

#foto dari internet

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...