Saya berteman dengan Si Fulan baru bisa dihitung jari. Tak sampai sepuluh tahun. Namun, jalinan psikologi sebagai teman bisa dikatakan baik dan akrab. Dia baik, dan saya kira, saya juga baik. Maka kami tak punya masalah dalam pertemanan sejauh ini. Suatu hari, saya perkenalkan teman saya kepada Si Fulan yang baik ini. Sama-sama dari pulau yang sama, tanpa perlu saya duga pun keakraban akan jauh lebih kuat. Ternyata memang begitu.
Saya sebutkan bentuk dari luar Si Fulan ini. Dia tampak sebagai seorang rampok yang selalu apes. Dalam arti, bentuk luarnya sekilas akan sangat mengganggu orang yang berjumpa dengannya. Ada kesan orang macam Fulan ini selalu membuat resah dan menakuti anak kecil. Namun, sekali jumpa dan terlibat cakap-cakap pendek, lawan bicara akan menangkap lain. Mereka akan mudah percaya. Karena, Si Fulan akan mencoba menampilkan
diri sesungguhnya, tanpa dibuat-dibuat. Dan itu mujarab.
Nah, teman saya akhirnya terpedaya. Ia kenal dua hari dengan Si Fulan, lantas bercerita apa saja tentang hidup dan keluarga besarnya. Tak tanggung-tanggung, sang kakak yang tengah didera badai kehidupan pun bercerita panjang lebar dengan Fulan. Sampai mewek dan tersedu-sedu. Mereka menumpahkan luka-luka yang menyayat kepada Fulan dengan berkisah. Adik kakak ini langsung nyaman. Meski mereka tak pikir panjang, siapa sebenarnya lawan bicara yang tengah dicurhati.
Si Fulan bingung bercampur geli. Dia sadar, bukan siapa-siapa bagi orang itu. Namun, dengan kebaikan hati tadi, ia mencoba memberi jalan keluar dari setiap gelombang badai yang diceritakan kepadanya. Lha, saya tak paham harus berbuat apa? Makanya saya karang saja kalimat yang baik di telinga, katanya suatu malam.
Fulan pun tak pikir panjang lagi. Ia selalu meluangkan waktu pada teman-temannya (lama maupun baru) untuk mendengarkan beragam cerita. Meskipun itu tak ia pahami, tak pernah ia harapkan, dan tak pernah ia pikirkan. Namun, kisah hidupnya berkehendak lain. Ia menjadi manusia dengan segala kenyamanan bagi orang lain terhadapnya. Bagi teman sebayanya, bagi kakaknya, bagi kekasihnya, bagi ibu-ibu rumah tangga, serta bagi karyawannya. Ia baik.
Saya, ketika mendengar Fulan bercerita di warung lesehan trotoar kota ini, terpingkal-pingkal sesekali mengucap kaget dan terperangah. Saya kaget dan butuh waktu untuk percaya kepada Fulan. Tapi, saya kenal dia, mustahil ia berbohong akan kisah hidup orang lain. Saya jadi lebih banyak tahu akan kisah keluarga si A ketimbang kamu? katanya padaku. Padahal, lanjutnya, dia itu temanmu, bukan temanku. Tapi, apa boleh buat, aku yang menderita, katanya sembari terkekeh.
Fulan pun tak percaya dengan jalan hidupnya yang beberapa hari lalu yang ia kisahkan. Ia terheran-heran dengan dirinya. Tak percaya, dan hanya bisa mendengar, sesekali menimpali. Selebihnya, ia kalut.
Cerita Si Fulan ini memberi saya pelajaran tentang hidup yang tak mau tahu dengan orang yang melakoninya. Hidup tak peduli, bagaimana jadinya nasib orang-orang yang menjalani hidup itu. Apakah akan berurai air mata, cekikikan, atau hanya hambar. Tokoh Fulan, ia diciptakan bukan tanpa tujuan. Ia begitu berguna bagi orang lain. Siapa saja yang merasa butuh tempat bercerita, maka Fulanlah orangnya.
#foto internet
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^