Skip to main content

[Muse] Kutitipkan Emosi pada Malam di 2025



"Apa guna kusekolahkan kau setinggi pohon kelapa jika hanya untuk
mempermalukan orang tua?" Ayahanda Minke,


Setengah mati aku menahan kantuk menuliskan cerita ini. Maklum,beberapa malam ini aku dipaksa untuk tetap terjaga hingga dini hari karena Bumi Manusia-karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Ia memaksaku untuk memangkas waktu istirahat guna mendengarkan Minke berkisah dengan gilanya. Tak diberinya aku berpaling dari kecerdasan Nyai Ontosoroh, serta menyeretku ikut menyumpah dengan aturan yang dibuat oleh Ayahanda Minke-tepatnya bangsa Jawa. Oh, ni bukan pertama kali aku mengenangnya. But, it is always tempting!


Pantas novel ini disepakterjangkan oleh Suharto atau Sukarno atau sejenisnya karena isinya memang meracuni. Aku yakin, jika kini kau sodorkan cerita ini kepada muda mudi Jawa-secara acak-mereka juga akan menolak cara Pram mencemooh budaya yang tua ini (baca; pasrah, merangkak atau melata di hadapan raja kecil). Sumpah! Aku berani bertaruh untuk ini. Pasti mereka membuangnya ke selokan!

Tapi, aku sedang tak bicara tentang muda mudi (Jawa) secara acak melengah dari novel ini. Mari kita mengingat kembali warisan apa yang didapat dari setelah membaca dan menyimak karya Pram ini. Jika sudah begini, aku serasa ingin menjadi dosen sastra. Mewajibkan mahasiswaku menelaah Tetralogi Buru, memperdebatkannya, kemudian mentraktir mereka di warung pinggir jalan. Kenapa? Karena, saat ini, aku merasa tak
begitu bangga dengan dosenku di sastra tempo hari. Mereka terlalu adem, tak ada percikan api, serta jauh dari keringat.

Aku ingin menyuguhkan sisi lain dari Bumi Manusia (BM). Jika selama ini BM kerap 'diwakilkan' karena kesenjangan ideologi antara Eropa yang miskin dengan Pribumi yang tumpah ruah, maka sekarang aku mencoba berkisah datar-datar saja tentang kerangka moral tepatnya free sex keturunan Indo atau Pribumi yang keindo atau keeropaan di akhir abad 19.

Kenapa free sex atau moral dari BM yang kusoroti? Entahlah. Tiba-tiba, aku melihat sisi itu yang rasanya belum kujamah dari BM. Tentang perjuangan Nyai Ontosoroh yang sangat feminis itu (ah! tak usahlah bawa-bawa feminis. Tanpa embel-embel feminis, kau tetap tahu si nyai gundik itu benar-benar pahlawan), tentang kejiwaan Minke yang seperti baling-baling (khas anak muda bobo-borjuis bohemian- abad 20 ini), atau tentang postmonya BM, ini makin rumit dan menguras emosi. Maka, mari kita mengulas free sex!

Minke dalam BM rasanya belum genap 20 tahun atau lebih sedikit. Ia pelajar yang saban hari berbicara dalam empat bahasa (Belanda, Melayu, Jawa, dan Perancis) namun menulis dalam dua bahasa, ia dapat nol besar jika dihadapkan menulis dalam bahasa Jawa dan Melayu. Pemuda yang baru beberapa tahun disunat itu, sudah gemar seranjang dengan gadis-gadis sebayanya. Apa lacur? Ia dipondokkan oleh Ayahandanya, jauuuuuh dari rumah dan Bunda. Maka ia seenak perutnya. Tepatnya mengambang di permukaan budaya Eropa yang memang permisif itu.

Eh, aku kaget dengan sosial budaya anak muda pada abad 19. Hindia Belanda yang pandir ini, ternyata anak mudanya sudah berpengalaman dengan semen leven dan model hidup macam begitu. Sepertinya ini tak mendapat hirauan serius dari ayahanda. Meski Minke dipindahsekolahkan karenanya tapi itu masih berlanjut. Di bagian ini, aku malas menerka-terka, memang benar adanya, seiring pergundikan marak di Hindia Belanda, pemuda negeri ini pun-tentunya yang bersekolah Belanda-bergundik pula di pemondokannya. 'Bergundik' kecil-kecilan. Begitu aku menyebutnya.

Pun dengan tradisi gundik, nyai-nyai, plesiran baba A Tjong, ini terjadi, katakanlah, semakin marak sejak Hindia Belanda di bawah kekangan bangsa Eropa. Siapa gurunya? Tentu saja mereka yang perampas itu. Bangsa Eropa yang merampas lada, pala, cengkeh, kopi, harta, anak perawan hingga nyawa. Aku terbawa emosi, wahai teman-teman yang cerdas hukum, bukankah kita berhak menuntut balas akan kebiadaban bangsa Belanda 300 tahun lalu ke pengadilan internasional sekarang? Jepang juga bisa. Bukankah kita punya saksi hidup, Jugun Ianfu, yang tersebar dari Papua hingga Aceh sana?

Sampai di sini aku terdiam. Tak mungkin kepahitan cerita ini dikarang Pram hanya untuk menakut-takuti anak cucu bangsanya. Pastilah ini terjadi kawan! Dan, tak terbayangkan betapa bengis dan jijiknya beliau melisankan cerita ini di Penjara Buru, di depan para pesakitan tahun 1973 itu. Tapi, cepat-cepat aku berkilah, pastilah para pembeo di Senayan dan di ruang berAC itu tak pernah membaca BM. Atau jangan-jangan juga tak kenal Pram. O alah! Salah muara aku sekiranya.

Kembali ke free sex. Sebenarnya tak hanya Minke yang buaya bangkong namun cukup pintar itu saja yang berfree sex ria. Bahkan Robert, kakak kandung Annelis-pacar Minke kelak menjadi istrinya-sudah pula berbuat hidup purba dengan adik kandungnya. Aku teringat Kemarau A.A Navis yang incest itu. Sayang, di BM kisahnya lebih tragis.

Kisah hidup muda mudi di BM menghantarkanku pada perjalanan muda mudi saat ini. Sungguh, di kota serba menjunjung tinggi hormat-menghormati ini, jangan kau tanyakan budaya free sex. Lumat dimakan mentari dan malam sudah. Tak ada yang menegur. Semua berjalan dengan busuknya. Sungguh busuk ketimbang bangkai tikus di sumur tinggal.

Apa? Kau sebut aku katrok? Ulok? Ndeso? Tak gaul? Sok bijak? Jangan-jangan aku juga begitu? Ah, ini benar-benar gila!

Andai saja, guru sastra dan dosenku delapan atau empat tahun lalu mengajarkan, betapa dalam sastra itu adalah lukisan usang namun hidup dalam kehidupan bapak ibumu, mamakmu, abangmu, bahkan dirimu, mungkin aku tidak sesentimentel ini. Kau tahu, kematian Tuan Mellema kemudian menyusul Robert Mellema yang spilis itu adalah buah dari ketidakberdayaan jiwa yang sedang krisis. Apa kau ingin anak cucumu juga begitu? Jika tidak maka bersungguh-sungguhlah untuk menghadirkannya ke muka bumi yang sial ini.

Lantas, di tengah-tengah bumi yang penuh sumpah serapah ini, bayi-bayi imut itu lahir. Mengerjapkan mata kecilnya. Bercengkerama dengan seseorang yang memeluknya. Menghangatkannya, tapi bukan ibunya. Ibu? Kemana? Tak ada peran yang tertinggal setelah perempuan muda mengejankan bayinya ke bumi Allah. Di zaman itu, 1899, kedudukan anak haram jadah jauh lebih tinggi dari kedudukan gundik, ibunya, meski ia
berperangai seperti anak setan. Bapaknya? O, di sinilah aku kerap menyepelekan peran laki-laki, kenapa mereka banyak diangkat menjadi nabi, padahal antara otak dan humanismenya sering tak sejalan.

Lalu, lagi, aku berterima kasih kepada Pram yang menyadarkan setiap pembaca yang menyimak kisah ceritanya. Sungguh, aku tidak tengah mendewakan sastrawan satu ini. Bagiku, setiap membaca ceritanya ada nilai baru yang membuat aku merinding untuk slonong boy dalam ulah dan laku. Karena dengan hidup-apalagi dengan bersekolah tinggi- kau harus pandai menerima dan membuat sesuatu itu patut bagi dirimu serta
orang-orang di sekelilingmu. Dengan begitu, tentu kau takkan memakan makanan orang lain bukan?

Sayup-sayup Avenged Sevenfold menyalip di telinga, rasanya mereka mulai memaki, mendaki, dan ssssstttttttttt!

I see my vision burn, I feel my memories fade with time
But I’m too young to worry (a melody, a memory, or just one Picture)

Seize the day, or die regretting the time you lost
It’s empty, and cold without you here, too many people to Ache over


#Foto dari internet

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...