Skip to main content

Ulama Syiah Dipidana Penodaan Agama Amendemen Pasal Penodaan Agama, Hapus Kewenangan Bakor Pakem

Untuk Segera Disiarkan


(New York, 12 Juli 2012) – Pemerintah Indonesia harus segera cabut semua tuntutan dan bebaskan Tajul Muluk, ulama Syiah di Pulau Madura yang divonis hari ini dengan hukuman dua tahun penjara karena “penodaan” agama,” demikian Human Rights Watch.

Human Rights Watch mendesak pemerintah untuk mengamendemen atau mencabut pasal penodaan agama dan membubarkan lembaga dengan identitas Islamis, biasa disebut Bakor Pakem, atau Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, yang secara resmi berada di bawah Kejaksaan Agung, di mana lembaga ini getol lakukan kriminalisasi kegiatan keagamaan.

“Pemerintah Indonesia harus segera menghentikan kasus terhadap Tajul Muluk. Pasal penodaan agama bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia pada Human Rights Watch. “Pemerintah perlu menghentikan tren meningkatnya kekerasan dan tindakan hukum terhadap minoritas agama di Indonesia.”

Pengadilan negeri Sampang pada 12 Juli memutuskan ustad Syiah, Tajul Muluk, bersalah melakukan penodaan agama karena ajarannya. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 156a, pelanggaran “penodaan terhadap suatu agama” diancam dengan hukuman maksimal lima tahun penjara.

Selama bertahun-tahun, komunitas Syiah di dusun Nangkernang, kecamatan Omben, kabupaten Sampang, menghadapi beragam gangguan dari otoritas pemerintah dan keagamaan. Pada Februari 2006, 40 ulama Sunni dan empat polisi menandatangani pernyataan publik, mengumumkan bahwa Islam Syiah sebagai “aliran sesat.” Pernyataan ini menyebut dua pertemuan dengan ulama Syiah, di mana jemaat Syiah diminta untuk kembali ke “jalan Ahlussunnah wal-Jamaah dan sesepuh terdahulu” tapi mereka “membangkang.” Surat pernyataan ini juga minta lembaga-lembaga penegak hukum untuk mengambil tindakan terhadap Tajul Muluk.

Pernyataan itu merupakan langkah pertama siar kebencian terhadap jemaat Syiah di Sampang. Pada 2009, Tajul Muluk berselisih pendapat dengan adiknya, Roisul Hukama, yang mendorong Roisul bergabung dalam kampanye anti-Syiah di Madura. Pada Juli 2011, polisi dan pejabat pemerintah Sampang mendesak Tajul Muluk untuk meninggalkan kampungnya dan memberi bantuan keuangan bila pergi dari Nangkernang. Polisi dan pejabat Indonesia belakangan mengatakan persoalan terhadap Muluk merupakan “sengketa keluarga” dengan adiknya bukan perkara keyakinan.

Selama 2011, warga Sunni melancarkan pelecehan dan intimidasi terhadap jemaat Syiah di dusun kecil Nangkernang. Misalnya, 6 Desember 2011, saat merayakan Asyura, hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam yang menggambarkan arti penting spiritual bagi umat Syiah, militan Sunni mencegah 60 jemaat Syiah meninggalkan dusunnya dengan blokade jalan. Ustad Syiah, Iklil al Milal berkata dia minta polisi setempat untuk ambil tindakan mengakhiri ancaman, tapi polisi justru membiarkan.

Pada 29 Desember 2011, militan Sunni menyerang dusun Nangkernang, membakar beberapa rumah dan madrasah, dan menyebabkan sekira 500 warga Syiah mengungsi. Polisi hanya menangkap dan mendakwa seorang lelaki Sunni atas serangan pembakaran. Di sisi lain, serangan ini mendorong polisi memaksa ulama Syiah, termasuk Tajul Muluk dan Iklil al Milal, untuk meninggalkan Nangkernang. Kementerian Agama di Sampang mengumumkan mereka akan “membina” ratusan jemaat Syiah untuk “belajar Islam.”

Pada 4 Januari 2012, kepala kejaksaan negeri Sampang, Danang Purwoko Adji Susesno, sebagai ketua Bakor Pakem, minta Kejaksaan Agung untuk melarang “ajaran Tajul Muluk” dan menyatakan dalam sebuah surat bahwa kejaksaan Sampang akan mendakwa Tajul Muluk. Jaksa membuat bermacam argumentasi tentang ajaran Tajul Muluk dan mengapa Syiah bertentangan dengan Islam. Tajul Muluk mulai diinterogasi polisi pada Februari 2012, dan mendakwa serta menahannya dengan pasal penodaan agama dan “perbuatan tak menyenangkan” pada 24 April 2012.

Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat atau Bakor Pakem merupakan lembaga koordinasi di bawah Kejaksaan Agung, dengan perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten di tiap kantor kejaksaan daerah. Menurut Undang-Undang 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Bakor Pakem diberi mandat untuk mengawasi “penyalahgunaan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.” Bakor Pakem biasanya bekerja di bawah seksi intelijen dari kantor kejaksaan, dan berhubungan dekat dengan Departemen Agama, polisi, militer, pemerintah daerah, dan lembaga keagamaan.

Bakor Pakem sangat berpengaruh dalam merekomendasi pemerintah dalam melarang komunitas keagamaan, menurut Human Rights Watch. Bakor Pakem merekomendasikan pelarangan Muslim Ahmadiyah pada April 2008, dan dua bulan kemudian minoritas agama itu dilarang. Di Dharmasraya, Sumatra Barat, Bakor Pakem mengawali tuntutan terhadap Alexander An, admin grup Facebook “Ateis Minang.” Dia akhirnya dibebaskan dari tuduhan penodaan agama Islam tapi, pada Juni 2012, pengadilan negeri Sijunjung memvonisnya 2,5 tahun penjara dan menjatuhkan denda Rp 100 juta atas pasal perbuatan menganggu ketertiban umum lewat Facebook.

Bakor Pakem juga memainkan peran dalam memprakarsai penuntutan terhadap Andreas Guntur, tokoh gerakan spiritual Amanat Keagungan Ilahi, yang divonis empat tahun penjara pada Maret 2012 oleh pengadilan negeri Klaten, Jawa Tengah, karena pasal penodaan agama Islam.

Indonesia terikat dengan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, di mana pasal 18 menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengalaman, dan pengajaran. … Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”

“Pemerintah Indonesia membiarkan Bakor Pakem melakukan kriminalisasi kaum minoritas dengan pasal penodaan agama,” kata Pearson. “Pemerintah harus mengakhiri praktik lembaga yang mendukung diskriminasi terhadap keyakinan dan keberagamaan untuk punya tempat dalam sistem peradilan Indonesia.”


Untuk pernyataan Human Rights Watch pada April 2010 tentang Mahkamah Agung Indonesia mengekalkan beleid penodaan agama, sila baca:
http://www.hrw.org/news/2010/04/19/indonesia-court-ruling-setback-religious-freedom

Untuk pernyataan Human Rights Watch tentang Tinjauan Periodik Universal (UPR) Indonesia di Dewan HAM PBB pada 23 Mei 2012, sila baca:
http://www.hrw.org/node/107178

Untuk laporan lengkap Human Rights Watch tentang Indonesia, sila lihat:
http://www.hrw.org/asia/indonesia

Guna informasi lanjut, sila kontak:
Di Jakarta, Andreas Harsono (Bahasa Indonesia, Inggris): +62-815-950-9000 (mobile); atau harsona@hrw.org. Ikuti Twitter @andreasharsono
Di New York, Elaine Pearson (Inggris): +1-646-291-7169(mobile); atau pearsoe@hrw.org. Ikuti Twitter @pearsonelaine
Di Bangkok, Phil Robertson (Inggris, Thai):+66-85-060-8406(mobile); atau robertp@hrw.org. Ikuti Twitter @Reaproy
Di London, Brad Adams (Inggris): +44-7908-728-333(mobile); atau adamsb@hrw.org.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...