Skip to main content

Generasi Sophisticated Geblek





Fenomena barang canggih (baca; teknologi) baik itu blackberry, tablet, iphone, ipad, dan seterusnya semakin mencabik-cabik kantong kita sebagai anak muda. Kenapa anak muda? Karena anak muda yang paling tidak tahan dengan segala godaan, termasuk godaan barang canggih nan seksi itu. Tidak sedikit anak muda setia mengikuti mode dan tren handphone keluaran terbaru untuk dimiliki, bagaimanapun caranya. Dan tidak sedikit pula yang minder jika hanya memakai handphone yang itu-itu saja sejak beberapa tahun belakangan. Rasanya gimana gitu bawa-bawa handphone yang dilengkapi infra red? Tiba-tiba muka berubah warna mirip hati ayam.
Seorang teman bela-belain untuk mendapatkan blackberry dari bapaknya yang berkantung pas-pasan. Sang bapak yang berpenghasilan Rp 3 juta per bulan dengan beban enam mulut yang harus diisi tiga kali sehari, cukup kewalahan memenuhi hasrat itu. Namun, pantang surut merengek kian hari si BB akhirnya dimiliki juga. Tiga pekan kemudian, ternyata si BB hanya digunakan untuk berBBM ria, berFB ria, dan berTwit ria sesama sohib dan selingkuhan. Sedangkan menelpon dan berSMS cukup memakai handphone butut yang harga bekasnya cuma Rp 50 ribu, plus simcard yang providernya menawarkan ribuan SMS gratis. Enggak usah ditulis di sini ya providernya. Tak ada yang marah dan menyesali, karena si bapak tidak memakai BB.
Sedangkan teman berikutnya, harus memakai BB karena pacar sang kakak telah membelikan BB baru yang lebih canggih sebagai tanda cinta yang lebih serius kepada kakak. Mahar 1 lah istilahnya. Si adik mendapat hibah BB, lumayan keren, tapi ia belum nyaman menggunakannya. Karena tak punya budget untuk berBBM ria. Jatah bulanan dari ibunda saja harus dicukup-cukupkan untuk membiayai tiga simcard yang rutin ia gunakan untuk membalas SMS dan menelepon orang-orang yang katanya fans-fans gelap. Indah bukan dengan barang teknologi itu?
Teman yang satu lagi, memakai tablet untuk keperluan usaha dan bisnis menggiurkan yang omsetnya mencapai puluhan juta per bulan. Bentuknya, tentu tak perlu dideskripsikan di sini, siapa sih yang tidak pernah lihat tablet? Ndeso banget. Sang teman mengaku tab ini, begitu akrabnya, digunakan hanya untuk transaksi dan transfer uang kepada pelanggan ataupun sesama kolega pengusaha. Maklum, mobilitas yang tinggi memang butuh barang yang super duper mobile juga sebagai rekan kerja yang tak pernah protes. Untuk ngegames, sepertinya sayang ya. Masa canggih-canggih begitu buat cekikikan enggak jelas. Sesekali si tab ini digunakan untuk menjawab panggilan dari orang-orang, baik yang tercinta maupun yang bikin sebel. Selain itu, tak guna bahkan si tab bikin boring. Akunya, si tab kayaknya belum maksimal deh bantu aku. Makanya sering aku biarin telentang di kasur.
Ini baru tiga alasan mengapa anak muda negeri ini memakai produk canggih. Ada sejuta alasan lagi mengapa kita memakai BB dan patnernya itu. Ada yang pengen punya niat dari dalam hati, ada yang kebagian durian runtuh, ataupun yang beralasan kebutuhan. Ketiga-tiganya, sesuai sinopsis di atas, cukup untuk diceramahi sekitar 2 SKS karena kurang tertib dalam membelanjakan uangnya di jalan yang benar. Selain itu, ketiga-tiganya juga perlu diikutsertakan di dalam kelas sejarah sekitar dua bulan berturut-turut. Di kelas itu, ketiganya akan belajar lagi bagaimana kehidupan tempo dulu yang tanpa produk canggih tersebut juga bisa berpacaran, iseng, dan dagang. Metode ini bukan awal untuk mengeluarkan fatwa haram terhadap barang canggih ya, perlu digarisbawahi. Karena menurut seorang penulis hebat di negeri ini, yang katanya punya koran Republika itu lo, hidup di zaman posmodern ini harus berhati-hati dan jangan sampai terhegemoni dengan segala kecanggihan, yang secara tidak langsung sudah menjadi hal wajib untuk diniati, dimiliki, serta digunakan. Waktu membaca esainya, saya mengangguk-angguk bangga dan tersenyum simpul sembari melirik handphone butut dan ilegal milik saya. Tiba-tiba nama saya tercantum samar-samar sebagai CEO Republika di handphone itu. Keren gila!
Begitulah fenomena bercanggih-canggih ria yang ditemukan saat-saat ini. Budaya BB dan tablet sudah sangat dekat dengan kehidupan kita. Pernah seorang ibu guru yang mengikuti pelatihan apa gitu, tampak mencolok sekali, karena hanya beliau yang memakai tablet di kelas pelatihan. Waktu jam istirahat si tab digunakan untuk berfoto-foto ria dengan peserta lain. Salah satu dari teman saya dimintai bantuan menjepret si ibu guru dan rekan-rekannya. Setelah teman saya sentuh sana sini, menu untuk menjepret tak ditemukan lagi. Alhasil, ibu guru dan rekan-rekannya tak jadi foto bareng. Dengan dongkol bu guru berucap, “Abis kulit kamu kasar banget, pada hilang. Mana ibu juga enggak tahu cara balikinnya,” jawab ibu guru dengan muka masam. Gubrak! Kita hampir terjungkang.
Lagi-lagi, baik tua maupun muda pada dasarnya tak mau terlindas tren, istilah jadulnya ketinggalan zaman. Kita mau semua yang mencolok mata itu. Kita mau semua yang orang lain miliki. Kita mau semua sesuatu yang sepertinya mampu mengangkat strata sosial kita. Padahal, dominan orang-orang hebat yang kita temukan, tidak memakai BB dan patnernya itu. Salah seorang mentor justru memakai handphone mini dan butut dengan memori hanya cukup menampung 100 data phonebook. Seorang penulis terkenal memakai handphone dilengkapi karet gelang guna bertahan menyala. Bahkan, seorang peneliti Indonesia di Belanda, justru memiliki handphone yang sepertinya produk Cina yang laris manis di pasaran itu.
Kita pasti salut dengan kekuatan mental dan diri mereka untuk bertahan dalam kondisi seperti itu. Beliau-beliau tak malu apalagi segan kepada rekan-rekan. Beliau-beliau enjoy dengan fasilitas yang telah dimiliki. Tingkat kebertahanan dari tren ini yang masih sangat sulit kita jangkau sebagai anak muda. Kita mungkin masih labil, dalam proses pencarian jati diri juga, serta tentunya masih menyusu kepada orang tua dan belum memiliki beban, sehingga hal-hal demikian belumlah menjadi fokus dan analisa kita yang sangat dalam. Padalah berawal dari sini kemacetan, kebangkrutan, serta kemiskinan bangsa kita dimulai. Bagaimana tidak, jika kesenjangan sosial semakin tinggi, perekonomian bangsa kita yang masih kusut ini akan semakin sulit diselesaikan. Ujung-ujungnya krisis perekonomian menjadi bayang-bayang dimana bangsa kita berdiri. Bukan melarang memakai BB dan patnernya ya, hanya saja dengan produk itu, daya beli kita terhadap produk dalam negeri menurun, budaya hemat itu mengambang menjadi dongeng di angkasa, tingkat konsumerisme tinggi, dan yang paling menyedihkan, ternyata banyak bapak, ibu, serta saudara-saudara kita yang diam melongo, tak tahu menahu terhadap barang canggih itu. Sedih deh pokoknya kalau sudah begitu. Herannya, kita pun enggan banget buat ngajarin BB apalagi tablet kepada mereka-mereka. Kita semakin skeptis dan apatis! Silahkan direnungkan.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...