Jalan panjang ini harus kususuri sendiri. Kesendirian, hanyalah kata absurd yang tak perlu kupanjanglebarkan apalagi untuk dipermasalahkan. Jika ingin, kata itu bisa kaujadikan tameng untuk kau berlindung dan keep going kemana pun kau pergi. Justru sebaliknya, kata itu bisa menjadi bumerang dimana ia akan menggorok lehermu hingga putus dan darahnya membeku seketika. Sadis memang jika kau penjang lebarkan.
Namun, dengan kesendirian ini aku justru menemukan perbedaan yang sangat berharga dari fase hidupku kini. Perbeda dari orang-orang yang pernah ditemui sebelumnya ataupun berbeda dari hal-hal yang kuperkirakan akan sama. Sungguh di luar perkiraanku pada perjalanan ini. Perbedaan yang menghantarkan kita pada satu jalur dan beriring bersama memasuki liangnya. Indah memang jika dijalani dengan saling keterbukaan dan aku maupun kamu tahu maksud hati ini, bahwa bukan untuk mencelakaimu. Justru dari sinilah cerita itu bermula.
Subuh yang kurasakan ini bukanlah subuh yang biasa. Pada sedini hari ini, muazin, dengan suara ringannya dan khas, mencoba membangunkan setiap orang yang mengaku beragama Allah Swt. Dalam samar-samar, suara ringan dan khas itu seperti begitu akrab di kupingku. Namun, suara itu tidak bergema sedini hari ini. Jam di telepon genggamku memperlihatkan sekitar pukul 03.20 wib.
“Masyaallah, malam nian engkau mengaji wahai mas muazin?” bisikku di dalam hati. Di detik lain seseorang mengajakku berjamaah. Kukuatkan tungkai-tungkai kaki ini menuruni 13 anak tangga, menggapai sakelar lampu di atas kepalaku, menggayung air, kemudian berwudu. Guyuran air berangsur memulihkan pikiran ini bahwa aku sedang tidak di rumah. Kembali menaiki anak tangga dengan ukiran sederhana dan segera menghamparkan dua sajadah untuk kami berjamaah. Di sela tirai berjendela kaca, rupa-rupanya fajar perlahan-lahan menyentuh langit. Subhanallah, begitu cepat poros bumi berputar di kota asri ini, pikirku tengah mengenakan mukena.
Sembari membolak-balik biografi WS. Rendra setelah berjamaah subuh, cericit-cericit di sana sini menghadirkan suasana lain di hatiku. Bukan cericit twit yang biasa kita lakukan dan juga bukan cericit anak ayam, namun cericit burung gereja serta burung prenjak dari rumah tetangga. Pagi-pagi begini, bukan suara kokok kokok ayam yang membangunkanmu wahai cinta, namun cericit-cericit burunglah yang melumerkan mimpi indahmu.
Perlahan-lahan kusibakkan tirai berjendela kaca itu. Duhai dari ketinggian ini aku menyaksikan burung-burung gereja liar tengah asyiknya bertamasya pagi di atas genteng rumah-rumah penduduk. Warna sayapnya yang gelap, kontras sekali dengan warna genteng yang cerah. Jadi kamu akan mudah menemukan lima bahkan sepuluh burung gereja berbanjar, bercericit sambil membersihkan sayap-sayap mereka. Tak terhitung pula, mereka berputar-putar di sekitar genteng, mungkin ini ritual menyambut pagi. Bahkan jangan-jangan ini suguhan istimewa untukku sebagai tamu atau bahkan warga baru di tanah kelahiran mereka. Dalam senyumku, kusapa mereka. “Selamat pagi kawan kecil.”
Pada pukul 05.10 wib ini, hidup sudah dimulai teman. Burung-burung itu akan mencari sesuatu yang mampu mempertahankan serta memperpanjang hidup dan usianya. Pada pukul 05.30 wib ini, rasanya engkau akan enggan melaksanakan salat subuh dua rakaat. Karena langit luas di sini sudah terang benderang, walaupun mentari belum juga menyembulkan kemilau indahnya. Sedangkan di luar sana, satu dua tiga kendaraaan baik roda dua, roda tiga, dan roda empat sudah mulai mewarnai jalan selebar tiga meter itu. Aktivitas masyarakat di sekitar Mantrijeron ini sudah sangat ramai.
Sedangkan di sekitar rumah ini, kau akan mendengar gesekan tanah dan sapu lidi saling beradu menghadiri pagimu di sekitar RT 016 ini. Mbah-mbah, baik mbah putri maupun mbah kakung, saling membersihkan pekarangan mereka. Sembari mencabut rumput-rumput kecil liar, mereka bercengkerama dengan bahasa yang sungguh aku tak mengerti. Sesekali diselingi tawa dan suara meninggi. Entah apa yang mereka utarakan. Bisa jadi perilaku cucu mereka tadi malam yang menggelikan, atau masakan mereka yang diam-diam dikerubungi semut bahkan cicak. Lagi, lagi aku hanya menduga di balik bahasa yang mungkin hanya tertera di primbon itu.
Pukul 06.00 wib ini aku yakin kau tak akan menambah porsi tidurmu lagi. Karena si gadis kecil di depan rumah akan bernyanyi-nyanyi dengan mbah kakungnya yang setia mengajaknya bermain apa saja. Ia baru 2,5 tahun, namun ia seolah-olah dirimu, perempuan. Tatapan matanya yang tak mudah berkedip akan membuatmu susah jauh darinya jika bersua. Biasanya ia akan membawakan lagu Kasih Ibu dengan suaranya yang lembut serta lafaznya yang cadel. Rambutnya sebahu serta poni kuda di dahinya, “Persis potongan rambutku waktu dulu,” gumamku.
Gadis kecil ini harus merelakan masa kecilnya bermain hanya bersama mbah kakung, bapak, serta nenek. Sesekali, tetangga dewasa mengajaknya berkeliling RT, karena dia suka bercengkerama yang akan membuatmu penasaran, walau kau tak mengerti apa yang diceritakannya. Dimana ibu? Ibu tak bisa kemana-mana. Kabar yang kuterima, setelah kecelakaan yang menimpanya beberapa tahun lalu, si ibu menderita lumpuh, entah permanen entah tidak. Ibu hanya akan menemani gadis kecil bermain hingga di depan pintu rumah dan dapur. Dibantu kursi beroda, si ibu sabar mengajarinya bernyanyi dan bercerita, apa saja, asalkan si gadis kecil mengeluarkan suara-suara yang menghangatkan rumah itu. Termasuk rumah yang kutempati ini. Ia mahkluk terkecil di antara kami. Ia mahkluk yang kami tak ingin ia merasakan kesedihan. Ia mahkluk yang kami tak ingin ia menangis dan tak berteman. Ia mahkluk yang rasanya ingin kuajak bermain ke rumah ini. Namun, tentu aku berpikir-pikir lagi mengeksekusi niat itu.
Mentari terus menanjak tinggi. Kata ahli gizi, pada jam-jam segini bagus untuk kesehatan, sinar mentarinya mengandung vitamin D. Kehidupan pun semakin berisik dan ramai. Deru kendaraan menjadi-jadi. Dan engkau akan menyaksikan puluhan sangkar burung berjejer di depan rumah ini. Ada murai, prenjak, serta burung dengan sayap warna-warni. Mereka dilengkapi dengan aneka makanan yang tidak kuduga sebelumnya. Burung-burung itu ternyata tidak hanya memakan pur, seperti kebanyakan makanan burung, tetapi juga memakan jagung muda, selada, ulat-ulat kecil, serta makanan lainnya. Keren juga ya, pikirku.
Mungkin karena mendengar serta melihat burung garuda yang bebas lepas terbang di angkasa, cericit-cericit burung-burung ini pun semakin ramai. Mereka begitu sigap menerima makanan khusus yang disodorkan oleh tuannya. Si tuan begitu telaten, menjemur burung-burung, memandikan mereka, menyuapi makanan, membersihkan kandang, serta merawat semua kebutuhan burung-burung tersebut. Si tuan yang sangat ramah, sebenarnya hampir semua warga kota ini ramah, begitu di mataku, selalu bersiul-siul ketika melakukan aktivitasnya itu.
Kondisi ini menghantarkanku kepada situasi sepuluh tahun lalu. Tetangga kami di Lubuk Sanai, Mukomuko, Bengkulu, juga memelihara berbagai jenis burung sebagai komoditi untuk diperjualbelikan kepada orang-orang beruang di tempat itu. Dengan telaten pula tetanggaku itu merawat burung-burung tersebut. Begitu juga dengan tetangga kami di kota ini. Hanya saja, burung-burung yang dipelihara lebih beragam dan tentu saja dengan cara yang mungkin sedikit berbeda.
Kami memanggilnya Pak De, entah kapan beliau menikah dengan tanteku. Harapan kami, dengan panggilan itu setidaknya Pak De menganggap kami sebagai anak atau apalah namanya yang dekat dengan keluarga mereka. Karena, jujur saja, kami tak punya siapa-siapa di sini selain tetangga yang baik hati, dengan syarat kita pun harus baik hati kepada mereka. Beliau begitu santun dan sedia membantu, seperti meminjam obeng, membantu mengangkat jemuran sepatu dan pengikat rambut, membantu burung gereja yang terjerat tali temali secara tak sengaja di atap rumah kami, dan seterusnya. “Benar-benar homy tempat ini,” bisikku dalam hati.
Perbedaan ini terus datang setiap pagi. Perbedaan ini muncul seiring mentari merebak dari arah jalan Ring Road Timur kota ini. Perbedaan yang memberi kita banyak ilmu serta kemungkinan-kemungkinan yang akan kita wujudkan kelak. Ya, perbedaan ini akan kuteruskan.
...
Tak perlu menangis, tak perlu bersedih
Tak perlu tak perlu sedu sedan itu
Hadapi saja
...
Alunan biola Hadapi Saja dari Iwan Fals memotong cerita sepenggal ini. Banyak ceritera dan kisah di sini sobat.
Lotta Continua, Kak.. Perjuangan mesti dilanjutkan. Lebih baik hidup terasing daripada menyerah pada kemunafikan. hahaha, mengutip*
ReplyDeletePerbedaan itu mesti dilanjutkan, karena kita begitu dilahirkan telah dikawinkan dengan perjuangan.
Sepakat Ded,
ReplyDeleteKamu baik-baik saja kan? Lagi dimana sekarang? Gimana perjuangan kemarin itu?
Iya, di sini selain sangat beda, juga tak ada dalam lipatan-lipatan akan kita sejak dulu. Di luar dugaan tepatnya.
Sukses ya, bagaimana pun juga kesuksesan memang pahit pintu pertamanya :)