Skip to main content

Angkringan Simbol Maskulinitas




Cara pandang orang-orang Yogyakarta terhadap angkringan tidaklah selalu sama. Angkringan bukanlah semata tempat makan yang menyediakan nasi kucing, goreng tempe, bakwan, bakso tusuk, goreng jangkrik, goreng burung, serta minuman ala kadarnya. Di balik kesederhanaan angkringan, baik tempat dagangan maupun penjual, angkringan menjelma menjadi sebuah ikon yang mungkin tak terduga sebelumnya.
Kata seorang teman, di angkringan anda akan merasakan suasana kerakyatan yang begitu kental. Egaliter masyarakat sangat kuat di sini, walaupun mereka hidup di tengah-tengah budaya keraton yang penuh dengan kelas-kelas sosial. Di angkringanlah strata kelas itu melebur, menguap, hingga tak tampak. Dalam konteks ini setiap orang mendekati kelas sejajar, yang termanifestasi dengan sebungkus nasi kucing serta segelas teh angat seharga kurang lebih Rp 2.500.
Tak peduli apakah yang makan nasi kucing di sana kaum pekerja menengah, pekerja kasar, mahasisiwa, atau seorang pemilik penerbit ternama di Kota Gudeg ini. Ketika mereka meluruskan niat makan di angkringan, ketika itu pula mereka harus menerima semua kenyataan bagaimana riilnya kondisi kehidupan masyarakat di Yogyakarta. Angkringan bisa menjadi solusi antara dua pihak, penjual yang pas-pasan dengan pembeli yang menempatkan diri pas-pasan pula. Ini menjadi simbiosis mutualisme, yang juga terkait dengan falsafah masyarakat Yogyakarta yang nrimo.
Lalu, kenapa angkringan menjadi simbol maskulinitas? Hampir di setiap ruas jalan (baca;trotoar) di kota Yogyakarta, selalu tersedia angkringan dengan tempat berjualan yang khas; gerobak jualan, dua kursi kayu panjang, serta layar yang menutupi angkringan. Di atas gerobak ini tersedia berbagai panganan gorengan dan nasi kucing. Tak ketinggalan cerek aluminium, termos air, bara pembakaran, serta perlengkapan masak lainnya yang sangat tradisional.
Sedangkan dua kursi kayu yang panjangnya kira-kira dua meter itu digunakan sebagai tempat menikmati segala panganan yang tersedia di gerobak. Di kursi sederhana ini, setiap pembeli bebas duduk dengan gaya apapun. Sembari menikmati nasi kucing dan teh angat, pembeli yang tidak dibatasi sekat bebas bercengkerama dengan penjual.
Nah, layar berfungsi menutupi gerobak jualan serta para pembeli yang tengah menikmati makanan di sana. Layar ini memberi sekat antara jalan umum/raya, sebagai simbol keganasan, dengan pembeli yang sedang makan, sebagai simbol kenyamanan/kelembutan. Tipisnya layar sebagai sekat antara keganasan (jalan raya) dengan kelembutan (angkringan atau tempat makan) mengakibatkan kaum perempuan enggan singgah dan makan di angkringan. Alhasil, angkringan dominan diramaikan oleh kaum laki-laki.
Cerita seorang sahabat, dia perempuan. Perempuan Jawa akan sangat tidak nyaman ketika ia menyuap, mengunyah, dan menelan, tiba-tiba orang berseliweran di depan serta samping kiri kanan, bahkan di belakangnya. Keadaan ini membuat mereka risih dan seolah-olah terancam. Risih karena mungkin merasa diperhatikan baik ketika menyuap, mengunyah, serta menelan, yang notabene ketika kegiatan itu dilakukan dominan membuat perempuan merasa kurang percaya diri. Hal ini dikuatkan dengan posisi angkringan di tepi jalan atau trotoar yang selalu ramai dan gaduh. Terancam, posisi duduk di angkringan, menempatkan perempuan berada di tengah laki-laki. Sebagai minoritas, posisi ini membuat perempuan kerap tidak leluasa dan berpeluang besar menjadi buah pembicaraan waktu itu.
Walaupun demikian, bukan berarti perempuan tidak pernah bahkan anti ke angkringan, tentu saja tidak. Hanya saja, mereka tidak ingin menghabiskan waktu selama makan di angkringan, yang banyak didatangi kaum lelaki. Perempuan kerap membungkus makanan mereka dan mencari tempat yang lebih nyaman, baik dari keramaian lelaki maupun hiruk pikuk kendaraan jalanan. Tidak ketinggalan ada sepersekian persen kaum perempuan di kota ini justru merasa enjoy makan di angkringan bersama lelaki lainnya. Ini pengecualian, apakah mereka berasal dari perempuan Jawa atau luar Jawa dengan tanpa embel-embel kelas yang mengikat.
Fenomena ini, menyulap angkringan menjadi sebuah wadah, baik sebagai tempat makan maupun tempat berdiskusi yang bebas kelas. Angkringan serupa dengan Lapau kalau di Minangkabau. Ia tidak melulu terikat dengan minuman dan makanan, namun lebih luas menjadi budaya suatu masyarakat yang kaya akan nilai-nilai lokal. Walapun terkesan murah dan tak bergengsi, angkringan tetap menjadi primadona baik oleh kaum pribumi maupun oleh kaum urban di kota ini.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...