‘Untuk Amak dan para perempuan yang semoga masih membaca’
Sekitar 200 (bahkan ribuan) perempuan dari tanah Jawa diberangkatkan ke luar Jawa dan luar Indonesia oleh Pemerintahan Jepang selang waktu Maret 1942- Agustus 1945 dulu. Masa pendudukan Jepang itu, para remaja Jawa yang berusia 14-19 tahun ini dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo dan Shonanto, Singapura sekarang. Namun, apa yang terjadinya? Jika kita mengenal istilah Jugun Ianfu (perempuan penghibur), ini lah mereka-mereka itu. Janji manis dari Dai Nippon hanya omong kosong belaka sebagai bentuk ketidakprimanusiaan dan jiwa ksatria mereka yang lembek.
Semua itu berawal dari pecahnya Perang Pasifik serta serangan dari Hindia-Belanda membuat Jepang semakin kawalahan. Jika dulu Dai Nippon sengaja mendatangkan perempuan penghibur dari Jepang, Cina, dan Korea untuk para Heiho (serdadu), namun sebagai gantinya gadis Indonesia dipaksa dan diciderai untuk mengambil posisi tersebut.
Para remaja ini kebanyakan berasal dari keluarga menengah, bergelar ‘roro’. Mulai dari putri kumichoo (kepala rukun tetangga), kuchoo (lurah), sonchoo (camat), dan gunchoo (wedana). Tak ketinggalan pula remaja-remaja ini berasal dari orang tuanya para guru, juru tulis, mantri polisi, penilik sekolah, dan seterusnya. Mereka menjadi korban dari kerakusan serta kesewenang-wenangan pemerintahan Jepang pada waktu itu.
Pramoedya Ananta Toer dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer-Catatan Pulau Buru- memaparkan bagaimana nasib, kekerasan, ketakberdayaan, serta keter’diam’an pemerintah Indonesia terhadap mereka, para gadis ini. Mereka, hingga kini, masih tersebar di beberapa wilayah terpencil di Nusantara. Dalam kehidupan tanpa jaminan, tanpa bantuan, dan mungkin tanpa harapan, namun masih menyisakan kepiluan yang teramat dalam.
“Tak ada orang menolong sahaya. Sahaya dibawa masuk ke dalam kamar kapal. Pelangi (selendang) itu yang jadi penutup muka sahaya. Ia gelatakkan sahaya... dan waktu terbangun seluruh badan lemas, pakaian rusak semua... badan sakit semua. Ya, Nak, terang-terangan saja, Ibu sudah tua sekarang, apa pula guna malu. Sipen na (kamaluan ini) bengkak. Sahaya menangis. Tapi tiap sahaya menangis dia malah datang lagi dan diulanginya perbuatannya... dan sahaya pingsan lagi. Begitu terus sampai sahaya tak dapat menangis.” (Kartini, asal Semarang, anak pegawai Pangreh Praja).
Serta petikan ini,"Pada kesempatan sekilas yang menyusul setelah itu, Wai Durat mendesak terus dengan pertanyaannya, dan Ibu Muka Jawa mengulangi lagi sumpahnya pada Pamali dengan jalan membikin garis silang di atas tanah. Jari-jarinya yang tua kemudian menjumput tanah dari titik silang dua garis lurus itu dan memasukkan ke dalam mulut, memakannya, sambil berkata:
“Dari bumi ini aku lahir. Dari bumi ini aku makan. Aku akan mati dan kembali di bumi ini juga.” Setelah itu ia berkata, “Kau terlambat, Nak.” (Ibu Lansar, nama burunya Muka Jawa, asal Pemalang, Jawa Tengah).
Beberapa petikan para ‘pahlawan bidadari’ ini mengungkapkan kepada pembaca betapa kehidupan perempuan masih jauh dari apa yang diharapkan oleh perempuan itu sendiri. Mereka menjadi korban atas kesewenang-wenangan pemerintah dan penguasa pada waktu itu. Orang tua mereka yang beruang dan menjabat, harus membayar mahal, kehilangan putri, atas kerakusan dan kemunafikan karena lebih mencintai harta dan kehidupan mewah hadiah dari Dai Nippon waktu itu.
Ini bukti sejarah yang data-datanya akan sangat banyak lagi jika dilakukan penelitian tentang keberadaan, kehidupan, serta masa tua para mantan Jugun Ianfu ini di Tanah Air sekarang. Republik ini tentu mampu membawakan perkara korban perang ini kepada mahkamah internasional dan menuntut pertanggungjawaban Dai Nippon atas kerakusan dan kebodohan serdadu mereka. Keadilan akan selalu ada jika berniat memperjuangkannnya.
Di Hari Ibu ini, diharapkan tidak ada lagi perempuan-perempuan yang mengalami nasib seperti Jugun Ianfu, disepelekan, dan dirampas hak-hak mereka. Perempuan memang harus tahu dan paham bagaimana posisi mereka baik di ranah domestik maupun publik (skala lokal ataupun global). Pemahaman ini akan memberi bagaimana seharus dan sebaiknya mereka berpikir dan bertindak. Kekurangan-kekurangan yang ada pada perempuan tidak berarti sebagai simbol mereka selalu berharap besar bantuan kepada laki-laki. Namun hanyalah salah satu cara agar perempuan lebih cerdas lagi mengasah potensi yang dimiliki.
Dan untuk Amak di sana, semoga selalu dalam keadaan bersemangat dan tawakkal. Kecintaan akan keluarga tak akan pernah berkurang. Kecintaan akan masa depan lebih baik tak akan pudar. Harapan demi harapan selalu beliau lantunkan dalam barisan panjang doa-doa beliau, pagi, siang, dan malam, untuk putra putri dimana pun berada. Rasa cinta dan kebanggan ini terhadap Amak juga tak pernah surut-surutnya. Hanya beliaulah sosok yang membuatku selalu optimis, selalu segar, selalu rendah hati, dan memahami sebagai insan. Terima kasih Amak. Di Hari Ibu ini, doa dan harapan kupanjatkan dari sini untuk Amak tercinta.
Dan kepada saudari-saudariku di mana pun berada. Baik di Lubuk Sanai, di Bengkulu, di Padang, di Aceh (Sumatera) serta di sini (Jawa), aku benar-benar bangga pada kalian semua. Perempuan, ia insan yang tak mudah diduga sekaligus teman diskusi yang cerdas yang akan membawamu kepada ketenangan yang luar biasa. Sejarah telah menorehkan kita, perempuan, sebagai manusia cerdas, arif, dan tawadu’.
Selamat Hari Ibu!
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^