Skip to main content

Mudik, Eksodus yang Membudaya

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita di tanah air, seminggu menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, masyarakat kita berbondong-bondong mudik, pulang ke kampung halaman guna merayakan Lebaran bersama dengan keluarga besar. Mudik menjadi sesuatu yang, kebanyakan, wajib dilakukan. Miskin kaya, tua muda, besar kecil, merayakan mudik penuh suka cita. Jika tidak, ada sesuatu yang kurang lengkap ketika merayakan Hari Kemenangan tanpa saudara, sanak famili, atau keluarga besar.
Hampir setiap tahun, detik-detik menuju tanggal 1 Syawal, di seluruh penjuru tanah air perpindahan secara besar-besaran penduduk (eksodus) dari rantau menuju ke kampung halaman menjadi suatu kemenarikan untuk disimak. Seminggu sebelum dan setelah Lebaran, mudik selalu menjadi bahan perbincangan tak habis-habisnya, baik di surat kabar maupun di tempat-tempat lainnya.
Setiap tahun pula pemerintah memfokuskan diri dalam penyelenggaraan bagaimana mudik yang aman, lancar, dan terkendali. Jasa transportasi massal darat, laut, dan udara menambah fasilitas guna memenuhi kebutuhan masyarakat mudik yang melonjak tinggi. Di mana-mana jalan diperbaiki, posko-posko mudik didirikan pada tempat-tempat yang tidak biasanya, lembaga-lembaga non pemerintah lebih bergiat membantu para pemudik baik dari segi kesehatan, keamanan, dan lainnya.
Di Indonesia mudik sudah menjadi budaya. Uniknya, hal ini terjadi secara besar-besaran hanya di tanah air. Euforia mudik terasa begitu kental di setiap kampung, desa, serta kota. Desa-desa yang sebelumnya sepi, tiba-tiba ramai dan semarak oleh orang-orang rantau. Kampung-kampung yang dulu ‘termarginalkan’ seketika gegap gempita diramaikan oleh orang-orang yang baru pulang dari tanah seberang. Setiap sudut, setiap kedai, ada saja orang baru yang baru datang dari rantau.
Mudik, menjadi simbol kedigdayaan peran Lebaran di nusantara. Hal ini tentu berkaitan dengan Indonesia, negara Islam terbesar di dunia. Perayaan Idul Fitri menjadi momentum tersendiri untuk berkumpul, bercengkerama, serta bermaafan satu dengan lainnya. Jika jarak selama ini menjadi penghalang untuk bertemu muka, maka Lebaran adalah satu-satunya jalan untuk bersua. Tak ada lagi alasan untuk tak pulang kampung. Berbagai upaya agar mudik tetap berjalan. Apakah itu menyewa mobil bersama, hanya dengan kendaraan roda dua, ataupun lainnya. Semua dilancarkan dengan menepikan alasan-alasan. Pokoknya tahun ini kita mudik.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...

Gilby Mohammad