“Chemistrynya mana tuh doi?” Tanya Irfan kepadaku.
“Bagaimana mungkin aku mabuk kepayang pada cewek yang punya lingkar pinggang 75 cm hah?” lanjutnya sambil memelototkan biji mata kepadaku. Seolah-olah benda bundar itu ingin melompat keluar dari sarangnya. Aku kaget alang kepalang. Sejak kami berkawan, baru kali ini Irfan berang dan kebakaran jenggot seperti mau kiamat saja. Suaranya lantang mencoba mengalahkan deru ombak.
“Kamu gila!” hardiknya sambil berlalu meninggalkanku termangu di bibir pantai. Apa benar aku sudah gila? Pikirku beberapa saat kemudian setelah punggung Irfan tak tertangkap lagi di ekor mataku.
***
Itu kali terakhir aku menawarkan sang pujaan hati, tentu cewek, diharapkan mampu mengobati patah tulang, eh patah hatinya Irfan kepada Fani. Fani, remaja gedongan asal ibukota, ibukota Jawa Barat, yang sudah sebulan ini mencuri pandang semua cowok di sekolah kami. Termasuk Irfan. Kalau aku, itu rahasia.
Fani memang manis. Tak satu pun para cowok tidak sepakat dengan simpulan itu. Bagaimana tidak, dia punya rambut panjang, hitam, dan sedikit bergelombang. Poninya nakal, kadang rela menampakkan mulus keningya kadang tidak. Kami, para cowok penasaran, di balik poni itu adakah sebongkah gunung merah bernana? Jerawatkah? Oh ternyata, kata Lastri ajudan Fani, takkan pernah ada. Kami lega.
Itu baru rambut, belum lagi mata, hidung, dagu, pipi, serta bibir dan giginya. Artis Tamara, Luna Maya, Dian Sastro, atau Paris Hilton, tak sebanding kawan. Jangan samakan Fani dengan selebritis yang kerap celebrate itu. Tak sepadan. Setidaknya pendapat ini masih dianggukkan banyak para cowok di sekolah kami. Fani, Fani, dan Fani.
“Fani benar-benar memiliki chemistry yang sesungguhnya,” ungkap kami.
Begitu juga Irfan yang tak pernah lupa memikirkan Fani. Agonia cinta Irfan kepada Fani memang berat dan tragis. Setidaknya kata ini sering kami ungkapkan untuk menggambarkan betapa Irfan tak bisa hidup tanpa Fani. Sejak Fani menginjakkan kaki ke sekolah kami, Santi dan antek-anteknya tak lagi dilirik para cowok. Aku paham betul kenapa Santi dieliminasi dalam iven yang bernama perebutan cinta dan kecantikan.
Irfan yang memang memiliki tongkrongan keren, baik tampang maupun yang mendukung tampang, seperti kendaraan, merk baju, sepatu, handphone, dan sepadannya tak perlu buang waktu lama untuk menjemput Fani ke dalam pelukannya. Cukup dua minggu lebih dua hari, Irfan dan Fani sudah seperti jalak dan kerbau. Simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
Berkat kami, tentunya keberhasilan Irfan menggaet Fani. Namun dalam benakku, bukannya aku sombong, akulah faktor penentu keberhasilan itu. Tanpaku Irfan bak macan ompong yang hanya mampu mengaum tapi tak bernyali menggigit.
“Alamak, tanpaku kau tak apa-apa,” lirihku.
“Chemistryku jauh di atas Irfan sesungguhnya,” bisikku mantap.
***
Dan sekarang, setelah Fani mencampakkannya, giliran aku yang dimakinya. Sialan benar Irfan di mataku saat ini.
Bak jalak dan kerbau, setelah jalak kenyang ia akan terbang tinggi dan meninggalkan kerbau yang masih sibuk mengurusi kutu-kutu yang tersisa serta pedihnya bekas patukan si unggas. Begitu pula Fani. Hanya sepekan simbiosis mutualisme berjalan, lebihnya Fani benar-benar berubah parasit jadi kutu pada Irfan. Tapi tetap saja Fani masih manis. Ini tak merubah simpulanku.
Sejak kejadian di pantai Irfan dan aku jarang bersua. Padahal kami sekomplek, sekelas, dan sama-sama sering ke wc pada jam pelajaran. Irfan berang padaku karena aku menawarkan Wati si big, sebagai pengganti Fani. Yah, waktu itu aku kehilangan akal, siapa lagi yang akan aku tawarkan untuk Irfan. Pada sisi lain aku selalu didesak untuk segera dan dalam tempo sesingkat-singkatnya harus menemukan Fani yang kedua. Kalau tidak Irfan akan memutuskan pertemanan kami. Aku tak mau ambil akibat itu.
Nyatanya Irfan menolak mentah-mentah sebelum bertemu Wati. Mendengar namanya saja dia mual dan menggigil, begitu katanya waktu itu. Apalagi harus merentangkan kedua tangannya dan menyambut Wati ke dalam pelukan Irfan. Oh my god, no! itu katanya dulu.
***
Adi, Rusli, dan Ika terbahak-bahak mendengar ceritaku. Mereka juga menepuk-nepuk bahuku. Kisah ini kuceritakan pada mereka, orang-orang yang ikut serta memenangkan Irfan menggaet Fani waktu itu, tapi tidak untuk Wati.
“Apakah aku salah? ” tanyaku.
“Salah sih nggak, tapi keliru dodol,” kata Rusli.
“Dasar bencong, gak bisa bedain mana yang aduhai dan mana hancur, hahaha,” sela Adi.
“Tapi Wati juga manis kok, setidaknya ia punya jari jempol semua.” Belaku.
“Itu dia chemistrynya, hahaha” kata mereka serempak.
“Bagaimana mungkin aku mabuk kepayang pada cewek yang punya lingkar pinggang 75 cm hah?” lanjutnya sambil memelototkan biji mata kepadaku. Seolah-olah benda bundar itu ingin melompat keluar dari sarangnya. Aku kaget alang kepalang. Sejak kami berkawan, baru kali ini Irfan berang dan kebakaran jenggot seperti mau kiamat saja. Suaranya lantang mencoba mengalahkan deru ombak.
“Kamu gila!” hardiknya sambil berlalu meninggalkanku termangu di bibir pantai. Apa benar aku sudah gila? Pikirku beberapa saat kemudian setelah punggung Irfan tak tertangkap lagi di ekor mataku.
***
Itu kali terakhir aku menawarkan sang pujaan hati, tentu cewek, diharapkan mampu mengobati patah tulang, eh patah hatinya Irfan kepada Fani. Fani, remaja gedongan asal ibukota, ibukota Jawa Barat, yang sudah sebulan ini mencuri pandang semua cowok di sekolah kami. Termasuk Irfan. Kalau aku, itu rahasia.
Fani memang manis. Tak satu pun para cowok tidak sepakat dengan simpulan itu. Bagaimana tidak, dia punya rambut panjang, hitam, dan sedikit bergelombang. Poninya nakal, kadang rela menampakkan mulus keningya kadang tidak. Kami, para cowok penasaran, di balik poni itu adakah sebongkah gunung merah bernana? Jerawatkah? Oh ternyata, kata Lastri ajudan Fani, takkan pernah ada. Kami lega.
Itu baru rambut, belum lagi mata, hidung, dagu, pipi, serta bibir dan giginya. Artis Tamara, Luna Maya, Dian Sastro, atau Paris Hilton, tak sebanding kawan. Jangan samakan Fani dengan selebritis yang kerap celebrate itu. Tak sepadan. Setidaknya pendapat ini masih dianggukkan banyak para cowok di sekolah kami. Fani, Fani, dan Fani.
“Fani benar-benar memiliki chemistry yang sesungguhnya,” ungkap kami.
Begitu juga Irfan yang tak pernah lupa memikirkan Fani. Agonia cinta Irfan kepada Fani memang berat dan tragis. Setidaknya kata ini sering kami ungkapkan untuk menggambarkan betapa Irfan tak bisa hidup tanpa Fani. Sejak Fani menginjakkan kaki ke sekolah kami, Santi dan antek-anteknya tak lagi dilirik para cowok. Aku paham betul kenapa Santi dieliminasi dalam iven yang bernama perebutan cinta dan kecantikan.
Irfan yang memang memiliki tongkrongan keren, baik tampang maupun yang mendukung tampang, seperti kendaraan, merk baju, sepatu, handphone, dan sepadannya tak perlu buang waktu lama untuk menjemput Fani ke dalam pelukannya. Cukup dua minggu lebih dua hari, Irfan dan Fani sudah seperti jalak dan kerbau. Simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
Berkat kami, tentunya keberhasilan Irfan menggaet Fani. Namun dalam benakku, bukannya aku sombong, akulah faktor penentu keberhasilan itu. Tanpaku Irfan bak macan ompong yang hanya mampu mengaum tapi tak bernyali menggigit.
“Alamak, tanpaku kau tak apa-apa,” lirihku.
“Chemistryku jauh di atas Irfan sesungguhnya,” bisikku mantap.
***
Dan sekarang, setelah Fani mencampakkannya, giliran aku yang dimakinya. Sialan benar Irfan di mataku saat ini.
Bak jalak dan kerbau, setelah jalak kenyang ia akan terbang tinggi dan meninggalkan kerbau yang masih sibuk mengurusi kutu-kutu yang tersisa serta pedihnya bekas patukan si unggas. Begitu pula Fani. Hanya sepekan simbiosis mutualisme berjalan, lebihnya Fani benar-benar berubah parasit jadi kutu pada Irfan. Tapi tetap saja Fani masih manis. Ini tak merubah simpulanku.
Sejak kejadian di pantai Irfan dan aku jarang bersua. Padahal kami sekomplek, sekelas, dan sama-sama sering ke wc pada jam pelajaran. Irfan berang padaku karena aku menawarkan Wati si big, sebagai pengganti Fani. Yah, waktu itu aku kehilangan akal, siapa lagi yang akan aku tawarkan untuk Irfan. Pada sisi lain aku selalu didesak untuk segera dan dalam tempo sesingkat-singkatnya harus menemukan Fani yang kedua. Kalau tidak Irfan akan memutuskan pertemanan kami. Aku tak mau ambil akibat itu.
Nyatanya Irfan menolak mentah-mentah sebelum bertemu Wati. Mendengar namanya saja dia mual dan menggigil, begitu katanya waktu itu. Apalagi harus merentangkan kedua tangannya dan menyambut Wati ke dalam pelukan Irfan. Oh my god, no! itu katanya dulu.
***
Adi, Rusli, dan Ika terbahak-bahak mendengar ceritaku. Mereka juga menepuk-nepuk bahuku. Kisah ini kuceritakan pada mereka, orang-orang yang ikut serta memenangkan Irfan menggaet Fani waktu itu, tapi tidak untuk Wati.
“Apakah aku salah? ” tanyaku.
“Salah sih nggak, tapi keliru dodol,” kata Rusli.
“Dasar bencong, gak bisa bedain mana yang aduhai dan mana hancur, hahaha,” sela Adi.
“Tapi Wati juga manis kok, setidaknya ia punya jari jempol semua.” Belaku.
“Itu dia chemistrynya, hahaha” kata mereka serempak.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^