Skip to main content

Diplomasi atau Konfrontasi?

Banyak cara dalam menyelesaikan suatu masalah yang sedang dihadapi. Salah satunya dengan mengedepankan diplomasi dalam proses pencarian solusi. Demikian pula yang ditawarkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam pidatonya di Markas Besar TNI di Cilangkap Jakarta, Rabu (1/9) malam lalu, menyangkut hubungan yang kian menegang antara Indonesia dengan Malaysia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat, diplomasi didefinisikan dengan 1 urusan atau penyelenggaraan berhubungan resmi antara satu negara dan negara yang lain; 2 urusan kepentingan sebuah negara dengan perantaraan wakil-wakilnya di negara lain; 3 pengetahuan dan kecakapan dalam hal perhubungan antara negara dan negara; 4 kecakapan dalam menggunakan pilihan kata yang tepat bagi keuntungan pihak yang bersangkutan (dalam perundingan, menjawab pertanyaan, mengemukakan pendapat, dsb).
Selain diplomasi tentu ada jalan lain yang bisa ditempuh dalam mencari solusi. Manyangkut hubungan Indonesia dengan Malaysia, banyak pendapat beredar jalur diplomasi tak efektif lagi. Banyak pula pendapat yang menawarkan konfrontasi dengan Negeri Jiran tersebut tak ada salahnya. Kenapa tidak melakukan cara yang pernah dilakukan Presiden Soekarno tempo dulu? Berkonfrontasi dengan Malaysia.
SBY memilih jalur diplomasi dalam menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Malaysia dengan banyak pertimbangan. Salah satunya mempertimbangkan kepentingan nasional serta citra dan jati diri bangsa Indonesia yang bermartabat di mata dunia internasional. Menurut SBY, Indonesia menjadi contoh negara yang mampu menyelesaikan suatu masalah dengan damai oleh negara lain. Sebagai contoh, setiap keputusan dan tindakan yang akan dilakukan memang harus ekstra hati-hati dan meminimalisir aksi-aksi yang mengarah kepada tindakan kekerasan serta mengedepankan emosi semata.
Kedua negara pada dasarnya saling membangun kerja sama yang saling menguntungkan. Sekitar 2 juta jiwa rakyat Indonesia berada dan bekerja di Malaysia, serta sekitar 13 ribu pelajar dan mahasiswa Indonesia sekolah di Malaysia. Begitu pula sebaliknya. Malaysia membutuhkan tenaga kerja baik domestik maupun bidang perkebunan, serta tempat berinvestasi di Indonesia. Walaupun begitu, sengketa dan permasalahan tetap menggerogoti kedua negara apakah menyangkut perbatasan negara, klaim ini itu, serta saling tuduh culik-culik ikan di laut yang entah siapa tuannya.
Sayup-sayup terdengar kabar, Malaysia siap menghadapi ancaman baik yang datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Subjektif penulis, negara tersebut siap berkonfrontasi atau perang. Nah, bagaimana dengan Indonesia? SBY yang berpidato di depan ratusan bahkan ribuan perwira TNI tak sedikit pun menyinggung-nyinggung kesiap-siagaan baik tentara maupun persenjataan di tanah air. Tenang dan berwibawa, SBY menyampaikan pidatonya dengan inti menyelesaikan sengketa ini di atas meja perundingan atau diplomasi.
SBY sebagai kepala negara sekaligus yang menjalankan roda pemerintahan memang sifatnya tak mau mengeluarkan statement yang memicu terjadinya instabilitas nasional. Isi pidatonya terkesan normatif dalam menanggapi ketegangan yang dihadapi kedua negara yang sedang bertikai. Diksi dalam berdialektika digunakan secara halus dan menenangkan. Orang-orang menyebutnya pintar beretorika. Seolah-olah tak terjadi apa-apa antara Indonesia dan Malaysia.
Namun sampai kapan cara seperti ini efektif digunakan? Masyarakat geram dengan sikap Malaysia. Ini bukan lagi masalah bilateral, tak lagi masalah negara serumpun, tapi masalah satu kawasan dan tak salah melibatkan negara lain di ASEAN sebagai perantara dalam penyelesaiannya. Bukankah Indonesia pernah terlibat menyelesaikan sengketa antara Vietnam dan Kamboja. Menghadapi Malaysia harus tegas, jalur diplomasi sudah buntu, surat SBY tak dihiraukan, dan jangan lagi memberi lampu hijau kepada negara tersebut.
Indonesia jika ingin mengedepankan citra dan jati diri yang bermartabat, sebaiknya tak selalu adem ayem dalam menyelesaikan masalah. Politik luar negeri yang bebas dan aktif tidak hanya untuk negara lain, namun bagaimana pula menerapkannya secara aktif dalam proses penyelesaian dengan Malaysia. Setidaknya Pak Presiden dan pemerintah lebih tangkas dan tegas menyelesaikan permasalahan ini. Tidak menunda-nunda waktu. Kalau tidak, bisa jadi lemparan-lemparan kotoran manusia akan semakin banyak bertebaran dan (mungkin) inilah jati diri bangsa kita.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...