Judul : Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi
Pengarang : Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA.
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tebal : xxvi + 550 halaman
Cetakan : Pertama, Juni 2010
Harga : Rp 120.000 ,-
Resensiator : Adek Risma Dedees, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia BP 2007 UNP
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak asing lagi terdengar di telinga kita. Begitu juga dengan Gerakan Papua Merdeka (GPM) di Pulau Kangguru tersebut. Beberapa tahun silam sayup-sayup terdengar Gerakan Riau Merdeka (GRM), motifnya sama, ingin memerdekakan diri dari NKRI. Pascameletusnya Bom Bali I Oktober 2002 di Legian Kuta, slogan Ajeg Bali riak-riak muncul ke permukaan. Apakah Ajeg Bali sama dengan gerakan-gerakan sebelumnya?
Istilah Ajeg Bali mengandung makna pejantan dan bermuatan militeristik. Berawal dari sikap nasionalisme yang terus dikumandangkan pada zaman Orde Baru oleh Presiden Soeharto. Pada zaman ini identitas kedaerahan mulai bersanding dengan identitas nasional. Promosi pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya yang bernafaskan agama Hindu telah melahirkan cara pandang baru bagi masyarakat Bali untuk melihat dan memahami jati dirinya. Sehingga Bali pun sukses dengan identitas budayanya.
Sejalan dengan hal itu, kebijakan rezim Orde Baru yang berkuasa dan mengutamakan pembangunan ekonomi, yang di Bali tampak dalam wujud nice object tourism dan mass-tourism, Bali pun dieksploitasi secara besar-besaran dalam waktu yang relatif singkat dan cepat. Bali dengan keeksotikannya langsung disulap menjadi ‘lumbung’ perekonomian tanah air. Pemerintah dan investor berbondong-bondong membangun Bali. Dimana-mana dibangun berbagai tempat pariwisata, sang pendahulu Presiden Soekarno pun jauh hari telah membangun Istana Tampaksiring di sana.
Apakah masyarakat Bali senang dan bangga? Lebih-lebih memasuki era modernisasi dan globalisasi. Di balik semua itu justru menimbulkan kegelisahan baru. Orang Bali merasa terasing di tanahnya sendiri. Banyak lahan pertanian milik petani berubah fungsi menjadi resort wisata. Pengaruh pariwisata, seperti komersialisme budaya dan desakralisasi (penghilangan kesakralan) membuat orang Bali semakin kehilangan, tidak hanya tanahnya, namun berangsur-angsur jati dirinya.
Penulis menjabarkan dalam buku ini faktor pembangunanisme dan modernisasi mengakibatkan tergusurnya sebagian tradisi, atau tetap bertahan namun mengalami relikisasi sehingga suatu tradisi tetap hidup meski mengalami pendangkalan makna, bahkan bergeser ke arah kenikmatan badaniah. Aspek spritualnya menjadi tidak dihiraukan lagi. Begitu pula dengan refleksivitas terhadap penjaga tradisi bisa mengakibatkan peran mereka (orang Bali) tergusur atau mengalami krisis legitimasi. Setiap perubahan bisa menimbulkan masalah dengan tradisi lainnya, karena secara fungsional setiap unsur kebudayaan saling berkaitan dengan unsur kebudayaan yang lain.
Perubahan terjadi dan kemudian menggusur suatu tradisi, namun di sisi lain tradisi yang akan menggantikan tradisi yang telah tergusur belumlah matang, membiasa, tidak sesuai atau bahkan tidak nyambung secara sistemik dengan tradisi atau norma yang telah ada pada masyarakat. Pegangan tradisi atau norma pun labil. Tak jelas, tradisi mana yang harus dipakai. Manusia pun hanyut dalam ketidakpastian asas normatif yang akut dan menimbulkan situasi dilematik. Dalam situasi seperti ini peluang timbulnya perilaku menyimpang sangat besar dan semakin jauh dari sendi-sendi kehidupan beragama. Hal inilah yang tengah dihadapi masyarakat Bali, dan sebenarnya juga pada masyarakat lain di tanah air.
Modernisasi dan globalisasi yang mengakibatkan masyarakat Bali mengalami perubahan sosial budaya yang hebat dan kompleks, lengkap dengan aneka penyakit masyarakat yang menyertainya. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, modernisasi dan globalisasi dapat pula mengancam identitas masyarakat Bali. Buku ini mencoba memaparkan secara mendalam, luas, dan holistik sehingga kita dapat memahaminya secara lebih utuh apa yang dimaksud dengan Ajeg Bali.
Walaupun demikian, apa yang dipaparkan buku ini memang lebih banyak melihat perubahan sosial budaya yang berdampak negatif dan atau memunculkan berbagai masalah yang tidak diinginkan masyarakat Bali seperti peristiwa Bom Bali I dan II. Pemaparan seperti ini sengaja dilakukan untuk menyadarkan pembaca, bahwa gerakan Ajeg Bali yang terkait dengan pemertahanan identitas kultural orang Bali, tidak saja penting, tetapi juga merupakan sesuatu yang mendesak, keharusan bagi keberlangsungan hidup masyarakat dan kebudayaan Bali.
Melalui buku ini baru kita sadari ternyata di balik keelokan, kemegahan, serta keterpanaan orang-orang terutama pengunjung terhadap tanah dan budaya Bali, tersimpan sebuah pergolakan identitas pada masyarakat Bali. Pergolakan yang tak lagi ingin dieksploitasi, pergolakan yang tak lagi ingin ‘menjadi’ bagian modernisasi atau globalisasi yang justru menjadi bumerang bagi tanah dan budaya Bali.
Pergolakan identitas seperti itulah yang dibahas dalam buku ini secara detail dan komprehensif. Buku kategori sosial humaniora ini terkesan memiliki bahasan yang ‘berat’ dan cukup serius. Namun jika telah dibaca paragraf demi paragraf kesan itu pun berangsur-angsur terkikis. Justru pembaca akan merasakan seperti tengah membaca buku-buku yang banyak membahas gaya hidup atau lifestyle, bahasanya sederhana, lugas, dan banyak menampilkan istilah-istilah bahasa Bali lengkap dengan artinya. Hal ini tentu akan menambah pemahaman pembaca tentang kosa kata Bali.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^