Skip to main content

‘Bahasa Gagap’ atau Gagap Berbahasa?

Sejarah perjalanan bahasa bangsa ini cukup panjang dan lama. Katakanlah berawal sebelum kemerdekaan dikumandangkan di tanah air, bangsa ini telah jauh hari merintis bahasa yang bisa dimengerti dan dapat digunakan oleh semua rakyat. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, benar adanya. Sumpah Pemuda ini dijadikan pijakan pertama akan pengakuan bahasa persatuan dan nasional yakni Bahasa Indonesia.
Sekitar 82 tahun kemudian, Bahasa Indonesia pun beradaptasi, kalau tak mau mengatakannya berubah, ke bentuk bahasa-bahasa yang kita kenal dewasa ini. Kalau dalam istilah akademisnya ada Bahasa Standar, Klasik, Artifisial, Vernakular, Pijin, serta Kreol. Jika melirik dalam bahasa di sekitar tempat tinggal kita, ada Bahasa Sleng atau Ken, Gaul, Jargon, dan sepadannya.
Kesemua variasi bahasa tersebut subur berkembang di sekitar kita. Mulai dari para siswa, mahasiswa, pegawai atau karyawan, pemuda-pemudi di lingkungannya, serta tak ketinggalan para waria dan banyak jenis profesi lainnya. Variasi bahasa tersebut diciptakan tentu tidak asal cipta dan tanpa tujuan tertentu. Setiap bahasa dalam beberapa buku sosiolinguistik, perannya tidak terlepas dari sang pencipta serta pemakainya untuk masa mendatang.
Sang pencipta dan pemakai bahasa berperan aktif sebagai penyebar variasi bahasa kepada pihak lain. Latar belakang sang pencipta dan pemakai adalah semacam ‘perwakilan’ dari apa yang mereka kerjakan. Sederhananya, refleksi diri dari si pemakai. Jika boleh diungkapkan dengan pribahasa, Bahasa Menunjukkan Bangsa.
Nah begitu juga dengan ‘bahasa gagap’ pada judul tulisan ini. Seorang teman bercerita akan ‘bahasa gagap’ yang marak di lingkungan remaja khususnya pada penulisan pesan pendek atau sms. Kategori bahasa ini tidaklah begitu ‘menggagapkan’, menurut remaja tentunya. Namun cukup memumetkan kepala, jika tak terbiasa. Sebagai contoh, /Lhu m0 M4Na?/, n3 z4 dkj4RkN cRp3nX/ atau Un!q t’ za kyuT. Bahasa seperti ini sering disebut bahasa gagap, karena ketika membacanya sedikit gagap jika tak terbiasa.

Belum lagi jika diperhatikan bahasa lisan atau percakapan sehari-hari. Ada beberapa kosa kata yang mengekori ujaran, semisal, …emang bener?/ …donk, denk/…ember/…capcay ah/ ...cape deh/ …lebay tuh/ …masa sehhh/ atau …itu mah IDL (itu derita lo) dan masih banyak lagi. Kosa kata ini pun semakin akrab di masyarakat. Ada semacam nilai rasa yang dikandung pada kosa kata tersebut yang ‘sahih’ dan harus digunakan. Tak heran jumlah pemakainya pun semakin meningkat, khususnya pada kalangan, katakanlah para siswa, mahasiswa, karyawan, pemuda pemudi dan sepadannya.
‘Bahasa gagap’ satu sisi memiliki kemenarikan tersendiri dalam perkembangan Bahasa Indonesia ke depannya. Bahasa ini menambah khasanah variasi Bahasa Indonesia. Perkembangannya pun tak bisa dibendung. Bermunculan dari berbagai tempat dan profesi tidak hanya di kota-kota besar. Selain itu, media massa cetak dan media elektronik, ikut serta menyebarluaskannya.
Sedangkan di sisi lain, bahasa ini bisa saja menjadi tantangan tersendiri bagi kelestarian dan kemurnian Bahasa Indonesia, khususnya Bahasa Indonesia resmi atau standar. Sebagai contoh, kebiasaan pemakai bahasa ini, akan terbawa-bawa dalam situasi resmi atau formal, tanpa disadarinya. Pemakaian bahasa jika tak sesuai dengan konteks, akan menimbulkan kerancuan makna dan nilai rasa bahasa yang tak menentu. Buktinya, sesekali coba perhatikan variasi bahasa yang digunakan oleh wakil-wakil rakyat di DPR atau DPRD sana. Faktanya sekarang, kita tidak hanya tergagap dari kenaikan sembako, dalam berbahasa pun sama halnya.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...