Skip to main content

Tereduksinya Mahasiswa

Menghancurkan dan membangun. Siklus ini yang selalu berputar dalam gerakan mahasiswa. Dan itu harus ada.

Dewasa ini peran mahasiswa mulai terkikis oleh keadaan pasca reformasi yang carut-marut, sehingga mahasiswa telah banyak kehilangan posisinya sebagai agen perubahan (agent of change). Hal ini bisa dilihat dari penurunan kualitas mahasiswa dan kualitas gerakan mahasiswa itu sendiri. Saat ini, dalam menanggapi suatu kebijakan pemerintah, mahasiswa cenderung bergerak sendiri tanpa ada suatu gerakan bersama, sehingga gerakan mahasiswa era reformasi ini, banyak yang mentah dan cenderung terlibat dalam gerakan anarki demi satu tujuan, yaitu eksistensi.
Menurut Sutan Syahrir (1966) peran mahasiswa tereduksi oleh sifat anarko sindikalisme, dimana mahasiswa saat ini tidak mempunyai suatu gerakan bersama, antargolongan mahasiswa dan menganggap golongannya lebih superior dibanding golongan mahasiswa lain. Hal ini menyebabkan gerakan mahasiswa tersentralisasi dan hanya pada gerakan monumental. Tentu gerakan ‘basi’ seperti ini tidak akan berdampak pada kebijakan publik atawa keadaan sosial masyarakat.
Melemahnya pergerakan mahasiswa ini disebabkan oleh paradigma yang telah diset sebegitu rupa, baik oleh pihak kampus, maupun pemerintah, dan sayangnya mahasiswa tidak menyadari musuh di depan mata. Mahasiswa terlena dengan gaya hidup hedonis, instant, dan mainset ‘primitif’ lainnya. Mereka hidup dalam hingar bingar budaya massa (mass culture) dan budaya pop (pop culture) yang dikonstruksi kapitalis. Seperti yang diutarakn John Lennon “Sex, TV, and music make you weak,”. Mungkin inilah yang dapat menggambarkan memudarnya kesadaran mahasiswa masa kini.
Perubahan sistem dan pola pendidikan di perguruan tinggi mengubah paradigma dan orientasi mahasiswa saat ini. Dalam pendidikan, mahasiswa dididik untuk cepat lulus dengan nilai yang bagus. Titik. Tidak diberikan alternatif paradigma berfikir yang lebih substansial. Kegiatan kuliah hanya berorientasi pada strata sosial dan gelar semata. Tidak lagi berfikir tentang proses yang harus dijalani. Makna pendidikan tertutup oleh bayang-bayang biaya kuliah yang mahal dan tuntutan orang tua.
Mahasiswa difokuskan untuk menyelesaikan SKS. Sulit berkembang dan bereksplorasi dengan ilmu yang dipelajari. Untuk ilmunya saja sulit, apalagi dengan yang lain. Miris sekali. Mahasiswa memiliki tembok pembatas yang tinggi dengan masyarakat, menjadi robot stakeholder dan pasar kapitalistik yang sudah menunggunya dalam genggaman globalisasi. Tentu hal ini menyulap paradigma realitas. Realitas mahasiswa saat ini; absen, kuliah, praktikum, nilai, dan apapun yang berdampak pada nilai bagus dan cepat lulus mengaburkan realitas yang sesungguhnya sebagai manusia dan masyarakat yang memiliki tanggung jawab terhadap pengabdian masyarakat, penelitian, dan pendidikan.
Sehingga dalam berorganisasi pun, mahasiswa telah merubah orientasinya. Maka akan lebih memilih organisasi minat dan bakat- maaf tidak bermaksud memojokkan. Karena organisasi minat bakat memiliki peran fungsional dan akan lebih bermanfaat setelah memperoleh nilai bagus dan lulus kelak. Layaknya organisasi SMA, cenderung pada minat dan keterampilan, yang mengutamakan kesenangan belaka. Jarang sekali menyentuh realitas masyarakat yang sesungguhnya. Bahkan eksekutif mahasiswa yang sejatinya pelopor gerakan grass root mahasiswa, hanya menjadi perpanjang tangan birokrat. Jika ada bentuk yang tampak sebagai perlawanan kebijakan, sifatnya hanya seremonial dan formal. Eksekutif mahasiswa ibarat karyawan yang hanya ‘bekerja’ dan menjadi lembaga mandul yang sifatnya sebagai pemanis buatan serta bunga-bunga organisasi dan administrasi mahasiswa.
Pendapat masyarakat, mahasiswa terkesan pahlawan kesiangan yang tiba-tiba datang bila ada masalah yang dihadapi bangsa dan setelah menunjukkan muka lantas mahasiswa kembali ke kampus. Padahal sebuah persoalan bangsa tidaklah mencuat saat itu saja, namun sebuah akumulasi yang dari hari ke hari menggunung berdasarkan kejadian satu dengan kejadian lainnya. Permasalahan bangsa harus diihat sebagai sebuah adegan dan bukan sebuah potret. Sehingga penyelesaiannya membutuhkan usaha yang sistematis, terprogram, yang melihat permasalahan dari segi struktur dan tidak dari ‘kulit-kulitnya’ saja. Ini dampaknya.
Untuk itu, sudah seharusnya mahasiswa bangun dan tidak hanya menikmati cerita-cerita indah tentang pergerakan dari pendahulu. Mahasiswa seharusnya memiliki orientasi yang lebih jelas tentang suatu gerakan masif yang dapat dilakukan bersama-sama antargolongan mahasiswa. Ketepikan kepentingan kelompok yang hanya akan memicu ketidaktotalan dalam pergerakan. Mari, bangun sebuah lembaga independen yang menjunjung idealisme mahasiswa sesungguhnya sebagai pengiring kebijakan dari pemerintah, demi sebuah cita-cita bangsa.


Terinspirasi dari sarasehan pertemuan pers mahasiswa se Indonesia di BPPM Balairung, UGM awal Juni lalu.

Comments

Popular posts from this blog

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Bisnis Laundry di Tengah Mahasiswa

Menjamurnya usaha jasa cuci pakaian kiloan atau laundry di sekitar kampus mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit serta mampu menyerap tenaga kerja di daerah sekitar. Usaha ini pun semakin diminati oleh berbagai kalangan. Kebanyakan para pemilik hanya mengandalkan modal usaha pribadi. Arif Sepri Novan, pemilik Mega Wash Laundry , mengungkapkan mahasiswa merupakan pangsa pasar terbesarnya saat ini. Mahasiswa memiliki banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menyita waktu serta tenaga. Untuk itu peluang membuka usaha laundry di sekitar kampus baginya sangat menjanjikan. “Pasarnya cukup luas dan jelas,” ungkap Arif, Selasa (22/3) siang lalu. Arif pun merintis usaha laundry sejak September 2010 lalu di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP), di Jalan Gajah VII No.15, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ia mempekerjakan dua karyawan untuk mencuci, mengeringkan, menyetrika, serta mengepak pakaian-pakaian tersebut. Setiap hari Mega Wash Laundry menerima hingg