Ketika dunia virtual hiruk pikuk dengan perubahan hidup selama 10 tahun, 2009-2019, satu hal yang terbayang kuat ialah sosok Abak yang berpulang di penghujung 2009. Lelaki tergolong muda dan kuat tersebut pergi jauh hari, 8 tahun, sebelum cucu perempuan pertamanya lahir ke dunia, Aru –disusul Dinda. Ia tak pernah melihat kedua gadis kecil tersebut. Tapi Amak, perempuan setia-penyayang-penuh kasih, yakin dan meyakinkan anak-anaknya bahwa Abak sering “pulang” ke rumah, melihat anak-anaknya, cucu-cucunya, dan tentu istri tersayangnya. “Tandanya”, kata Amak, “Jika cicak-cicak di dinding ini ramai bersahutan, itu Abak pulang”. Meski aku ragu, aku tak pernah menyangkal. Jika itu membuat Amak bahagia, lega, dan semakin ikhlas akan kepergian Abak, tak mengapa kugadaikan semua akal sehat dan nalarku.
Hanya berselang beberapa bulan setelah ulang tahun Aru genap setahun, dan sepekan sebelum Dinda menanjak setahun, Uda Dedi, kakak kami tersayang, putra sulung Amak-Abak, berpulang dalam kondisi yang paling damai yang pernah kusimak dalam sekian banyak kisah tragis kematian manusia. Ia pergi selamanya dalam tidur. Ketika Amak pulang dari pasar dan membawakan sebungkus sate untuknya, Amak tak lagi menemukan darah dagingnya. Itu adalah sate terakhir yang tidak dimakan oleh Uda Dedi –ia tidak pernah tidak menghabiskan satenya.
Duniaku runtuh untuk kedua kalinya. Seperti 2009 –sepanjang Padang-Mukomuko-, 2018 –sepanjang Jakarta-Mukomuko- tubuh tidak terasa tubuh, langkah tidak terasa melangkah. Agar tetap seimbang, napas berpacu di antara hidung dan mulut sepanjang darat dan udara. Mata boleh kosong, mulut tetap berkatub di tengah lalu lalang metropolitan, tapi hati dan pikiran saut menyaut tak henti-henti, penuh protes, serta meratapi hidup dan nasib yang sepertinya tidak begitu adil. Apa daya, “Orang mati takkan hidup kembali. Tugas kita menguburnya sebaik mungkin,” kata Amak pasca-kepergian Abak dan semakin sering diulang ketika satu per satu tetangga dan kerabat berpulang.
Betul kata orang-orang. Kematian sedekat nadi dan ia semakin akrab. Di hadapan kematian manusia adalah makluk yang paling pecundang. Ia jauh lebih pecundang dari seekor kecoak yang terjengkang dan terlentang di mana mati adalah keniscayaan ketika tak mampu menemukan strategi untuk menelungkupkan badan kembali. Manusia lebih lemah dari seekor kecoak yang terlentang. Manusia itu aku. Di hadapan kematian aku hanya bisa meratap dan meratap. Dilanda gengsi dan anti-sentimentil, sesekali mencoba tampak kuat untuk menguatkan Amak. Padahal, Amak merupakan perempuan yang paling kuat di antara kami –ditinggal suami dalam kondisi ekonomi menurun, mengasuh empat anak dengan problem masing-masing (sakit menahun, perjaka dan perawan tua, terlibat judi, keras kepala, dll). Amak bertahan, tak pernah sakit, tak pernah mengeluh, tak pernah protes. Jika kuingat kembali dan kubandingkan, ratapanku adalah ratapan omong kosong dan tak berguna.
Tapi dan tapi. Ketika teman-teman riuh merayakan #10YearsChallenge, tak satu pun di antara mereka kuberi tahu tentang cerita yang lumayan pahit pada 2009 itu. Kepengecutanku tidak memberi tahu mereka sebanding dengan kepengecutanku tidak memposting foto yang menggambarkan peristiwa 2009 silam. Aku tertawa lepas melihat kreasi teman-teman, sembari menyembunyikan dalam-dalam kisah pahit tersebut. Cukuplah kesedihan ada padaku. Tak perlulah kusebarkan kepada dunia yang pada satu kemungkinan akan berbalik padaku dalam bentuk simpati –karena netizen juga suka memberi simpati. Aku tak ingin menyulap masa kocak itu menjadi masa gelap dengan kabar kematian –paling tidak untuk teman-temanku. Iya, masing-masing kita memang berbeda memandang dan menanggapi suatu kondisi. Masing-masing kita juga berbeda dalam memanfaatkan media sosial.
Ketika aku menulis kisah ini, pada bagian kami kehilangan Uda Dedi, untuk kesekian aku meratapi diriku yang malang dan keluargaku dan dua keponakanku yang kehilangan Om dalam usia hitungan jari. Tapi buru-buru terlintas dalam pikiran bahwa bukankah sejak akhir 2009 keluarga kami memang tidak lagi lengkap –pasca Abak berpulang-? Dan 2018 ketidaklengkapan itu semakin tidak lengkap ketika kakak sulungku berpulang. Sepanjang 9 tahun rasanya diri ini sudah kuat dengan istilah “lengkap” dan “tidak lengkap”. Sudah kebal dengan sebutan anak yatim yang setiap lebaran mendapat sumbangan uang dan beras, dikasihani oleh masjid-masjid.
Kekebalan itu mestinya disyukuri laiknya menyukuri kehadiran dua ponakanku yang kecil, pintar, dan menyenangkan –sebentar lagi akan bertambah, menjadi tiga. Soal syukur bersyukur ini memang jauh lebih mudah diucapkan ketimbang dijalankan. Teringat akan tabiatku yang suka memberi ungkapan semangat kepada teman yang anggota keluarga mereka berpulang. Bunyinya, “Hati seperti bumi atau tanah, ia harus siap digali sedalam apapun” –pesan pendek dari seorang teman pada 2009 yang kerap kuteruskan hingga sekarang. Meski begitu, ternyata hatiku tidak selegowo tanah, ternyata ia berdarah-darah ketika digali. Ia hancur lebur ketika digali semakin dalam. Bahkan ia mati untuk beberapa saat, kemudian terengah-engah, bangkit kembali. Hati tidak seperti tanah, my dear.
Di balik kisah ini, challenge yang menurutku challenge adalah sekuat apa diriku selama 10 tahun ini, dan menjelang satu dekade ke depan. Sekuat apa aku mampu melangkah ketika setiap langkah penuh cerita, kesunyian, bahkan air mata. Ini bisa jadi sentimentil, penuh drama, tapi juga bisa jadi bagian dari kejujuran. Sekuat apa diriku mampu berenang hingga ke tepian ketika air renangan tak selalu jernih, ketika di sudut kiri ada buaya menanti.
Sebagai penutup dan sebagai penghiburan, apapun yang sudah, sedang, dan akan terjadi, percayalah diri ini jauh lebih beruntung dengan apa yang ada pada hari ini.
Photo from Google
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^