Skip to main content

[Muse] Twitter Is A Smaller Wikileaks




SAYA tergelak jika mengingat akun-akun anonim ini di twitter. Macam-macam nama yang mereka pakai. Putri lah, Macan lah, Sakti lah, Ratu lah, dan kata-kata poli makna lainnya. Dan tak satupun informasi perkenalan yang dapat dilacak pembaca jika tak membuat janji ingin berjumpa terlebih dahulu. Tentu saja agar tak dikenali dan tak diteror pihak yang meradang menerjang karena kuliah twitter yang tak kenal sensor.

Yang jadi persoalan tentu saja bukan nama akun yang membuat orang-orang tercengang. Akan tetapi kultwit merekalah yang membuat sebagian pembacanya terbengong-bengong. Termasuk saya. Ini negara atau penjara setan sih? Kok isinya maling dan penghisap darah semua, tepatnya darah rakyat? Ini tanya ketika menyimak kultwit mereka. Lagi, saya kagok dan terbawa emosi. Mungkin juga bisa dibuat-buat.

Bagaimana tidak, kultwit mereka selalu berbau isu sensitif dan yang sedang hangat. KPK RI yang avant garde menangkap koruptor di negeri ini, mereka sebut-sebut sebagai lembaga yang masuk anginlah, loyolah, dan kenyang kena sikut sana sini. Terlontar juga bahwa Om Samad itu jauh lebih loyo dari yang sudah-sudah dan No Hope. Ini biasa dan wajar terjadi. Di negeri Indonesia yang (katanya) sangat demokrasi, toleran, dan terbuka, setiap orang (sudah) berhak berbicara, tepatnya ngetwit seenak perutnya. Siapa yang mau tangkap? Maka akan datang seribu koin untuk si X, si Y, si Z kelak. Orang lebih takut dengan 1000 koin ketimbang pengadilan. Ini negara asoy bung!

Maka disebut-sebutlah siapa setan belang di balik kelangkaan BBM, di balik harus naiknya BBM, di balik si pengangkut Apel Malang, di balik payahnya Hambalang, di balik merebaknya hutang-hutang. Saya jadi ingat, mungkin juga karena desas desus akun anonim gila di twitter, menarik anggota DPR bikin akun twitter juga. Ialah Bang Poltak yang doyan ngetwit dan bergonta-ganti foto dan nama akun. Silahkan maknai sesuka pembaca.

Jika saya ingin menghitung-hitung, setidaknya ada dua hingga tiga kasus yang dikultwitkan setiap hari. Dominan dari kasus suap, korupsi, bobrok rezim berkuasa, dan sedikit-sedikit menyerempet perkara (suap) seks kaum elit, kebanyakan anggota DPR. Nah, tinggal mengalikan dengan sekitar lima bahkan sepuluh akun anonim yang menggerahkan penguasa namun menyejukkan banyak orang. Saya salah satunya.

Tak kalah menyenangkan, isu yang mereka buat, mampu membangun opini publik secara luas dengan ditandainya perkara yang mereka kultwitkan langsung ditanggapi pemerintah secara serius. Sudah jelas, media akan menggiring kemana arahnya. Plus menyebarluaskan secepat mungkin. Ini menarik bagi orang-orang yang doyan. Macam saya lagi.

Belakangan, identitas akun-akun anonim itu mencuat ke permukaan. Misal, ada yang bekas pejabat BUMN, pejabat dengan gelar S3 bidang politik dan luar negeri, orang-orang yang pernah dekat dengan Cikeas, dan seterusnya, dan seterusnya. Ini tak kalah seru. Pada bagian ini, saya terbahak. Rupanya mereka yang anonim, menurut sumber yang anonim pula, adalah raja-raja kecil yang hidupnya dari suap ke suap karena kultwit terlalu pedas. Bukan main lucunya kawan! Dikibuli tetapi nyandu.

Twitter Oh Twitter!

Ini gaya masih tergolong baru. Tidak hanya dalam berkomunikasi tetapi juga dalam mendapatkan informasi penting namun belum jelas valid. Paradoks sih. Namun, di zaman yang rentan terbohongi ini orang doyan dengan info-info sensitif dan terkait rezim penguasa. Laris manis bak kacang goreng. Cek saja, followers akun anonim mencapai puluhan bahkan ratusan ribu. Berbeda dengan beliau-beliau yang motivator, paling ribuan atau belasan ribu saja. Motivasi sudah, tinggal menggugat saja. Kira-kira begitu.

Dengan hanya 20 kali kultwit, 1 twit +- 140 karakter => 20 x 140 = 2800 karakter, anda tak perlu susah buat situs, beli domain dan hosting, bak raja Julian itu. Cukup dengan dua tiga orang admin, atau bahkan anda sendiri dengan kevalidan info nomor sekian, kultwit anda bikin muka presiden merah padam. Plus anda terkenal dan agak mulia, kesannya. Ini cara mudah dapatkan uang sekaligus kebencian dari orang. Konon, suap tutup mulut itu tidak ratusan juta, tapi mencapai M M an. Gila bukan? Inilah wajah negara yang diwariskan Bung Hatta sekarang.

Tapi kenapa orang tetap menikmati?

Jauh-jauh hari Jack Dorsey sudah memikirkan betapa hasrat manusia itu ingin yang simple, cepat, dan nanti soal ketepatan. Twitter memang tidak real time, akan tetapi ia jauh lebih simple dari pada Facebook, Lingkeldn, dan kawan-kawan. Anda cukup menulis satu tarikan napas dan mempublishnya di twitter land. Semua follower anda akan membaca dan biasanya akan kasih mention sana sini. Mention sana sini, ini keasyikan lain yang menyebabkan candu terhadap twitter.

Nah, di zaman twitter ini, orang perang dan bercinta di sana. Obama terkenal dengan julukan presiden gaul, karena aktif di twitter. Lady Gaga apalagi. Hampir separuh penduduk bumi ini ia sedot untuk mengikutinya. Ingat revolusi di negara-negara Afrika sejak 2011 lalu? Bukankah masifnya gerakan dibangun di jejaring twitter dan kawan-kawan. Penyebarluasannya begitu cepat, dan pembaca digiring emosi yang bertopeng akal sehat untuk memberontak. Di Indonesia, jika ingin, juga bisa begitu.

Di Indonesia, para menteri dan ketua partai bertwitter ria. Mereka berbicara soal kemiskinan, korupsi, air bersih, hingga bola dan tarian adat. Jelas saja mereka memiliki sederetan admin yang kelak akan bekerja keras agar akunnya nyala 24 jam. Ini citra bahwa mereka tak tidur demi rakyat. Tapi, di zaman twitter rakyat tak bodoh!

#foto dari internet

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...