Skip to main content

[Cara Hidup] Orang Berbudaya Itu Pasti Punya Duit



INI alur hidup sehari-hari yang saya kisahkan di dalam blog. Seperti yang sudah-sudah, saya suka menggantung ending cerita sesuka hati. Tanpa bermaksud kejam kepada pengunjung blog (jika ada), jujur saja saya sudah mengantuk untuk mengakhiri dengan pernyataan manis. Murni sikap ini gen turunan. Tak ada tendensi apalagi ingin jadi mafia blog atau aktivis blog kepada pengunjung. Maka, selamat membaca.

Awalnya karena diajak teman membantu pekerjaan yang lebih besar. Saya terima dengan besar hati dan riang alang kepalang. Apalagi itu pekerjaan tidak bersamaan dengan kerja saya sehari-hari. Saya pun bersemangat dan ingin sekali berkeringat membantunya. Perlu pembaca ketahui, saya ini selain anak yang rajin dan manis, saya orangnya selalu baik sangka dengan keadaan. Terlepas nanti akan bahagia atau jengkel setelahnya. Saya tak pikirkan itu. Maka, saya mati-matian nabung tenaga buat teman saya itu untuk hari H kelak.

Oiya, perlu saya perkenalkan sedikit tentang teman saya yang baik ini. Namanya Purwa Nugraha. Saya kerap memanggilnya dengan Pu, Pu, Pu saja. Saya anggap panggilan itu lebih enak di telinga dan tidak pasaran, maka begitu jadinya. Ini cowok sudah lebih lima tahun tinggal di Yogyakarta. Katanya ia mulai bosan. Sama dengan saya yang sudah bosan dengan Kota Padang, setelah saya tinggali sekitar empat tahun. Di sini, jika ada seseorang yang mengaku bosan dengan kota yang (pernah) mereka tinggali, saya berharap kota tersebut tidak perlu bosan pula padanya. Karena itu tidak baik bagi kesehatan kota tersebut ^_^.

Nah, ini cowok punya beberapa usaha. Salah satunya mengelola wedding organizer. Orang akrab dengan sebutan EO (Event Organizer) yang bergerak di seputar pesta dan makan-makan. Dia punya brand Pendopo Hati. Kantornya mungil dan penuh ungu. Layak buat Kate Middleton selonjoran di sana. Paling banter Asmirandahlah, keren bukan? Saya selalu senang kalau diajak ke sana. Selain banyak majalah wedding dan budaya, tempatnya juga bikin saya mengantuk. Sayang, setiap ke sana saya lupa membawa bantal.

Bulan ini Pu dapat orderan buat langsungkan pesta pernikahan orang penting di Jakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Maksudnya, keluarga yang hajatan itu orang penting di tiga daerah ini. Ia dan timnya yang solid (ini murni pendapat saya yang belum disensor) agak kelabakan dengan request-rikues keluarga besar yang hajatan. Biasa, orang mantenan itu maunya 11 12 dengan orang ngidam, ada-ada saja yang diminta. Tentu saja awak EO ini mati-matian penuhi keinginan mereka. Wajar dong, karena memang mereka menjual jasa walaupun banyak bunga dan nasi kotak di sana. Maksudnya, pelayanan terbaik itu mengalahkan apel malang (baca; rupiah/IDR). Selain itu, mereka juga sudah pengalaman.

Ini introduction terlalu panjang. Tak baik untuk kesehatan mata pembaca. Saya stop di sini.

Menjadi EO wedding dan makan-makan itu tidaklah seperti menjadi artis, yang hanya tinggal bergerak sesuai arahan sutradara atau manajemen. Mereka dituntut selain paham wilayah, paham biaya, juga paham budaya. Di tengah berlipat-lipatnya budaya atau tradisi dalam acara mantenan, orang EO tak boleh mengaku tak tahu apalagi lupa. Usaha mereka bisa wassalam jika sampai begitu. Di sini, kecerdasan budaya orang EO ditantang. Sampai dimana sih pengetahuan mereka akan mantenan dan embel-embelnya?

Saya diikutkan rapat perihal pesta kelak. Rapat berjalan dengan lancar. Berbagai taktik disusun agar acara berjalan sempurna, sesuai keinginan keluarga mantenan. Mulai dari waktu, mobil yang digunakan, seragam, MC, buah tangan, ritual, adab berbicara kepada si mbah-si mbah, hingga kemana arah jempol ibu pengantin perempuan yang menggawangi acara tersebut. Tidak hanya ribet tapi juga bikin sesak napas. Karena, kalau keliru kasih buah tangan, itu buah tangan bisa jadi arit, memenggal kepala awak EO.

Maka, soal budaya dan ritual mantenan, para awak EO ini tak boleh asal-asalan. Meskipun rerata mereka muda-muda, tapi bukan berarti mereka hanya paham akan BBM dan Skype. Soal bagaimana pengantin melangkah ke pelaminan juga harus diketahui. Dan meskipun tak fasih kromo inggil (bahasa Jawa halus atau tinggi) mereka dituntut selalu bisa menghangatkan situasi dengan si mbah-si mbah, yang pernah jaya di Orde Lama dan Orde Baru (di era reformasi mereka-bisa-jadi pahlawan), agar tetap bersemangat dalam barisan antrian. Ini tak segampang memandang kura-kura berenang di baskom. Salah-salah ucap atau bertele-tele efeknya jauh lebih besar ketimbang gempa 8 SR bagi awak EO.

Di sini saya belajar. Memang, saya selalu tak bosan untuk belajar. Apa saja, bahkan hanya untuk menghabiskan waktu seharian mendengarkan celoteh Toni Blank di tivi. Ini gila? Terserah sajalah.

Ketika bergabung dengan tim EO ini, saya belajar. Maksudnya saya belajar bagaimana menuliskan kisah kerja sehari ini ke dalam blog dengan sangat elok dan menghibur. Untuk soal budaya dan tradisi, saya tak tahu. Bukan karena saya bodoh, tapi hanya karena saya belum tahu dan belum cukup umur untuk ke sana.

#foto dari internet

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...