Skip to main content

[TV Kita] Pilih-pilih Mantu dan Penjajahan Sesama Perempuan




"Saya suka sama cowok itu, tapi saya sepertinya tidak termasuk dalam kategori menantu pilihan ibunya."

"Saya akan coba usaha lagi sehingga masih mendapat kesempatan untuk memperbaiki citra saya di depan ibunya."

"Karena yang akan memilih istri untuk anak saya, ya saya. Jadi, saya berharap mereka, calon istri anak saya, dapat membahagiakan saya selama proses pendekatan ini."

Tiga kalimat di atas sering kita dengar ketika teman tak punya pilihan lain untuk mengganti chanel TV ke acara ini. Dalam acara ini, perempuan-perempuan cantik, muda, dan sangat berpeluang untuk cerdas dan sejahtera, mati-matian merebut simpati dari para perempuan gaek, ibu-ibu, yang notabene perempuan yang melahirkan (entah benar entah tidak) dari para lelaki yang mereka dambakan.

Nah, selanjutnya berbagai cara pun dilakukan oleh para perempuan muda ini. Ada dengan bergelayut manja, seperti anak kera, kepada si ibu setiap berjumpa. Ada pula mencium tangannya berulang-ulang hingga berbau asem itu tangan. Tidak jarang pula menuntun si ibu hingga ke kamar, memijat-mijat, dan menanyakan semua yang dibutuhkan malam itu, layaknya suster di puskesmas, hanya saja yang ini demi seonggok hati lelaki yang pas-pasan. Ini merupakan bayangan liar saya tentang alur acara 'cari muka' ini. Saya dan teman jengah!

Kenapa? Tak perlu lama-lama memelototi itu monitor TV, karena anda akan melihat tingkah laku, tutur kata, dan ekspresi tubuh yang sangat dibuat-buat dan sungguh basi. Baik oleh perempuan muda maupun oleh perempuan gaek tadi. Bagi yang muda, mencoba berbaik-baik, manut, hormat, dan kadang-kadang menyelinginya dengan satu dua titik air mata. Sungguh, air mata itu keluar karena dipaksa dan diancam.

Pun dengan si ibu yang mau tak mau harus berbaring dan mengikhlaskan kedua tangan calon menantu mereka menggerayangi kaki, tangan, bahu, dan entah apa lagi, untuk dipijat. Lagi, ini bayangan liar saya, karena biasanya perempuan muda yang tengah berharap, tak segan-segan 'mengabdi' hingga ke tempat tidur. Begitu juga dengan apa yang dilakukan kepada para perempuan gaek itu.

Saya berpikir dan berharap, semoga mereka menyesal mengikuti proses pendekatan ini.

Sayangnya, mungkin tidak. Malah sangat menikmati, baik oleh yang muda maupun oleh yang gaek. Sepertinya nyaman sekali. Yang muda berjuang memperebutkan hati yang gaek, dan yang gaek pun mencoba mempertahankan pilihan hatinya kepada yang muda. Muaranya kemana? Ya untuk para lelaki di rumah sebelah yang tengah ongkang-ongkang kaki, namun kadang juga deg-degan. Dan, mau tak mau, dua kelompok perempuan yang beda usia jauh ini bersaing, menjajah, dan tak jarang pula tersakiti atau menyakiti satu sama lain. Kasihan sekali bukan?

Untuk menikmati, eh untuk menonton sajalah (karena saya dan teman tidak terhibur) anda tak perlu harus menjadi seorang feminis jika ingin melihat ketimpangan relasi di sini. Sungguh tak perlu! Karena dengan sangat mudah terbaca pesan apa yang ingin disampaikan oleh acara ini kepada penonton. Kira-kira bunyi pesannya begini,

"Kalian yang wanita di sana, untuk mencari seorang lelaki dan suami, memang harus mati-matian dan berjuang keras. Jangan hiraukan pendapat orang! Gunakan seluruh potensi kewanitaan kalian untuk menggaet calon mertua kalian. Apakah itu dengan lemah lembut, patuh, sopan, berkorban sampai darah dan kesabaran penghabisan, hingga harga diri. Gunakan itu! Karena dengan begitu, inilah wanita sesungguhnya dan kalian layak dapat lelaki pujaan kalian."

Sungguh, saya enggan sebenarnya menuliskan pesan ini. Hanya akan membuat gerah dan mengeluarkan sumpah serapah. Karena sangat bertentangan dengan hati saya, dan mungkin juga banyak perempuan di muka bumi.

Ada dua alasan kenapa;
Pertama, jika pernikahan tak terelakkan. Baik untuk perempuan muda, perempuan gaek, anda sekalian tak perlu bersusah-susah seperti ini. Kami saja yang kadang tak sengaja menonton, dibuat selalu mencemooh kalian. Karena tingkah dan pola macam itu berlebihan (over) untuk ukuran budaya kita. Anda yang perempuan tak perlu merayu dan cari muka untuk menggaet pujaan hati anda. Yang realistis saja. Yang termakan oleh otak penonton. Tak usah lebay dan mengada-ada.
Kedua, jika pernikahan tak bermakna. Anda yang perempuan muda, tak perlu menangis dan menyesali diri hanya untuk mendapatkan lelaki pujaan hati. Apa sih yang anda harapkan dari makhluk yang di antara selangkangnya ada seonggok daging bertulang dan bau itu? Apakah dengan itu anda dijamin mendapat kebahagiaan luar dalam dan hidup mati? Jika iya, sungguh ini sangat tidak masuk akal dan tindakan bodoh sekali.

Ingat, saya tak pernah melarang siapa pun untuk menikah. Namun, saya tetap berharap semoga kalian menyesal mengikuti proses pendekatan bahkan acara ini. Tak ketinggalan, cukup satu episode saja acara ini menghiasi malam-malam penonton di Nusantara. Kasihan yang muda dan yang gaek wahai bapak/ibu yang punya acara. Kita tentu saja tak ingin membodohi orang lain dan melakukan ketidakadilan terhadap mereka (baca; laki-laki dan perempuan).

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...