Skip to main content

[Review Hidup] Mari, Mampir Sejenak


Siapa nanya jika perjalanan ini masih membawaku pada jalan yang berliku dan panjang. Jalan yang tak berkesudahan dari malam ke malam lagi. Begitu setiap hari dan petang. Perjalanan yang sungguh melelahkan. Karena selalu berpacu dengan waktu, langkah-langkah pun terbiasa untuk selalu bergerak dan berpindah.

Namun, pagi ini, di tengah lapar mendera dan hanya ada seonggok komputer putih di depan mata, ada suara sengau menderu di ulu hati.Ah, hidup. Jika ingin memilih, aku
berharap dibesarkan oleh peladang dan tinggal di kaki bukit yang penuh dengan hamparan sayur mayur, beberapa ekor ayam kampung dan sapi perah. Cukup itu. Tentu saja bersama orang-orang yang aku kasihi dan mengasihiku.

Rasanya, meneguk teh atau kopi di pagi hari yang merupakan hasil panen sendiri sangat menggiurkan. Belum lagi jika ditambah pula dengan pisang atau ubi rebus atau bakar yang kerap disuguhkan ibu dan nenek di pulau Rose dulu. Sungguh, hari yang menyenangkan dan penuh dengan kebermaknaan. Ini hari penuh cerita, yang mungkin tak pantas diterbitkan di blog lusuh ini.

Tapi kawan, hidup, sadar atau tidak kau rasakan, selalu meminta kita agar diperhatikan dan selalu menikung, berkelok, dan menuju ke arah atas. Banyak dari kita
yang ketika memenuhi kehendak itu hampir mati dan gila dibuatnya. Termasuk aku yang pada hari ini mungkin. Begitu sangat merasakan jemu, bosan, garing, dan ingin lari dari ruang ini, jika boleh. Betapa waktu ini, ketidaknyaman yang selama ini membuncah ujungnya ingin meledak pada hari ini.

Adalah pengekangan batin yang menjadi ujung permasalahan ini. Sekalipun batin itu pada dasarnya tak akan mampu dikekang dan dipenjarakan. Akan tetapi, apa yang kurasakan saat ini membalikkan segala kalimat dan juga mungkin jargon di atas. Karena pengekangan batin itu ada nyatanya. Tak percaya, mungkin butuh tenaga dan cobaan keras untuk membuktikannya.

Nah, sekitar lima menit lalu, sebelum kulanjutkan tulisan ini, malu tak malu aku harus menemukan makanan yang mampu mengganjal perutku. Apa pun itu. Asalkan mampu dihaluskan oleh gigi dan mampu pula digiling oleh usus. Kutemukanlah kerupuk lebar dan semangkuk mie goreng di atas meja makan.Untuk apa lagi menunggu? Langsung saja kusikat makanan itu. Alhamdulillah, rasa lapar sedikit berkurang dan akupun kembali bekerja.

Mengalami cerita ini, aku jadi teringat akan kisah dan slogan sewaktu jadi mahasiswa sekitar 2-3 tahun lalu di kota Cumulonimbus. Kita yang waktu itu sedang ingin belajar menjadi mahasiswa yang hiperaktif, ya orang-orang cerdas mengenalnya sebagai aktivis,
mati-matian berusaha dan mendorong diri agar bertahan.

Slogan kita, tak logis tanpa logistik. Makanya setiap akan menjalankan sesuatu kita mati-matian cari makanan terlebih dahulu. Ini dilematis. Dan tak jarang pula jadi lelucon dan bahan ledekan dari para tuan pengambil kebijakan (senior). Benar mungkin jika pada waktu itu kerjaan kami banyak makan dan agak terkesan lalai dengan kewajiban atau tanggung jawab. Tapi apa boleh buat, begitulah iklim pergaulan di antara kami. Budaya ini masih berurat berakar hingga sekarang.

Memang naif rasanya jika dipikir-pikir menghabiskan separoh hidup hanya untuk memikirkan perut. Bahkan memalukan untuk di zaman twitter dan skype ini. Karena,
andalah orang terbodoh dan terugi. Kasihan sekali.Tulisan ini ngelantur kemana-mana tak tentu arah dan tak terukur keabsahannya. Ini hanyalah omong kosong saya tentang hidup yang saban hari semakin pelik saya rasakan. Tapi, saya, sungguh tak mau kalah. Ini egois yang tidak sehat mungkin. Egois yang akan memperbudak diri sendiri dan hati. Benar-benar tak sehat.

Untuk itu, mari singgahlah sejenak. Lepaskan penat di kepala dan di tubuh yang mendera sejak belasan tahun lalu. Siapa lagi yang akan mengasihani engkau jika tidak diri engkau sendiri. Lepaskan dulu beban di pundak. Berselonjorlah agak 15 menit dan nikmati aktivitas di sekelilingmu. Betapa hidup menginginkan diri jauh berbeda dari diri yang sebenarnya itu. Betapa hidup mengegoiskan diri dan kita mengikuti saja. Ini benar-benar tak fair kawan.

Keberpacuan ini, kata seorang guru spritual asal Taiwan, hanya akan membuat diirmu penat dan merasa bersalah jika tidak tercapai. Kebahagiaan seutuhnya adalah menikmati dan mensyukuri apa yang ada di depan matamu. Jangan mengada-ada dan ngoyo. Paham realitas, paham diri, dan paham hidup di dunia.

Selamat merdeka teman-teman. Nikmati apa yang ada di dirimu sekalipun itu kecil dan mungkin tidak berharga bagi orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...