Skip to main content

[Catatan Mimpi] Berjumpa Mas Andreas Harsono di SKK Ganto




Rabu, 11 April 2012 sekitar pukul 04.30 WIB karena saya terbangun dari mimpi ini pukul 05.30 WIB. Jadi, saya perkirakan mimpi ini memakan durasi satu jam dengan alur sedikit lebih baik.

Saya dan teman-teman mengikuti pelatihan yang kurang jelas tentang apa. Namun, saya yakin pelatihan itu tidak melulu mengenai jurnalistik dan tulis menulis yang kerap saya ikuti. Saya di Jogjakarta waktu itu. Di kampus di Padang, tepatnya di sekretariat Surat Kabar Kampus Ganto, ada agenda bertemuan dan diskusi mendadak, ini sering terjadi, karena ada orang hebat datang berkunjung. Tentu saja, biasanya tak jauh-jauh dari jurnalistik, sastra, dan hukum. Nah, datanglah mentor kita dari Yayasan Pantau di Jakarta sekaligus wartawan hak asasi manusia. Ialah pak/mas/om/abang/koko Andreas Harsono yang tidak asing lagi di telinga kami.

Awalnya, saya yakin tak akan bisa datang. Selain karena jauh, juga karena sedang ikut pelatihan. Namun, pelatihan kami cepat usai dan tiba-tiba saya sudah berada di sekretariatan SKK Ganto. Tak usah ditanya pesawat apa yang saya tumpangi. Orang sudah ramai di sana. Ada para senior, junior, serta teman-teman seangkatan. Mirip reuni dan iven besar begitu. Saya tertawa-tawa dengan teman yang saya tak ingat lagi. Tiba-tiba seorang teman bersorak, mas AH, begitu kami sering menyingkat nama beliau, sudah datang. Mari segera berkumpul dan menyambut tamu! Orang semakin ramai dan sesak di depan pintu.

Tiba-tiba seorang junior sangat ingin memeluk beliau. Namun, mas AH agak keberatan. Kalian kan tahu saya kurang tertarik dengan sambutan peluk-pelukan macam begini, kata beliau. Saya tertawa sembari menjabat dan sempat mencium tangannya yang putih dan lembut. Beliau keturunan Tinghoa, makanya putih. Kalau lembut, saya kurang tahu sebabnya. Ia pun bercanda, mengatakan sesuatu yang saya tak ingat lagi ketika saya mencium punggung tangannya.

Ruangan tempat kami berkumpul tidak di sekretariat yang lantainya mlendung karena gempa 30 Sept 2009 lalu. Tapi, sepertinya pertemuan itu terjadi di ruang PKM atau ruang sidang yang kerap dipakai untuk acara-acara. Saya ingat betul, mulai dari tikar lusuh yang dipakai, Teh Botol sebagai penjamu tamu, dan masih ada saja buku berjalan sebagai absensi. Ini benar-benar masa lalu.

Adapun mas AH datang bersama seorang perempuan muda. Ia berambut ikal, wajah tirus, dan tertawa renyah. Wah, ini kan wartawan foto yang tomboy dan, jderrrrrrrrrr, kata saya kepada mas AH. Mas AH mengangguk dan tertawa lepas. Kita tertawa bersama. Pun dengan perempuan muda itu yang rasanya pernah saya jumpai sebelumnya. Sedangkan yang lain tidak tertawa, karena tak paham apa yang kami tertawakan. Sungguh, hingga saya menuliskan mimpi ini, saya juga tak paham apa yang lucu dari ungkapan saya di dalam mimpi itu. Aneh-aneh saja.

Yang hadir di sana cukup banyak. Karena tidak hanya dari keluarga besar SKK Ganto, namun juga ada guru-guru besar di kampus kami. Ada Prof. Mestika Zed, ada Prof. Hasanuddin WS, serta profesor lainnya. Saya juga bingung, kok profesor sastra kami bisa hadir di sana. Ah, mimpi saya mengada-ada. Tapi, begitulah kenyataan mimpi saya subuh ini.

Saya terbangun dan berpikir lama di depan toilet. Bukan karena mimpi ini, tapi karena menunggu itu sangat tidak enak dan bisa bikin muntah.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...