Di musim rintik-rintik, sedari pagi, tengah hari, hingga malam menjelang, Nur hanya berputar-putar di dalam rumahnya yang seluas lapangan bola kaki. Perempuan muda itu tak terbiasa dengan gerimis. Ke kandang kambing belakang ia pun tak kuasa. Takut butiran-butiran bening itu menghujani kepalanya. Ia bisa terbaring berbulan-bulan, karena didera influenza dan menggigil. Dan ini bisa membuatnya mati. Tapi ia tak sanggup mendengar embikan kambing-kambing yang sejak gadis ia pelihara. Kambing-kambing itu telah seperti anak-anaknya. Saban hari, setelah suaminya ke kantor kelurahan, segera ia berkutat dengan kambing-kambing itu. Kambing itu sudah ia pelihara sudah tujuh tahun. Jumlahnya enam ekor, semua jantan. Modal membeli kambing ia dapatkan ketika bekerja di luar negeri. Ia dikontrak menjadi pembantu rumah tangga di Singapura selama lima tahun. Bersama Wati, Idah, dan Lela mereka mengenyam hidup sebagai buruh migran di negeri orang. Separuh gajinya ia kirimkan pulang kampung melalui we...