Skip to main content

Korban Human Trafficking di Batam Gara-gara Laptop Tersangkut PSK

"Aku mau balik ke rumah. Ketemu mama dan adik-adikku lagi kak," ujar Melati (bukan nama sebenarnya_red), korban human trafficking kepada Haluan Kepri, Sabtu (30/4) malam kemarin.

Sembari menarik-narik celana pendeknya (hotpants), Melati memulai kisah penipuan yang mengakibatkan dirinya sampai di Pulau Batam dan terjerat jaringan Pekerja Seks Komersial (PSK) di salah satu tempat hiburan malam di kawasan Nagoya. Semua cerita pahit ini bermula dari ajakan seorang teman maya di Camfrog, salah satu fitur bermain online yang mengandalkan kamera komputer ataupun laptop (komputer jinjing) sebagai daya tariknya, menjanjikan pekerjaan dan memperoleh laptop dengan harga murah di Batam.

Melati bercerita, setiap hari ia selalu bermain Camfrog di warung internet (warnet) serta berinteraksi maya dengan teman-temannya. Salah satu teman mayanya berasal dari Batam, dan mengajaknya datang ke kota ini serta mengiming-imingi pekerjaan dengan gaji lumayan besar. Janji-janji itulah yang menguatkan hati Melati datang ke kota industri ini dan berharap dapat membeli laptop.

"Aku kepengen bangetlah lepi (laptop_red) kak. Dengan lepi, aku bisa apa saja, termasuk bercamfrog ama teman-temen," kata gadis 18 tahun ini polos.

Sekitar satu setengah bulan lalu, Melati pun tiba di Batam dengan diongkosi oleh teman mayanya, pemuda yang bekerja serabutan di kawasan Bengkong, Kota Batam. Sekitar dua minggu Melati tinggal bersama pemuda tersebut. Tak tahan tinggal bersama orang lain tanpa memberikan apa-apa, Melati berinisiatif mencari pekerjaan. Bermodalkan nekat, ia pun melamar pekerjaan di salah satu tempat hiburan malam di kawasan Nagoya, Mess Karaoke Dinasty 1. Segala persyaratan administrasi pun dilengkapi oleh si pemuda, termasuk memalsukan usia Melati menjadi 21 tahun dan menukar agamanya yang semula Kristen menjadi Islam di Kartu Tanda Penduduk (KTP)nya.

Awalnya di sana, Melati ditawari bekerja sebagai Public Relation (PR). Namun, selang beberapa hari kemudian, ia pun dipaksa oleh 'Mami' atau germo di sana untuk melayani tamu atau pengunjung. Tak hanya melayani tamu, ia juga dipaksa bekerja bak perempuan-perempuan lainnya sebagai perempuan penghibur dan siap melayani semua kemauan si tamu.

"Kadang saya dibawa ke hotel dan menginap di sana, tak hanya di tempat kerja aja kerjanya kak," pungkas gadis yang putus sekolah sejak kelas X SMA ini.

Gadis asal Kebun Jeruk, Jakarta ini pun awalnya enggan bekerja sebagai pemuas nafsu apek-apek, yang kebanyakan berkunjung. Namun, ia tak dapat berbuat banyak. Sekitar dua minggu, sejak 17 hingga 29 April lalu, gadis berdarah Batak ini pun dipaksa oleh maminya melayani semua keinginan tamu. Jika ia menolak, ia tidak hanya dimarahi namun juga ditekan dengan berbagai ucapan kasar dan menyakitkan.

Tak sampai di sana saja, lanjut Melati, gaji yang ia peroleh pun harus dibagi rata dengan perusahaan tempat dia bekerja. Kadang, kelakuan maminya pun membuat Melati gerah. Selain gaji yang dibayarkan tidak sesuai perjanjian awalnya, Melati juga dibebankan membayar uang makan si mami di tempat itu.

"Cashbon mami aku juga yang bayar. Sedangkan buat aku saja masih kurang. Kadang tip dari tamu pun harus dibagi dua dengan perusahaan," keluhnya sembari memain-mainkan handphone Nokianya.

Keadaan ini pun membuat Melati merasa dirugikan. Beruntung ia belum meneken kontrak kerja dengan Dinasty 1. Atas saran beberapa rekan kerja di tempat itu, Melati memberanikan diri mengadu dan meminta pertolongan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat Komite Anti Trafficking dan Hak Asasi Manusia (LSM KAT dan HAM) yang berkantor di kawasan Sei Jodoh, Kota Batam, untuk diberhentikan bekerja di sana.

Tak berselang hari, LSM KAT dan HAM memediasi Melati untuk mengeluarkan dan meminta pertanggungjawaban pihak Dinasty 1 atas nasib Melati. Melati tak ingin kembali bekerja di sana. Satu-satunya yang ia harapkan adalah pulang ke Kebun Jeruk dan berjumpa dengan keluarga serta sanak familinya di sana.

"Aku takut di Batam dan ingin cepat-cepat balik ke rumah di Jakarta," pinta gadis berambut sebahu ini dengan nada iba.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...