Skip to main content

Mengabdi dalam Kepekatan


Pulau Batam merupakan salah satu pulau terbesar dan terpadat di Provinsi Kepulauan Riau. Sejak pulau ini dan beberapa pulau lainnya bergabung dan membentuk provinsi baru, provinsi ini semakin berkembang mengarah ke provinsi atau pulau-pulau industri di Tanah Air. Di balik kesuksesan pembangunan dan perkembangan ekonomi, masyarakat Pulau Batam bisa dikatakan kering dalam berkesenian. Sebagian masyarakat dan insan atau pelaku seni kurang ‘bergairah’ mengembangkan dan melestarikan kebudayaan baik lokal maupun kontemporer. Kemampuan dan perkembangan berkesenian pun semakin menurun. Ketika berjalan-jalan di pulau yang hidup 24 jam ini, tak banyak tempat atau komunitas seni di pulau ini yang dapat kita jumpai.
Walaupun demikian, ada satu komunitas seni yang tetap eksis dan berpengaruh di Pulau Batam. Komunitas itu Komunitas Seni Rumahhitam. Komunitas ini telah ada sejak tahun 2000 di Pulau Batam. Beragam kegiatan kesenian yang dilakukan dan dikembangkan oleh Komunitas yang dipimpin oleh Tarmizi ini. Mulai dari seni teater, seni tari, seni musik, seni sastra, hingga seni rupa. Karena namanya Komunitas Seni Rumahhitam, tak heran rumah-rumah sebagai tempat berkarya dan berkreasi ini dicat dengan warna hitam. Hingga sekarang komunitas ini memiliki sekitar 20 pengurus yang menjalankan segala aktivitas berkesenian di komunitas tersebut. Komunitas yang berada di jalan RE Martadinata, Sekupang ini berasal dari beragam suku di Pulau Batam. Slogan yang tertera di salah satu pintu masuk rumah komunitas ini ‘Lewat Seni Mengabdi pada Negeri’ menghantarkan mereka memperoleh beberapa piagam penghargaan dari berbagai pihak.
Berikut beberapa jempretan foto ketika rombongan magang pelatihan jurnalistik Haluan Media Group singgah di komunitas ini pada Selasa (5/4) siang lalu.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Gangnam Style dalam Perspektif Konstruksi Identitas

KETIKA Britney Spears diajari berGangnam Style ria oleh Psy, sedetik kemudian tarian menunggang kuda ini menjadi tren baru dan memecah rekor baru di YouTube. Guinness World Records menganugerahi sebagai video yang paling banyak dilihat yakni 200 juta kali dalam tiga bulan. Sebuah pencapaian yang tak diduga sebelumnya, begitu kira-kira kata Dan Barrett. Park Jae Sang pun mendapat nama dan melimpah job baik di Asia maupun di Amerika Serikat. Google dengan jejaring luasnya bercerita jika horse dance ini adalah sindiran kepada anak muda Korea yang tergila-gila memperganteng, mempercantik, memperlangsing, dan mempertirus tubuh dan wajah sebagai ‘syarat utama’ penampilan dan pergaulan di negeri itu. Tak ketinggalan juga mengkritik gaya hidup yang cenderung high class serta selalu mengejar kesempurnaan. Di kawasan elit Gangnam inilah anak muda dan masyarakat Korea bertemu dengan rumah-rumah bedah, salon kecantikan, serta starbuck-starbuck ala Korea. Psy mengkritik –mungkin tepatnya mela...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...