Skip to main content

Camp Vietnam dan Wajah Pariwisata Kita



Siapa yang tak kenal Camp Vietnam? Sejak situs bersejarah ini dicanangkan sebagai pariwisata sejarah di provinsi Kepulauan Riau (Kepri), sejak itu pula ratusan bahkan puluhan ribu orang datang berkunjung. Penasaran dan keingintahuan itu tak hanya muncul dari masyarakat Kepri atau Kota Batam. Tetapi juga dari daerah lain di luar Kepri. Ada yang dari dalam negeri ataupun dari luar negeri. Tak terhitung pula orang-orang keturunan Vietnam datang berkunjung. Mereka menggali sejarah. Mengingat kisah dan pahitnya perjuangan ketika leluhur mencoba mempertahankan kehidupan.
Camp Vietnam, satu dari sekian banyak aset kebanggaan Kota Batam atau Kepri yang tidak dimiliki oleh provinsi lain di Nusantara. Tempat ini menyimpan ribuan cerita dan kisah. Kisah kehidupan anak manusia yang memperjuangkan hak dan kehidupan di tengah peperangan yang tak diinginkan. Mereka berjuang. Berjuang demi anak cucu dan masa depan. Sebuah memori yang tak mudah ditepis, sekali pun oleh masyarakat Kota Batam ataupun Kepri.
Ketika singgah di kota industri ini, merugi dan sedih sekali jika tak menyempatkan waktu berkunjung ke Camp Vietnam. Dari dulu dan dari berbagai situs, mungkin kita hanya bisa berdecak kagum akan cerita dan kuatnya pesan yang disampaikan dari foto-foto, penggalan tempat ini. Camp Vietnam, sebuah penyelaman masa lalu yang menggetarkan.
Namun, ketika berkunjung ke situs bersejarah ini, lamat-lamat cerita itu buyar sudah. Kondisi beberapa situs terkesan tak diurus dengan baik. Ada yang dibiarkan begitu saja. Ada pula yang diurus hanya dengan separuh hati. Kisah menggetarkan di Camp Vietnam tiba-tiba terputus dan hilang rasa.
Kebanyakan, pengunjung lebih tertarik datang hanya untuk mengabadikan diri dengan sejepret foto. Pelepas tanya sebagai tanda pernah berkunjung ke tempat terpopuler ini. Selebihnya melihat-lihat dan pelepas lelah di akhir pekan.
Padahal, pengunjung berhak tahu dari orang-orang yang mengurusi situs bersejarah ini. Mulai dari kisah lampau, perjuangan pengungsi, budaya mereka, hingga nilai-nilai serta kearifan lokal yang pengungsi bawa sebagai wahana memperluas cakrawala pengunjung.
Ironisnya, semua itu lebih banyak pengunjung dapatkan di situs-situs internet. Pengetahuan dan pengalaman langsung datang ke Pulau Galang, dimana Camp Vietnam berada, hanya secuil kisah indah tak lepas dari pelepas tanya.
Belum lagi ditambah dengan masih ada beberapa situs bersejarah, seperti bangunan sekolah pengungsi, yang tidak hanya lapuk dimakan usia, tetapi terkesan juga tidak diurus dengan baik. Bangunan itu dibiarkan lapuk bersama tumbuhan menjalar yang mengerubuni puing bangunan itu. Kita, pengunjung hanya mampu memandang dari kejauhan tanpa dapat mendekati dan menyentuhnya.
Kondisi ini tidak hanya memiriskan hati, tetapi juga mencerminkan watak kita yang enggan merawat dan belajar dari peninggalan-peninggalan sejarah yang sarat ilmu dan makna hidup. Sudah seharusnya, Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Batam lebih ambil peduli dengan kondisi ini. Tentu saja anggaran untuk merawat situs bersejarah Camp Vietnam tidaklah sedikit dan selalu dikucurkan. Hanya saja pelaksanaan dan pengawasan yang lebih maksimal perlu diterapkan.
Pihak-pihak yang berwenang, sebaiknya cepat mengambil keputusan untuk lebih mendayagunakan situs ini. Tidak hanya sebagai icon tetapi juga sebagai salah satu kebanggaan dan sumber pendapatan daerah yang harus selalu diperhatikan. Jika tidak, tentu kita tak ingin menyesal kepada waktu yang menghancurkan peninggalan ini hanya karena kita lalai merawat dan memaknainya.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...