Skip to main content

Tak Dapat Ilmu Sertifikat pun Jadi

Sekelompok orang memasuki ruangan sambil bercakap-cakap. Sesekali diselingi derai tawa. Kedua tangan mereka penuh dengan berbagai tentengan. Ada map berisi beberapa helai materi, buku catatan, pena, dan jadwal kegiatan. Sedangkan tangan yang lain menenteng nasi kotak. Di leher pun tergantung kokarde merah, kuning, biru, dan hijau. Dengan kokarde itu, menunjukkan bahwa mereka sebagai peserta pelatihan yang diadakan oleh sebuah lembaga.
Sejak beberapa tahun belakangan, pelatihan kerap diadakan oleh berbagai lembaga, baik lembaga pemerintah maupun nonpemerintah. Tujuannya meningkatkan keterampilan karyawan serta mutu kerja baik secara personal maupun berkelompok. Selain itu, juga menjadi poin penting dalam menunjang kenaikan jabatan dan tentunya gaji bagi karyawan atau peserta pelatihan, salah satunya ditandai dengan pemerolehan sertifikat pelatihan.
Berbagai ajang pelatihan pun digelar. Tak jarang sebuah pelatihan memakan biaya, waktu, serta tenaga yang tidak sedikit. Penyelenggara pun kerap mendatangkan pembicara yang tidak hanya cerdas, luwes, namun juga menghibur. Hal ini menjadi poin penting, karena sifat pelatihan biasanya lebih santai, terbuka, dan harusnya tidak membosankan.
Akan tetapi, banyak pula pelatihan diadakan hanya sebagai rutinitas tahunan atau seremonial tanpa mementingkan capaian-capaian tertentu. Pelatihan diadakan hanya sebagai pelengkap dari program kerja yang telah dicanangkan setahun lalu atau menghabiskan anggaran dana yang masih tersisa. Walaupun demikian, tetap saja pelatihan-pelatihan seperti ini ramai dikunjungi peserta. Tentu saja tujuannya tidak lagi menimba ilmu dan keterampilan, namun hanya untuk melengkapi koleksi sertifikat.
Motivasi penyelenggara dan peserta pelatihan yang telah bergeser ke arah lain, menjadikan pelatihan hanya sebagai kerja sia-sia. Ketika pelatihan usai, semua materi dan keterampilan yang diberikan pemateri tak jarang hanya tertinggal di dalam map. Hari-hari yang dihabiskan selama mengikuti pelatihan terbuang begitu saja. Hasil-hasil pelatihan pun hanya memenuhi memori kepala dan tak teraktualisasi dengan jelas. Kondisi ironi yang memiriskan hati.
Fenomena ini menggambarkan betapa sikap praktis (pragmatis) dan langsung (instan) masyarakat terhadap apa-apa yang diinginkan semakin kental. Sikap orang-orang yang menginginkan sesuatu dengan jalan pintas dan tak mengikuti proses serta tahap-tahap kegiatan (prosedur) tertentu. Padahal yang melakukan berasal dari kalangan terdidik dan tak jarang pula menjadi pedoman di masyarakat.
Sikap ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada acara-acara pelatihan. Tetapi juga merebak ke bidang lain yang lebih besar, seperti pendidikan, bidang usaha, kepolisian, departemen, atau bahkan kementerian negara. Sikap jalan pintas ini pun ikut mewarnai kehidupan berbangsa. Bahkan dalam beberapa keadaan, jalan pintas sudah dianggap biasa dan sah. Padahal sikap ini berbahaya dan merugikan tidak hanya diri sendiri tetapi juga orang lain.
Muara dari jalan pintas cenderung ke arah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tiga sikap inilah yang memporak-porandakan Tanah Air hingga saat ini. Dengan jalan pintas seseorang dengan mudah, percaya diri, dan tanpa rasa bersalah melanggar aturan serta mengabaikan kewajiban dan hak-hak orang lain.
Jika diperhatikan lebih seksama dalam sebuah pelatihan, jangan heran beberapa peserta berbisik kepada panitia, “Saya tak bisa hadir, si kecil sakit. Tapi besok saya akan jemput sertifikatnya, bisa kan?”. Panitia yang dibisiki mengangguk. Semua beres.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...