Setelah sepertiga abad pengabdian, tiba saatnya bagiku menyingkir dari semua tetek bengek berbau penelitian, seminar sana sini atau membuat jurnal. Kegundahanku terhadap perangai mahasiswa di tempat selama ini mengajar, tak lagi menyerang. Tiga bulan lalu, pasangan hidup teramat aku cintai tak lagi menemani hari-hariku. Istriku, dalam keadaan sehat-sehat saja, tiba-tiba tersedak dan meninggalkan kehidupan fana ini.
Waktu itu, adalah masa-masa tersulit bagiku. Usiaku yang merangkak senja, membuatku lebih cepat lelah dari sebelumnya. Pemikiranku katanya selalu kontroversi di kampus, tak kupungkiri dan aku semakin membutuhkan seseorang yang mampu memahamiku luar dalam. Keberadaan istriku, selalu menghangatkan pemikiran-pemikiranku. Kesediaan istriku terkasih, selalu melapangkan semua kesesakan yang mendera. Istriku tempat bertanya sekaligus pasangan luar biasa yang pernah aku miliki. Namun kini berbeda.
Sejak itu, separuh dari roh kehidupanku lamat-lamat menguap dan hilang. Pagi-pagi buta, seperti kebiasaan kami dulu, aku bersama istri menghabiskan subuh menonton berita, berbincang tentang cucu nan lincah dan lucu, serta keluhan pekerjaan di kampus sambil menyeruput teh bercampur ampas buatannya. Subuh ini, dengan sisa-sisa tenaga, kucoba tuangkan air panas dari termos ke dalam mok yang biasa kupakai. Tertatih-tatih tubuh renta ini menggapai remot tivi di atas lemari. Memilih chanel, menyimak seadanya, menikmati teh, namun tak ada bincang-bincang karena ini bukan pada rumah dahulu.
Waktu-waktu seperti ini, anak, menantu, dan tiga cucu kecil-kecil yang menemani, tepatnya aku menemani mereka, masih terlelap. Kesibukan anakku sebagai wartawan, menyita hampir seluruh waktu dalam sehari. Jarang terjadi perbincangan hangat dan panjang. Sekalipun itu di saat-saat makan. Sebagai kuli tinta, anakku acap kali tidak pulang, toh kalau pun pulang sudah larut malam. Keadaan ini, sengaja atau tidak, memberi jarak tersendiri bagiku. Mungkin anakku tidak merasa, namun bagiku adalah sebuah cambuk di hari tua. Aku masih ingin mendengar cerita-ceritanya seperti dulu.
Tak ada pilihan waktu itu. Aku harus sedia dibopong ke tanah Jawa, tempat kediaman anak sulungku. Surat pensiun memang telah kuterima sejak dua tahun lalu. Namun, aku memilih tetap aktif di kampus. Bergumul dengan dunia akademik memang tak pernah membuatku bosan atau kalah. Keadaan ini berubah ketika istriku menghadap Sang Khalik. Kali ini aku benar-benar pensiun. Aku memilih haluan lain. Tak lagi tertarik dengan dunia ilmiah, diskusi isu terbaru, atau pun mengkritisi kebijakan pemerintah yang acap kulayangkan dalam sepucuk surat, waktu dulu. Aku hanya di rumah. Dan tak mencoba menghubungi kolegaku di pulau ini. Aku begitu tertarik pada koran dan tivi.
Sesekali aku berjalan-jalan sore di sekitar kompleks perumahan ditemani cucuku. Dengan kaos oblong putih dan celana hitam panjang, kuberharap kalau-kalau ada lelaki seusiaku yang hobi memelihara burung atau bersenang-senang dengan koleksi batu akik, yang dulu pernah aku geluti. Setidaknya hal tersebut dapat menyejukkan pikiranku sejenak setelah jenuh dengan tontonan yang sama. Tapi kadang-kadang aku juga mengenakan peci dan kain sarung. Bagaimana pun aku tetap berusaha menikmati kehidupan baruku. Sekalipun aku dipaksa berpikir ulang dengan sikapku ini.
Bagaimana bisa seorang profesor yang dikenal cerdas dan tangkas, tiba-tiba seperti kehilangan akal pikiran? Berbuat seperti orang yang tidak memiliki pedoman hidup. Padahal secara fisik dan mental, aku masih mampu berpikir dan bepergian ke tempat jauh. Pergi ke tempat dimana aku bisa menyalurkan semua keinginan dan kebutuhan yang selama ini aku minati. Hanya karena ditinggal mati istri, semua sendi-sendi kehidupanku lumpuh. Alahkah mengibakan nasib sang guru besar. Pikiran-pikiran ini kerap meracau dalam rongga benakku. Tapi dengan cepat kuhalau.
Enam bulan berlalu. Rutinitasku itu-itu saja. Hari-hari hanya dihabiskan di sekitar pekarangan rumah. Jika selama pengabdian, aku sering ke luar, bersua rekan-rekan kerja, dan bercengkerama tentang apa saja, namun saat ini semua membatu. Aku pun tak menyangka kehidupanku akan sebeku ini. Sebagai orang terbiasa sibuk, aku merasa ada sesuatu yang hilang serta berubah dari dalam diriku.
Aku sungguh-sungguh mulai bosan. Kesepian mendera. Acap kali aku panik dan hilang kontrol. Malam-malam dihabiskan kalau tidak menonton hingga dini hari atau hanya merenung. Tidurku pun tidak selelap dulu. Setiap mata akan terpejam, berbagai wajah dan suasana datang bergelayut. Kegelisahan pun bersarang hingga subuh. Ada saja yang menggelisahkanku. Ada saja yang menyita waktu lelapku. Atau kadang aku harus bolak-balik kamar tidur dan kamar mandi. Tiba-tiba aku merasakan betapa sengsara atau naifnya kehidupanku beberapa waktu ini.
Kenangan dengan mendiang istri selalu mengunjungiku. Mengingat-ingat berbagai kegiatan yang kulakukan bersama istri selama menjabat semakin kuat. Derai tawa dan teriakan mahasiswa-mahasiswaku pun ikut serta mengiang-ngiang memenuhi selaput kepalaku. Bayangan-bayangan diskusi alot tak ketinggalan melayang-layang di pelupuk mata. Semua menyatu. Kerinduan itu terulang kembali. Kerinduan yang mencabik luka lama. Jantungku berdetak cepat, perih di hulu hati, dan baru kusadari mataku acap kali basah beberapa waktu ini. Ah aku kekanak-kanakan sekali.
Tak terelakkan, kondisi ini menyebabkan tekanan darah dan kadar gula darahku pun meningkat. Pagi-pagi sekali, suara benda keras membentur pintu, bertubrukan dengan lemari dan seketika jatuh ke lantai membangunkan anak dan menantu. Itu aku. Aku tak kuasa membuka mata. Badanku berkeringat dan mengernyit menahan sakit. Raut tua nan lemah tentu begitu kentara dari mimikku. Denyut jantungku pun memburu. Dadaku sesak. Kucengkeram agar tak menjalar kemana-mana, dan tangan kiriku mengais-ngais sesuatu untuk berpegangan. Sebagian pakaian lusuhku basah dan amis. Ah kali ini sang profesor benar-benar kalah.
Seminggu sudah aku dirawat di rumah pesakitan. Untuk menurunkan hipertensiku dibutuhkan pola makan dengan gizi, vitamin, kadar gula, karbohidrat, serta protein yang selalu terjaga dengan baik. Begitu juga untuk mengembalikan kadar gula darah kepada keadaan normal. Semua itu dikerjakan dengan apik dan telaten oleh perawat. Jangan sampai ada kekurangan atau kelebihan. Kalau tidak aku akan semakin payah.
Perawatan ini tak bisa dilakukan oleh menantuku. Aku tahu menantuku tak bisa terus menerus menyiapkan makanan lengkap untuk diriku ini. Tiga buah hatinya menuntut menantuku lebih banyak di rumah dan mengemong bocah-bocah itu. Hanya tiga atau empat kali dalam seminggu, kalau tidak salah, menantuku membesuk dan membawakan makanan serta beberapa potong pakaian buatku. Selebihnya waktuku diisi bersama para perawat.
Sementara anakku yang wartawan itu, aku pun jauh lebih paham. Sebagai pekerja lapangan dan tonggak utama suatu media, sulit sekali bagi anakku mendapatkan libur atau cuti atau curi-curi waktu untuk membesukku. Untuk menggambarkan betapa kesibukan anakku menyita semua waktu, tak perlu kuperjelas sekali. Di mataku anakku itu seperti mesin. Itu saja. Namun, pagi ini perawat jagaku bercerita kalau semalam anakku datang berkunjung. Tak lama. Apalagi melihatku telah terlelap. Kata perawat itu, anakku hanya menanyakan kondisiku dan kapan aku bisa dibawa pulang. Kemudian anakku pergi setelah berpamitan.
Di tepi kolam yang kukira cukup dalam ini, kembali aku mengingat-ingat hal itu. Enggan rasanya aku kembali ke rumah. Memberatkan kehidupan anakku dan menantu. Acap kali pikiran ini melintas dalam benakku. Sejujurnya, dalam keluarga besarku, tak ada seorang ayah menumpang di rumah anak lelaki. Janggal dan tidak sesuai budaya kami. Ada juga di rumah anak perempuan, jika tidak di rumah keponakan. Sistem ini hidup dan kental dalam darah kami. Terakhir, timbul penyesalan kenapa aku mengiyakan ajakan menantuku tempo hari.
Apalagi menimbang kondisiku sekarang. Semua keperluanku, mandi, makan, istirahat dibantu perawat. Kemana-mana aku didorong bersama kursi roda. Untung saja perawatku di sini tidak mudah cemberut. Ya, karena memang itu sudah menjadi tanggung jawab mereka dalam bekerja. Selain berbaring, aku juga sering keluar kamar dan berjemur di taman gedung besar ini. Satu-satunya yang dapat kulakukan, memandang sekeliling dan meremas-remas tanganku yang selalu basah. Semakin mengiris bukan?
Sejauh ini anakku maupun menantuku belum menampakkan tindak tanduk kekesalan atau jemu denganku. Bagiku merawat seorang pensiunan guru besar yang sekarat sepertiku bukanlah hal mudah. Di tengah hiruk pikuk dan sibuknya kota beserta isinya, mana ada seorang jongos rela bekerja menjadi perawat kekek tua sepertiku. Masih banyak pilihan pekerjaan lain di luar sana. Aku gamang jika aku dikembalikan pada anak dan menantuku.
Seandainya aku tidak mengiyakan ajakan menantuku waktu memperingati seratus hari kepergian istriku, aku takkan semeranggas ini. Bayangan kampung halaman selalu melintas. Sebagai orang disegani, sekaligus penghulu, hakikatnya aku tak pantas bertingkah seperti ini. Kupahami, waktu-waktu kritis ini aku benar-benar butuh perlindungan dan perhatian khusus dari keluarga dekatku. Anak sulungku yang wartawan itu, mungkin satu-satunya. Bagaimana nanti jika tiba-tiba aku sesak napas, susah bicara, kejang, kemudian rohku melayang? Siapa yang akan menuntunku mengucapkan kalimah Allah? Atau di malam buta aku ingin bercerita dan berpesan, siapa yang akan menyimaknya? Beberapa ikan kecil-kecil tiba-tiba menyembul dari dasar kolam.
Kuredam semua gulana itu. Jangan lagi mendatangiku. Cukup sudah. Demi mengembalikan kepulihanku, biarlah aku di sini. Bersama anak lelakiku. Toh orang kampung tak melihat hidupku lagi. Mereka tahu apa tentang penyakitku. Kalaupun tahu, mana mungkin mereka datang kemari dan membantu membayar pengobatanku. Impossible.
Suara lain menyahut, entah dari mana. Tapi, aku telah mengorbankan harga diri sebagai seorang ayah, mertua, penghulu, dan orang cerdik yang paham adat serta budaya kami. Kenapa aku harus melanggar itu. Hanya demi tak tahan hidup tanpa istri, aku lebih memilih menumpang hidup dengan anak lelakiku jauh di seberang. Kemudian membiarkan saja anak gadisku di kampung, hanya karena ia ditinggal mati suaminya dan enggan menikah lagi.
Yang lain berbisik. Ya, kenapa pula aku harus tinggal dengan anak gadis yang janda itu. Apa kata orang. Ayah dan anak perempuan tinggal serumah yang sama-sama ditinggal mati istri dan suami. Itu tidak arif. Tidak patut dan bukanlah pekerjaan seorang cerdik pandai yang selama ini jadi panutan orang-orang. Salah anak gadisku, kenapa tidak menerima pinangan dari salah satu mahasiswa magisterku dulu. Padahal aku telah susah payah mencarikan pengganti menantuku yang mati tertabrak kereta api itu.
Akan tetapi, bukankah seharusnya aku menjadi tempat berlindung, bersandar, dan tumpuan anak gadisku waktu itu, gumam suara lain. Masa aku tega menelantarkan anak gadisku dalam keadaan pahit. Bagaimana juga dengan pandangan arwah istriku. Apakah ia sakit dan sesenggukan di alam sana? Melihat putrinya ditinggal pergi oleh sang suami dalam keadaan begitu terpukul. Ah istriku, maafkan aku. Waktu itu yang terpikirkan, aku hanya ingin dekat dengan cucu-cucu kita. Makhluk-makhluk mungil yang mampu melupakan kerinduanku padamu.
Entah bagaimana, aku tak lagi merisaukan bagaimana keadaan dan keseimbangan adat di kampung kita. Tak lagi mengidahkan bagaimana pandangan orang kampung terhadap keluarga kita, kaum kita, dan anak gadis kita sekarang di sana. Mungkin di sana aku dimaki, dicaci, dan disesali. Dan tentu yang merasakannya anak gadisku itu. Oh, pasti dia lebih merasakan sakit yang dalam daripada yang aku rasakan saat ini. Seharusnya aku malu dan kembali ke kaumku. Kemudian memperbaiki keadaan. Bukan justru berlama-lama di sini.
Berkecamuk semua dalam benakku. Tak tahu lagi suara mana yang kupedomani. Sekelilingku sepi. Ini waktunya mandi bagi pasien sepertiku. Perawat yang sedari tadi memperhatikanku dari sepelemparan batu aku berjemur, kusuruh ke ruangku mengambilkan sebutir jeruk. Ingin sekali aku mengudapnya. Ikan-ikan kecil tak tampak lagi. Namun, dadaku mulai sesak dan semakin sesak. Semua berputar-putar. Halusinasi orang-orang kampung semakin menyeruak. Raut isak istriku jelas di riak kolam. Tubuhku sempoyongan dan hilang kontrol. Terjerembab ke dalam kolam. Dan semua menjadi jelas, ayahmu tak secerdik dulu.
2010 Padang 17. 20 PM
Waktu itu, adalah masa-masa tersulit bagiku. Usiaku yang merangkak senja, membuatku lebih cepat lelah dari sebelumnya. Pemikiranku katanya selalu kontroversi di kampus, tak kupungkiri dan aku semakin membutuhkan seseorang yang mampu memahamiku luar dalam. Keberadaan istriku, selalu menghangatkan pemikiran-pemikiranku. Kesediaan istriku terkasih, selalu melapangkan semua kesesakan yang mendera. Istriku tempat bertanya sekaligus pasangan luar biasa yang pernah aku miliki. Namun kini berbeda.
Sejak itu, separuh dari roh kehidupanku lamat-lamat menguap dan hilang. Pagi-pagi buta, seperti kebiasaan kami dulu, aku bersama istri menghabiskan subuh menonton berita, berbincang tentang cucu nan lincah dan lucu, serta keluhan pekerjaan di kampus sambil menyeruput teh bercampur ampas buatannya. Subuh ini, dengan sisa-sisa tenaga, kucoba tuangkan air panas dari termos ke dalam mok yang biasa kupakai. Tertatih-tatih tubuh renta ini menggapai remot tivi di atas lemari. Memilih chanel, menyimak seadanya, menikmati teh, namun tak ada bincang-bincang karena ini bukan pada rumah dahulu.
Waktu-waktu seperti ini, anak, menantu, dan tiga cucu kecil-kecil yang menemani, tepatnya aku menemani mereka, masih terlelap. Kesibukan anakku sebagai wartawan, menyita hampir seluruh waktu dalam sehari. Jarang terjadi perbincangan hangat dan panjang. Sekalipun itu di saat-saat makan. Sebagai kuli tinta, anakku acap kali tidak pulang, toh kalau pun pulang sudah larut malam. Keadaan ini, sengaja atau tidak, memberi jarak tersendiri bagiku. Mungkin anakku tidak merasa, namun bagiku adalah sebuah cambuk di hari tua. Aku masih ingin mendengar cerita-ceritanya seperti dulu.
Tak ada pilihan waktu itu. Aku harus sedia dibopong ke tanah Jawa, tempat kediaman anak sulungku. Surat pensiun memang telah kuterima sejak dua tahun lalu. Namun, aku memilih tetap aktif di kampus. Bergumul dengan dunia akademik memang tak pernah membuatku bosan atau kalah. Keadaan ini berubah ketika istriku menghadap Sang Khalik. Kali ini aku benar-benar pensiun. Aku memilih haluan lain. Tak lagi tertarik dengan dunia ilmiah, diskusi isu terbaru, atau pun mengkritisi kebijakan pemerintah yang acap kulayangkan dalam sepucuk surat, waktu dulu. Aku hanya di rumah. Dan tak mencoba menghubungi kolegaku di pulau ini. Aku begitu tertarik pada koran dan tivi.
Sesekali aku berjalan-jalan sore di sekitar kompleks perumahan ditemani cucuku. Dengan kaos oblong putih dan celana hitam panjang, kuberharap kalau-kalau ada lelaki seusiaku yang hobi memelihara burung atau bersenang-senang dengan koleksi batu akik, yang dulu pernah aku geluti. Setidaknya hal tersebut dapat menyejukkan pikiranku sejenak setelah jenuh dengan tontonan yang sama. Tapi kadang-kadang aku juga mengenakan peci dan kain sarung. Bagaimana pun aku tetap berusaha menikmati kehidupan baruku. Sekalipun aku dipaksa berpikir ulang dengan sikapku ini.
Bagaimana bisa seorang profesor yang dikenal cerdas dan tangkas, tiba-tiba seperti kehilangan akal pikiran? Berbuat seperti orang yang tidak memiliki pedoman hidup. Padahal secara fisik dan mental, aku masih mampu berpikir dan bepergian ke tempat jauh. Pergi ke tempat dimana aku bisa menyalurkan semua keinginan dan kebutuhan yang selama ini aku minati. Hanya karena ditinggal mati istri, semua sendi-sendi kehidupanku lumpuh. Alahkah mengibakan nasib sang guru besar. Pikiran-pikiran ini kerap meracau dalam rongga benakku. Tapi dengan cepat kuhalau.
Enam bulan berlalu. Rutinitasku itu-itu saja. Hari-hari hanya dihabiskan di sekitar pekarangan rumah. Jika selama pengabdian, aku sering ke luar, bersua rekan-rekan kerja, dan bercengkerama tentang apa saja, namun saat ini semua membatu. Aku pun tak menyangka kehidupanku akan sebeku ini. Sebagai orang terbiasa sibuk, aku merasa ada sesuatu yang hilang serta berubah dari dalam diriku.
Aku sungguh-sungguh mulai bosan. Kesepian mendera. Acap kali aku panik dan hilang kontrol. Malam-malam dihabiskan kalau tidak menonton hingga dini hari atau hanya merenung. Tidurku pun tidak selelap dulu. Setiap mata akan terpejam, berbagai wajah dan suasana datang bergelayut. Kegelisahan pun bersarang hingga subuh. Ada saja yang menggelisahkanku. Ada saja yang menyita waktu lelapku. Atau kadang aku harus bolak-balik kamar tidur dan kamar mandi. Tiba-tiba aku merasakan betapa sengsara atau naifnya kehidupanku beberapa waktu ini.
Kenangan dengan mendiang istri selalu mengunjungiku. Mengingat-ingat berbagai kegiatan yang kulakukan bersama istri selama menjabat semakin kuat. Derai tawa dan teriakan mahasiswa-mahasiswaku pun ikut serta mengiang-ngiang memenuhi selaput kepalaku. Bayangan-bayangan diskusi alot tak ketinggalan melayang-layang di pelupuk mata. Semua menyatu. Kerinduan itu terulang kembali. Kerinduan yang mencabik luka lama. Jantungku berdetak cepat, perih di hulu hati, dan baru kusadari mataku acap kali basah beberapa waktu ini. Ah aku kekanak-kanakan sekali.
Tak terelakkan, kondisi ini menyebabkan tekanan darah dan kadar gula darahku pun meningkat. Pagi-pagi sekali, suara benda keras membentur pintu, bertubrukan dengan lemari dan seketika jatuh ke lantai membangunkan anak dan menantu. Itu aku. Aku tak kuasa membuka mata. Badanku berkeringat dan mengernyit menahan sakit. Raut tua nan lemah tentu begitu kentara dari mimikku. Denyut jantungku pun memburu. Dadaku sesak. Kucengkeram agar tak menjalar kemana-mana, dan tangan kiriku mengais-ngais sesuatu untuk berpegangan. Sebagian pakaian lusuhku basah dan amis. Ah kali ini sang profesor benar-benar kalah.
Seminggu sudah aku dirawat di rumah pesakitan. Untuk menurunkan hipertensiku dibutuhkan pola makan dengan gizi, vitamin, kadar gula, karbohidrat, serta protein yang selalu terjaga dengan baik. Begitu juga untuk mengembalikan kadar gula darah kepada keadaan normal. Semua itu dikerjakan dengan apik dan telaten oleh perawat. Jangan sampai ada kekurangan atau kelebihan. Kalau tidak aku akan semakin payah.
Perawatan ini tak bisa dilakukan oleh menantuku. Aku tahu menantuku tak bisa terus menerus menyiapkan makanan lengkap untuk diriku ini. Tiga buah hatinya menuntut menantuku lebih banyak di rumah dan mengemong bocah-bocah itu. Hanya tiga atau empat kali dalam seminggu, kalau tidak salah, menantuku membesuk dan membawakan makanan serta beberapa potong pakaian buatku. Selebihnya waktuku diisi bersama para perawat.
Sementara anakku yang wartawan itu, aku pun jauh lebih paham. Sebagai pekerja lapangan dan tonggak utama suatu media, sulit sekali bagi anakku mendapatkan libur atau cuti atau curi-curi waktu untuk membesukku. Untuk menggambarkan betapa kesibukan anakku menyita semua waktu, tak perlu kuperjelas sekali. Di mataku anakku itu seperti mesin. Itu saja. Namun, pagi ini perawat jagaku bercerita kalau semalam anakku datang berkunjung. Tak lama. Apalagi melihatku telah terlelap. Kata perawat itu, anakku hanya menanyakan kondisiku dan kapan aku bisa dibawa pulang. Kemudian anakku pergi setelah berpamitan.
Di tepi kolam yang kukira cukup dalam ini, kembali aku mengingat-ingat hal itu. Enggan rasanya aku kembali ke rumah. Memberatkan kehidupan anakku dan menantu. Acap kali pikiran ini melintas dalam benakku. Sejujurnya, dalam keluarga besarku, tak ada seorang ayah menumpang di rumah anak lelaki. Janggal dan tidak sesuai budaya kami. Ada juga di rumah anak perempuan, jika tidak di rumah keponakan. Sistem ini hidup dan kental dalam darah kami. Terakhir, timbul penyesalan kenapa aku mengiyakan ajakan menantuku tempo hari.
Apalagi menimbang kondisiku sekarang. Semua keperluanku, mandi, makan, istirahat dibantu perawat. Kemana-mana aku didorong bersama kursi roda. Untung saja perawatku di sini tidak mudah cemberut. Ya, karena memang itu sudah menjadi tanggung jawab mereka dalam bekerja. Selain berbaring, aku juga sering keluar kamar dan berjemur di taman gedung besar ini. Satu-satunya yang dapat kulakukan, memandang sekeliling dan meremas-remas tanganku yang selalu basah. Semakin mengiris bukan?
Sejauh ini anakku maupun menantuku belum menampakkan tindak tanduk kekesalan atau jemu denganku. Bagiku merawat seorang pensiunan guru besar yang sekarat sepertiku bukanlah hal mudah. Di tengah hiruk pikuk dan sibuknya kota beserta isinya, mana ada seorang jongos rela bekerja menjadi perawat kekek tua sepertiku. Masih banyak pilihan pekerjaan lain di luar sana. Aku gamang jika aku dikembalikan pada anak dan menantuku.
Seandainya aku tidak mengiyakan ajakan menantuku waktu memperingati seratus hari kepergian istriku, aku takkan semeranggas ini. Bayangan kampung halaman selalu melintas. Sebagai orang disegani, sekaligus penghulu, hakikatnya aku tak pantas bertingkah seperti ini. Kupahami, waktu-waktu kritis ini aku benar-benar butuh perlindungan dan perhatian khusus dari keluarga dekatku. Anak sulungku yang wartawan itu, mungkin satu-satunya. Bagaimana nanti jika tiba-tiba aku sesak napas, susah bicara, kejang, kemudian rohku melayang? Siapa yang akan menuntunku mengucapkan kalimah Allah? Atau di malam buta aku ingin bercerita dan berpesan, siapa yang akan menyimaknya? Beberapa ikan kecil-kecil tiba-tiba menyembul dari dasar kolam.
Kuredam semua gulana itu. Jangan lagi mendatangiku. Cukup sudah. Demi mengembalikan kepulihanku, biarlah aku di sini. Bersama anak lelakiku. Toh orang kampung tak melihat hidupku lagi. Mereka tahu apa tentang penyakitku. Kalaupun tahu, mana mungkin mereka datang kemari dan membantu membayar pengobatanku. Impossible.
Suara lain menyahut, entah dari mana. Tapi, aku telah mengorbankan harga diri sebagai seorang ayah, mertua, penghulu, dan orang cerdik yang paham adat serta budaya kami. Kenapa aku harus melanggar itu. Hanya demi tak tahan hidup tanpa istri, aku lebih memilih menumpang hidup dengan anak lelakiku jauh di seberang. Kemudian membiarkan saja anak gadisku di kampung, hanya karena ia ditinggal mati suaminya dan enggan menikah lagi.
Yang lain berbisik. Ya, kenapa pula aku harus tinggal dengan anak gadis yang janda itu. Apa kata orang. Ayah dan anak perempuan tinggal serumah yang sama-sama ditinggal mati istri dan suami. Itu tidak arif. Tidak patut dan bukanlah pekerjaan seorang cerdik pandai yang selama ini jadi panutan orang-orang. Salah anak gadisku, kenapa tidak menerima pinangan dari salah satu mahasiswa magisterku dulu. Padahal aku telah susah payah mencarikan pengganti menantuku yang mati tertabrak kereta api itu.
Akan tetapi, bukankah seharusnya aku menjadi tempat berlindung, bersandar, dan tumpuan anak gadisku waktu itu, gumam suara lain. Masa aku tega menelantarkan anak gadisku dalam keadaan pahit. Bagaimana juga dengan pandangan arwah istriku. Apakah ia sakit dan sesenggukan di alam sana? Melihat putrinya ditinggal pergi oleh sang suami dalam keadaan begitu terpukul. Ah istriku, maafkan aku. Waktu itu yang terpikirkan, aku hanya ingin dekat dengan cucu-cucu kita. Makhluk-makhluk mungil yang mampu melupakan kerinduanku padamu.
Entah bagaimana, aku tak lagi merisaukan bagaimana keadaan dan keseimbangan adat di kampung kita. Tak lagi mengidahkan bagaimana pandangan orang kampung terhadap keluarga kita, kaum kita, dan anak gadis kita sekarang di sana. Mungkin di sana aku dimaki, dicaci, dan disesali. Dan tentu yang merasakannya anak gadisku itu. Oh, pasti dia lebih merasakan sakit yang dalam daripada yang aku rasakan saat ini. Seharusnya aku malu dan kembali ke kaumku. Kemudian memperbaiki keadaan. Bukan justru berlama-lama di sini.
Berkecamuk semua dalam benakku. Tak tahu lagi suara mana yang kupedomani. Sekelilingku sepi. Ini waktunya mandi bagi pasien sepertiku. Perawat yang sedari tadi memperhatikanku dari sepelemparan batu aku berjemur, kusuruh ke ruangku mengambilkan sebutir jeruk. Ingin sekali aku mengudapnya. Ikan-ikan kecil tak tampak lagi. Namun, dadaku mulai sesak dan semakin sesak. Semua berputar-putar. Halusinasi orang-orang kampung semakin menyeruak. Raut isak istriku jelas di riak kolam. Tubuhku sempoyongan dan hilang kontrol. Terjerembab ke dalam kolam. Dan semua menjadi jelas, ayahmu tak secerdik dulu.
2010 Padang 17. 20 PM
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^