Skip to main content

Sisir

Pagi-pagi buta, aku sudah heboh kepada kakak perempuanku yang masih meringkuk dengan selimutnya di ranjang. Kubongkar rak yang berisi segala pernak-pernik perhiasaan yang biasa kami gunakan kemana-mana. Lemari pakaian semakin berantakan setelah kuobrak-abrik. Rak-rak buku pun tak ketinggalan kujamah. Mana tahu terselip di antara buku-buku. Aku berputar-putar mencari ke sana kemari. Namun, sisir sial itu tak kunjung kutemukan.
Hari ini aku akan ada pertemuan dengan orang-orang penting dari Jakarta. Pertemuan ini menyangkut masa depan beberapa orang di tempatku, termasuk aku. Banyak hal yang akan dibicarakan, masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang. Semuanya harus tampak lebih baik dan sempurna dari segi apa pun. Termasuk kerapian rambut, yang kata orang sebagai mahkota perempuan.
Nah, bagaimana dengan aku yang pagi ini tak juga menemukan sisir? Bagaimana mungkin aku keluar rumah dengan rambut acak-acakan seperti kucing habis bertengkar. Apa kata orang-orang itu kelak. Wajah pas-pasan, rambut panjang namun tak seperti mayang terurai, tetapi seperti mayang disapa angin puting beliung. Berantakan, tercecer kemana-mana, kusut, gatal, dan sangat membosankan. Duh emak, kali ini aku benar-benar pusing membayangkannya.
Seandainya sisir telah di tanganku, tentu aku takkan sepanik ini. Segera kusisir rambutku dari atas hingga ke bawah. Berulang-ulang itu kulakukan, agar rambutku semakin rapi dan mudah ditata. Tak ketinggalan kuusapkan pelembut rambut, gunanya selain mengharumkan rambut juga membuat rambut tak mudah patah. Terakhir aku akan menjepitkan sebuah jepitan rambut merah muda di sebelah kanan. Jepitan ini akan membantu penglihatanku agar lebih jelas karena tak lagi terhalangi poniku yang mulai memanjang. Tentu penampilanku akan semakin menarik dan menawan, bukan?
Akan tetapi sisir tak juga menampakkan diri. Waktu terus berjalan. Kakakku pun tak menghiraukan kecemasanku. Seharusnya ia bangun dan coba membantuku menemukan sisir itu. Jika tidak, sekurang-kurangnya ia menghiburku dan memberikan usul dari tempat tidur, bagaimana kalau dipinjam dulu sisir tetangga. Sisir tetangga? Hatiku berkata, mana ada tetangga sudi membukakan pintu pagi-pagi buta ini hanya untuk meminjamkan sisir. Lain halnya jika aku memberikan dua mangkuk bubur ayam hangat untuk sarapan mereka. Ini traktiran ulang tahun. Ah omong kosong.
Lalu seharusnya apa yang aku lakukan? Menyisir rambut dengan sepuluh jari tangan, bak artis-artis ketika bernyanyi di televisi itu. Bisa saja. Namun, rambut mereka telah disisir terlebih dahulu, sedangkan rambutku masih awut-awutan. Rambut mereka jauh lebih lembut, harum, dan kuat. Perawatan yang mereka lakukan lebih sempurna. Mereka tentu lebih kerap ke salon dengan perlengkapan terlengkap daripada aku yang ke salon murahan hanya pada tanggal muda. Sepuluh jari tangan ini takkan menjinakkan rambutku yang bebal, bisik hatiku.
Aku kehabisan tenaga mencari sisir dan merenungkan semua kemungkinan-kemungkinan tadi. Kakakku ternyata tak kunjung bangun. Ia masih asyik dengan mimpi-mimpi subuhnya. Jam beker telah menunjukkan pukul enam pagi. Aku tak ingin terlambat. Kusisir rambutku dengan jari-jari tangan seadanya. Kuangkat, kurapikan, dan kuikat rambutku dengan karet warna-warni. Cermin pun memantulkan wajahku dengan senyum dipaksakan. Tak apalah. Kali ini rambutku memang mirip mayang terburai-burai.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...