Kami memulai perjalanan dengan memasuki perkebunan pohon sawit milik sebuah perusahaan ternama di Riau. Kawasannya jauh ke dalam. Sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Kandis. Sepanjang mata memandang, yang ada hanyalah pepohonan penghasil minyak goreng ini. Nyaris tak ada perumahan.
Sepintas, pemandangan ini menakutkan. Apalagi ditambah dengan suhu udara yang mulai menurun, ketika kita telah memasuki wilayah perkebunan. Teduh di sekeliling dan sunyi. Sesekali kesunyian dipecahkan dengan deru kendaraan; mobil, dan motor, para buruh maupun lainnya yang, tidak selalu, lalu lalang di jalanan.
Setengah jam di atas mobil yang membawa kami ke tempat ini, perjalanannya pun terasa berbeda. Jalannya tidak beraspal dan tidak pula jalan berbatu. Namun jalan dengan pasir putih, yang mungkin hanya akan anda temui di tempat ini. Berkelok-kelok dan menanjak, naik turun dengan ketinggian yang mampu membuat mual.
Walau begitu, suasana yang cukup mencekam tadi, seketika mencair dengan pemandangan bangunan tingkat satu yang cukup menarik di tengah perkebunan sawit. Berwarna-warni dan tak lagi sepi. Teriakan kanak-kanak sayup-sayup singgah di pendengaran. Orang-orang dengan suara rendah dan kencang pun semakin jelas. “Ini dia SP3,” kata pak sopir sambil mengerem mobil, Selasa (2 Maret 2010). Sedikit terhuyung badanku ke depan.
Turun dan langsung disambut oleh pegawai pemerintahan setempat, desa Beringin Lestari. Menyilahkan kami duduk, menawarkan minuman air putih kemasan, dan berbincang-bincang tentang desa transmigrasi ini. Pak Kades, Tugiman, dan jajarannya panjang lebar menjelaskan dan merunutkan hal-hal yang berkaitan dengan penduduk, sarana dan prasarana, mata pencaharian, dan keterkaitannya dengan perusahaan. Cerita ini memakan waktu sekitar dua jam. Dan aku mulai bosan.
Aku lebih tertarik dengan teriakan dan sorak-sorai yang cukup heroik dari sekumpulan ibu-ibu, sekitar seratus meter dari tempatku berdiri. Dan tak segan langkah ini membawaku ke sana.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^