Skip to main content

Perempuan-perempuan di Tanah Transmigran

Suasana Desa Beringin Lestari


“Udahlah, giliranku yang main. Aku kan diset kedua”. Demikian kalimat yang keluar dari mulut Desmawati, setelah sekian set menunggu giliran menunjukkan kemampuan dalam bermain voli. Olahraga ini setiap sore, kalau tak hujan, selalu diadakan di lapangan pusat desa Beringin Lestari. Desa yang dibangun di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit milik perusahaan ternama. Beringin Lestari salah satu desa dari sekian banyak desa transmigrasi di kecamatan Tapung Hilir, kabupaten Kampar, Riau.
Sorak-sorai ibu-ibu pemain voli pun semakin riuh. Apalagi jika ada pemain yang siap-siap melakukan smash, meruntuhkan pertahanan lawan. Dan berhasil, kedudukan pun dengan cepat berubah. Macam-macam kalimat terlontar dari mulut mereka, ada yang kesal dan ada juga yang tertawa cekikikan. Sedangkan sang kapten langsung memasang trik, bagaimana agar pertahanan tidak kebobolan lagi.
Yang namanya main ibu-ibu, tentu lebih banyak berisiknya. Karena sembari bermain, mereka juga sedang menginang si bocah yang berkeliaran di sekitar lapangan. Sesekali si bocah diteriaki, agar tak main jauh-jauh.
Cerita Desmawati, ada ratusan ibu-ibu di desa tersebut. Mereka ibu rumah tangga dari berbagai daerah yang mengikuti suami bertugas. Bergabung dan berinteraksi dengan sesama mereka, kemudian menjadi akrab dan solid.
Sepanjang hari dengan rutinitas yang tidak jauh berbeda, ibu-ibu ini mengurus anak, suami, dan memasak, tentu jenuh. Dengan bermain voli disore hari, setidaknya kejenuhan ini sedikit berkurang. “Dari pada bengong di rumah, mendingan main voli,” ucap Rohimah menimpali, Selasa (2 Maret 2010) lalu.
Bermain voli adalah salah satu kegiatan sekaligus hiburan bagi ibu-ibu PKK ini. Selain itu, setiap Kamis atau Jumat sore mereka juga melakukan tahlilan di masjid atau di rumah-rumah warga.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...