Langit tampak mendung. Sepertinya perkampungan ini baru saja diguyur hujan semalaman. Jalan-jalan tanah tak beraspal semakin lunak dipijak. Tak sedikit tanah-tanah itu singgah di terompahku dan langkah pun semakin berat.
Sepelemparan batu dari tempatku berdiri, tampak dua perempuan, duduk bertingkat, sepertinya sedang mencari kutu. Mereka juga sedang bercakap-cakap sesuatu. Terlihat dari komat-kamit mulut mereka yang tak henti. Sesekali dialog-dialog itu diselingi tawa, senyum, dan nada bicara yang meninggi.
Dia Sumi, dan anaknya Ida yang baru saja menikah, “Sekitar tiga bulan lalu,” jawab Sumi, Rabu (3 Maret 2010). Sumi, ibu rumah tangga yang kesehariannya berjualan di sekolah dasar desa Beringin Lestari, kecamatan Tapung Hilir, kabupaten Kampar, Riau. “Saya jual nasi goreng di sana, sebungkus Rp 500 perak,” cerita ibu tujuh anak ini.
Kulitnya sawo matang, hidung rendah, ukuran mata sedang, dan rahang yang sedikit menonjol ke depan. Sangat khas dengan ras Malanesia. Dan kalimat-kalimat yang terlontar dari bibir Sumi, mencirikan kalau ia wanita yang sangat Jawa, tentu dengan medhoknya. Ditemani sang suami, Kusnan, telah 16 tahun ia tinggal di desa tersebut.
Sumi, nasibnya, tidak jauh berbeda dengan Ros Hartati, tetangganya. Mereka sama-sama kena tipu oleh orang-orang yang mengajak mereka pindah dari SP 1 ke SP 3 ini. Dengan membayar uang Rp 2,6 juta, mereka diiming-imingi akan memperoleh satu tempat perumahan dan lahan sawit dua ha. Nyatanya mereka hanya memperoleh tempat untuk bernaung, lahan rumah berkisar 15m x 15m per kepala keluarga (KK). “Khaplingnya (dua ha lahan-red) ngak ‘ada (kaplingnya nggak ada),” ucap Ros dengan terbata-bata.
Hingga saat ini, mereka tak dapat berbuat banyak. Walau Kusnan, telah sepuluh tahun menjadi ketua Rukun Tetangga (RT) di desa tersebut. “Yah, enggak bisa ngapa-ngapain, kalau masalah lahan, saya nggak masuk hitungan deh,” katanya sambil menerawang ke perkebunan sawit di samping rumahnya.
Agar dapur selalu berasap, dua keluarga ini menyandarkan pendapatan dengan menjadi buruh sawit di perkebunan. Saban hari mereka harus pintar-pintar mencari pekerjaan kepada pemilik lahan. Untung-untung kalau ada yang mempercayai mereka untuk merawat lahan sawit tersebut. “Ada yang memanen, memupuk, menyemprot, dan lainnya.” Kata Kusnan. Asal kerja dan dapat duit.
Mereka yang tidak memiliki lahan atau kapling ini, biasanya akan lebih banyak dikucilkan warga setempat yang memiliki lahan. Pasalnya, tentu faktor ekonomi. Mereka bukanlah orang-orang yang terdaftar di Koperasi Unit Desa (KUD) setempat. “Khami ‘tak bhisa phinjam ‘duit di sana (kami tak bisa pinjam duit di sana),” ucap Ros lagi. Kalau ingin pinjam duit, tambah Kusnan, harus meminjam nama warga yang memiliki kapling. “Baru orang KUD bisa ngasih dan percaya akan dibayar kembali” ujarnya.
Selain itu, ibu-ibu ini juga amat jarang mengikuti kegiatan yang sering diadakan oleh ibu-ibu Pendidikan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) setempat. “Bagaimana mau ngikut, setiap kegiatan mungut duit terus. Arisan, beli baju senam, dan lainnya. Mana kuat?” kata Sumi sambil meremas-remas tangannya. Sekali jualan, sambung Sumi, cuma dapat Rp 30 ribu, arisan Rp 20 ribu per bulan, bingung mau ambil duit dimana.
Sedangkan Ros, dengan keadaannya yang susah mengucapkan kata-kata, merasa tidak selevel dengan ibu-ibu yang memiliki kapling. “Akhu ngak mau ngikhut, ngak phunya khapling juga (aku nggak mau ngikut, nggak punya kapling juga),” ucapnya dengan linangan air mata. Saban hari ia hanya di rumah, mengurus anak dan suami.
Sumi dan Ros, terkadang juga merasa minder dengan keadaan mereka. Setiap awal bulan, tetangga yang memiliki kapling gajian sekian puluh juta. Sedangkan mereka hanya mengharap gaji buruh sang suami, yang tak pasti. Rasa inilah yang membuat meraka enggan berkumpul dengan lainnya yang memiliki kapling. Kusnan sendiri, ketua RT 05 dengan 87 KK yang semuanya tidak memiliki kapling, hanya digaji Rp 150 ribu per bulan. “Untuk makan aja Rp 500 ribu per bulan, banyak kurangnya dari lebih,” ucap Sumi sambil tertawa.
Dan jangan heran jika banyak anak-anak yang orang tuanya tidak memiliki kapling, sering secara diam-diam mengambil dan memungut biji-biji sawit di perkebunan. Mereka tak punya duit, tapi mereka harus makan. “Tapi hasilnya nggak banyak kok,” kata Kusnan ringan.
Walau begitu, mereka selalu berusaha memperjuangkan hak mereka kepada perusahaan dan pemerintah setempat. Belum lama ini, kata Kusnan, datang beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dari Komisi I, mereka mengatakan akan mengurus tuntas masalah ini. Kami disuruh tenang saja. “Tapi saya tidak begitu yakin, di depan kami saja mereka mau ngurus, di belakang udah lupa lagi,” jawab Kusnan. “Chafek (capek) nunggunya,” timpal Ros dengan suara nyaring.
nama sugeng
ReplyDeletelam kenal juga
tu yg dibhas desa ku...tu...
kok bisa tau?
tpi perasaan ga pernah lihat lah...
FB soegenkgtriy@gmail.com
Salam kenal juga.
ReplyDeleteOh iya apa? Ini dalam rangka mengikuti pelatihan di Pekanbaru bersama jurnalis HAM dari Jakarta. Desa anda satu-satunya kawasan yang menjadi bahan tulisan dan liputan kami. Sei Rokan kan?
Kenalkan saya waktu itu masih kuliah di Padang, Sumbar. Sekarang sudah tak di Padang lagi :)
Salam kenal dari saya.