Skip to main content

Tiga Jam Bersama A. Fuadi



Hari ini, kami sangat bahagia dan bangga. Bagaimana tidak, dengan bersusah payah tentunya, akhirnya kami dapat mendatangkan pengarang novel best seller Negeri 5 Menara ke kampus kami, Universitas Negeri Padang.
Hari ini, Rabu, 24 Februari 2010, pengarang asal urang awak tersebut akhirnya berkenan juga singgah dan berbincang-bincang dengan kami, mahasiswa UNP terkhusus mahasiswa yang suka dan telah membaca novelnya. Tulisan ini saya tulis sebelum acara berlangsung. Dan sangat jauh dari waktu yang telah ditentukan. Subuhnya, dengan riang gembira.
Mendatangkan dan mendapatkan izin untuk membedah dan langsung bersua dengan A. Fuadi, bukanlah perkara gampang. Banyak lobby dan banyak pintu yang harus dimasuki sebelumnya. Tidak hanya itu, kita pun dari panitia harus banyak belajar, bagaimana sepak terjang kawan-kawan yang lain yang telah mencoba mendatangkan penulis ini dengan cara yang berbeda.
Alhmdulillah, kami mampu dan semoga acara nantinya sukses dan tentunya tidak mengecewakan kami, dan A. Fuadi sendiri. Ini doa sebelum menyelenggarakan acara. Dua jam lagi acara akan dimulai, dan tentu tidak begitu lama penulis asal ranah Minang ini pun akan datang ke kampus kita, UNP.
Acara segera dimulai. Panitia telah menyediakan segalanya, walau ada beberapa yang belum maksimal, seperti in focus yang gak jadi-jadi disetting. Kepanikan dengan alat ini juga mendera panitia secara keseluruhan. Memang, tidak ada lagi cadangan infocus yang bisa dan akan digunakan. Tapi setelah diutak-atik dengan sangat tak henti-hentinya, serta selalu memeriksa alat tersebut. Alhasil, infocus ini pun siap digunakan. Persiapan acara hampir siap 100 persen. Dan langsung bisa dimulai, bedah novelnya A. Fuadi.
Werry, sang master of ceremony segera ambil tempat. Mahasiswa FMIPA UNP ini segera meramaikan acara tersebut dengan sangat menarik. Menampilkan beragam atraksi, tanya jawab, door price, dan lainnya. Werry pun membagi-bagikan hadiah sebelum kata sambutan dari berbagai pihak dan sekaligus membuka acara ini.
Sambutan ini dimulai langsung oleh ketua panitia. Ageng, mahasiswa FT UNP, yang dalam minggu-minggu tersebut sedang disibukkan dengan praktik lapangan di sekolah-sekolah sebagai proses perkuliahan semester ini. Walau begitu, tampaknya dan nyata, ia pun sedikit mengorbankan perkuliahan demi mengangkatkan acara ini. Dan tak sia-sia, sekitar 200 peserta memadati RSG FT UNP tersebut.
Banyak yang diceritakan sang ketua panitia ini di depan A. Fuadi dan di depan Amaknya, para undangan: Sriwijaya Air, Star Radio, toko buku Gramedia, dan lainnya. Baik dari perjuangan akan mengangkatkan acara, bagaimana melobby sang manajer, Erwin, yang kesan pertama sedikit tak menarik bagi kami, panitia, hingga acara ini dapat berlangsung.
Juga tak lupa sang ketua dengan slogan novel Negeri 5 Menara, Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dengan segala upaya-yang bersungguh-sungguh-akhirnya kami pun dapat menyelenggarakan acara tersebut. Ungkapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya pun tak lupa disampaikan kepada sponsor yang telah mendukung acara tersebut. Ada dari SKK Ganto, distro Tangkelek, Sigma FM, UNP handicraft Dongaboy, dan lainnya.
Sedangkan-ini bagian terlucu dari kisah sukses ini- yang akan membuka langsung secara resmi acara ini ada dari madam Yenni Hayati, S.S., M.Hum. Awalnya madam ini sebagai undangan dalam acara tersebut, dan kabarnya tidak sempat datang karena sedang ada lokal kuliah dengan mahasiswa sastra indonesia di FBSS UNP. Saya pun mengiba-iba dan memohon agar sang madam mau datang, dan tak disangka sebagai pembuka acara ini.
Awalnya tentu beliau kaget bukan main, dan menganggap saya sedikit gila, mungkin. Madam hanya sebagai undangan, bukan siapa-siapanya Komunitas Pencinta Buku, dan tidak tahu menahu dengan acara tersebut. Karena sedang terdesak, dan mungkin juga iba dengan saya, akhirnya madam bersedia dengan lirikan mata yang khas yang selalu saya lihat ketika bersua dengannya.
Benar adanya. Beliau menyampaikan kata-kata dengan kalimat yang disusun serancak mungkin untuk membuka acara tersebut. Madam sampaikan bagaimana dahsyatnya novel A. Fuadi bagi mahasiswanya serta tentu juga dari diri madam sendiri. Kata-kata yang disusun pun juga buat Amak tercinta A. Fuadi yang langsung duduk bersebelahan dengan madam. Dan acara pun dimulai dengan alotnya, hingga over time.
Bedah buku dimulai dengan begitu khidmat. Hampir setiap undangan menyaksikan dan mengikuti acara hingga selesai. Tak terlewati sedetik pun. A. Fuadi segera menjelaskan bagaimana ia dan teman-temannya, sahibul menara mengiku sekolah di Pondok Madani, Jawa Timur, sekitar belasan tahun lalu. Ia menceritakan sepak terjang di luar Sumbar. Bagaimana hidup dan sekolah di luar Sumbar dan rantau panjang yang ia lalui di negeri orang. Terkait hal ini dengan 5 menara. Ada di AS, Arab Saudi, Mesir, London, dan Jakarta sendiri.
Ia tentunya menceritakan bagaimana lahir dan proses berevolusi dirinya dengan dunia tulis menulis. Katanya “ Dengan menulis, kamu akan memperpanjang umurmu.” Sedangkan hal ini musykil dilakukan tanpa pernah dibiasakan dengan memulai kebiasaan sedari kecil. “Yah, salah satunya buku diary,” kata Fuadi.
Banyak alasan yang Fuadi, jelaskan hingga bagaimana kita tertarik untuk menulis, apakah novel maupun tulisan lainnya-ini bagian yang sangat saya ingat, padahal saya sangat sibuk waktu itu, tapi saya harus juga dapat bagian virus ilmu dari sang penulis-. Adalah bagini kata Fuadi, jika kita menulis setiap hari ½ hingga satu halaman hanya ½ atau ¼ jam setiap hari, dan coba kalikan dalam satu tahun. Sekitar 365 halaman sudah jadi dan tinggal mengedit sedikit, “Siap dijadikan buku kan?” kata Fuadi menyemangati.
Tidak sulit menulis dan menerbitkan sebuah buku, kata Fuadi lagi. Asal kita mau, punya niat dan tentunya Man Jadda Wajada. Siapa saja mampu untuk itu. Tak ada hambatan, hambatan hanya dari diri kita sendiri. Saya, kata Fuadi, juga didorong oleh orang disekeliling saya yang sangat saya cintai. Amak, selalu menyimpan dan mengarsipkan surat-surat saya sewaktu mondok di Madani dulu. Hal ini menjadi ide dan penambah semangat saya menulis. Sebuah referensi yang tak bisa diabaikan.
Setelah menyampaikan materinya, banyak pertanyaan yang diajukan ketika Abi, sebagai pemandu acara tersebut memberikan kesempatan bertanya, memberi saran, dan lainnya kepada peserta siang itu. Kuota peserta yang berminat bertanya jauh labih banyak dari yang tidak bertanya waktu itu. Fantastik.
Saya yang kebagian membawa mic kesana kemari untuk penanya juga kewalahan ‘melayani’nya. Sangat menakjubkan, dari segi peminat. Belum lagi yang ditanyakan adalah sesuatu yang berhubungan dengan dunia tulis menulis, motivasi bagi anak didik dan keluarga penanya. Beragam sekali. Karena memang peserta tidak hanya dari kalangan mahasiswa tetapi juga ada siswa, dan ada guru.
Tidak lama, setelah A. Fuadi membagikan keempat novelnya kepada penanya terbaik dari sesi tersebut, segera acara berpindah ke tangan Werry, sang maestro radio kampus ini. Kembali dengan kelincahan, dan dengan gaya, sudah kita ketahui bersama bagaimana gaya penyiar berkomunikasi dengan orang lain, Werry pun juga demikian. Dengan gaya dan cara bicaranya, menyebabkan acara tersebut sangat tidak membosankan. Apalagi banyak door price dari sponsor yang diberikan kepada peserta. Ada baju dari distro Tangkelek, pin, novel karya A. Fuadi, jam dinding dari Sriwijaya Air, dan lainnya.
Tak terasa, kumandang azan zuhur telah menyapa kampus UNP. Segera kami mengakhiri acara tersebut dengan tanda tangan novel dan foto bersama. Terima kasih kawan, A. Fuadi dan peserta semuanya.
Sebuah kerja keras yang berbuah manis.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...