Adek Risma Dedees
Matahari telah condong ke arah barat dan senja segera melingkup tempat umat berserah diri kepada Sang Pencipta itu. Hampir setiap waktu rumah ibadah ini dipenuhi jamaah yang akan menunaikan ibadah salat. Ya, tempatnya salah satu masjid ternama di pusat kota Padang.
Seorang wanita paruh baya tampak sibuk dengan kain lusuh, yang menumpuk di atas meja di depannya. Kadang ia duduk di kursi dan kadang ia berdiri merapikan dan melipat ulang kain-kain tersebut. Ia harus cermat memilih, memilah, dan menentukan kain mana yang baik digunakan para jamaah. Maklum kain tersebut tak lain mukena yang digunakan jamaah wanita untuk menunaikan salat lima waktu.
Senyum tak mengambang di wajahnya, karena memang ia tidak sedang bertegur sapa apalagi bercakap-cakap dengan seseorang. Namun ketika kudekati dan memberi salam, wajahnya cair, kata-kata yang keluar dari bibirnya pun halus dan bersih. “Sibuk-sibuk sedikit,” katanya sambil tersenyum, Selasa (22/12) lalu.
Ia akrab dipanggil Ema. Seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya di rumah mengasuh anak dan mengurusi keluarga. Itu dulu, sekitar lima tahun lampau, sebelum ia bekerja sebagai cleaning service di masjid ini. Sekarang, ia adalah orang yang memberesi dan membersihkan mukena-mukena yang akan digunakan jamaah ketika salat.
Ema berkisah, sebelum bekerja sebagai pelipat mukena-mukena ini, dulunya ia bekerja membersihkan kamar wudu dan wc-wc di sana. Waktu itu pun ia tidak digaji, hanya mengharap imbalan dari amal dan pemberian pengujung semata. Namun berbeda dengan pekerjaannya sekarang, ia telah memperoleh upah kerja sekitar satu juta rupiah tiap bulan dari pihak masjid.
Setiap hari wanita dengan tiga anak ini, menyisihkan mukena-mukena yang tidak baik lagi dipakai. Ema pun harus mencuci, memberikan pengharum pakaian, menjemurnya, dan siap digunakan kembali oleh jamaah. “Sekitar 30-40 helai mukena yang dicuci setiap hari dari 150 mukena yang ada,” ceritanya.
Mukena yang akan digunakan, tambah Ema, harus bersih, bebas dari kotoran dan bau tak sedap. Kadang-kadang bekas lipstik ibu-ibu yang menggunakan mukena menempel di mukena. Air wudu yang bercampur dengan keringat jamaah sewaktu menggunakan mukena juga menimbulkan bau tak sedap. “Semua itu harus dicuci, masa mau salat dalam keadaan tidak bersih,” katanya.
Selain mukena, wanita 40 tahun ini juga harus membersihkan sajadah-sajadah yang membentang di tempat salat itu. Jumlahnya sekitar 20 buah dengan panjang 6 meter per buah. Ema menjemurnya, memukul-mukul hingga debu-debu sajadah berkurang, serta memilih dan membuang rambut-rambut yang menempel di sajadah helai perhelai hingga bersih.
Wanita berjilbab yang tinggal di kawasan Tunggul Hitam ini, telah bekerja di masjid tersebut selama 4,5 tahun. Berawal dari ajakan seorang tetangga, sebagai tukang parkir di masjid tersebut, Ema pun tertarik dan memberanikan diri mencoba menjadi karyawan di sana. Dan sudah dua tahun ia menggeluti pekerjaan sebagai pelipat mukena.
Gempa dahsyat yang melanda kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman, akhir September lalu, juga meninggalkan duka pilu bagi Ema. Selain ia harus tinggal di tenda pascagempa, ia juga harus kehilangan teman kerjanya. Bukan karena menjadi korban bencana, namun tak berminat lagi bekerja sebagai pelipat mukena, dengan beragam alasan. Dan tinggallah Ema dengan mukena-mukenanya.
Ema salah satu korban dari sekian puluh ribu korban yang rumahnya rusak berat hingga tak layak huni lagi. Sampai sekarang ia belum mendapat bantuan dari pemerintah. “Beruntung saya dan suami bekerja, kebutuhan rumah tangga dapat tertutupi,” jelas Ema. Dengan mengumpulkan upah yang didapat sepasang suami istri ini, kebutuhan keluarga serta biaya sekolah ketiga putra putri dapat ditutupi. “Cukup gak cukup harus dicukupkan,” ucapnya sambil melipat mukena yang terakhir.
Matahari telah condong ke arah barat dan senja segera melingkup tempat umat berserah diri kepada Sang Pencipta itu. Hampir setiap waktu rumah ibadah ini dipenuhi jamaah yang akan menunaikan ibadah salat. Ya, tempatnya salah satu masjid ternama di pusat kota Padang.
Seorang wanita paruh baya tampak sibuk dengan kain lusuh, yang menumpuk di atas meja di depannya. Kadang ia duduk di kursi dan kadang ia berdiri merapikan dan melipat ulang kain-kain tersebut. Ia harus cermat memilih, memilah, dan menentukan kain mana yang baik digunakan para jamaah. Maklum kain tersebut tak lain mukena yang digunakan jamaah wanita untuk menunaikan salat lima waktu.
Senyum tak mengambang di wajahnya, karena memang ia tidak sedang bertegur sapa apalagi bercakap-cakap dengan seseorang. Namun ketika kudekati dan memberi salam, wajahnya cair, kata-kata yang keluar dari bibirnya pun halus dan bersih. “Sibuk-sibuk sedikit,” katanya sambil tersenyum, Selasa (22/12) lalu.
Ia akrab dipanggil Ema. Seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya di rumah mengasuh anak dan mengurusi keluarga. Itu dulu, sekitar lima tahun lampau, sebelum ia bekerja sebagai cleaning service di masjid ini. Sekarang, ia adalah orang yang memberesi dan membersihkan mukena-mukena yang akan digunakan jamaah ketika salat.
Ema berkisah, sebelum bekerja sebagai pelipat mukena-mukena ini, dulunya ia bekerja membersihkan kamar wudu dan wc-wc di sana. Waktu itu pun ia tidak digaji, hanya mengharap imbalan dari amal dan pemberian pengujung semata. Namun berbeda dengan pekerjaannya sekarang, ia telah memperoleh upah kerja sekitar satu juta rupiah tiap bulan dari pihak masjid.
Setiap hari wanita dengan tiga anak ini, menyisihkan mukena-mukena yang tidak baik lagi dipakai. Ema pun harus mencuci, memberikan pengharum pakaian, menjemurnya, dan siap digunakan kembali oleh jamaah. “Sekitar 30-40 helai mukena yang dicuci setiap hari dari 150 mukena yang ada,” ceritanya.
Mukena yang akan digunakan, tambah Ema, harus bersih, bebas dari kotoran dan bau tak sedap. Kadang-kadang bekas lipstik ibu-ibu yang menggunakan mukena menempel di mukena. Air wudu yang bercampur dengan keringat jamaah sewaktu menggunakan mukena juga menimbulkan bau tak sedap. “Semua itu harus dicuci, masa mau salat dalam keadaan tidak bersih,” katanya.
Selain mukena, wanita 40 tahun ini juga harus membersihkan sajadah-sajadah yang membentang di tempat salat itu. Jumlahnya sekitar 20 buah dengan panjang 6 meter per buah. Ema menjemurnya, memukul-mukul hingga debu-debu sajadah berkurang, serta memilih dan membuang rambut-rambut yang menempel di sajadah helai perhelai hingga bersih.
Wanita berjilbab yang tinggal di kawasan Tunggul Hitam ini, telah bekerja di masjid tersebut selama 4,5 tahun. Berawal dari ajakan seorang tetangga, sebagai tukang parkir di masjid tersebut, Ema pun tertarik dan memberanikan diri mencoba menjadi karyawan di sana. Dan sudah dua tahun ia menggeluti pekerjaan sebagai pelipat mukena.
Gempa dahsyat yang melanda kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman, akhir September lalu, juga meninggalkan duka pilu bagi Ema. Selain ia harus tinggal di tenda pascagempa, ia juga harus kehilangan teman kerjanya. Bukan karena menjadi korban bencana, namun tak berminat lagi bekerja sebagai pelipat mukena, dengan beragam alasan. Dan tinggallah Ema dengan mukena-mukenanya.
Ema salah satu korban dari sekian puluh ribu korban yang rumahnya rusak berat hingga tak layak huni lagi. Sampai sekarang ia belum mendapat bantuan dari pemerintah. “Beruntung saya dan suami bekerja, kebutuhan rumah tangga dapat tertutupi,” jelas Ema. Dengan mengumpulkan upah yang didapat sepasang suami istri ini, kebutuhan keluarga serta biaya sekolah ketiga putra putri dapat ditutupi. “Cukup gak cukup harus dicukupkan,” ucapnya sambil melipat mukena yang terakhir.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^