Lagu Sore di Kampus Selatan
Kelahiran karya sastra anak nagari (Sumatra Barat) dari A. Fuadi sontak tidak hanya membuat urang awak ranah Minang berdecak kagum, namun juga masyarakat Indonesia secara universal. ‘Negeri 5 Menara’ begitu tulisan besar-besar tertulis di bagian depan sampul buku ini. Karangan yang bertema pondok pesantren ini menyajikan bacaan yang tentunya beda dari bacaan kebanyakan. Setting pendidikan pun masih menjadi pilihan novel, mungkin sekitar lima tahun mendantang akan terus menjadi buah ‘bibir’ masyarakat.
Kampus Selatan Universitas Negeri Padang (UNP) tepatnya Fakultas Bahasa Sastra dan Seni (FBSS) mengajak mahasiswanya, beramai-ramai memecahkan tendens yang disampaikan oleh anak Maninjau ini. Melalui tokoh-tokohnya, Alif, Raja, Dulmajid, Baso, dan Said, tergambarkanlah sekaligus mewakili keinginan dan cita-cita kebanyakan anak bangsa. Beragam cara yang mereka lakukan hingga suatu hari, setelah tidak di pondok lagi, mereka kembali bersua di negeri yang sama sekali tidak pernah terbayangkan sebelumnya, Eropa.
Tepat pukul setengah lima sore, sekitar tiga puluh mahasiswa berkumpul mengerubungi Leni Marlina, S.S., salah seorang dosen sastra di jurusan bahasa Inggris FBSS. Miss Leni, akrabnya dipanggil begitu, mematut-matut di atas panggung terbuka sekaligus dengan sangat berhati-hati menyampaikan orasinya tentang novel A. Fuadi ini, Selasa (3/11) lalu. Menyampaikan pesan yang terkandung serta pola pendidikan seperti apa yang bisa ditiru mahasiswa agar sama suksesnya dengan tokoh-tokoh dalam novel.
Kehadiran miss Leni dan mengupas tentang sosok kurcaci-kurcaci yang sukses di tanah Jawa tersebut, memberikan masukan kecil yang berarti bagi yang mengikutida n mendengarkan orasi tersebut. Walau penyampaian dari miss Leni jauh dari kemenarikan bak novel itu sendiri, tapi cukup menutrisi otak pendengar dengan karya sastra.
Mengkaji novel, cara peyampaiannya memang tidak sesaintic Laskar Pelangi, dan tetap menampilkan indept analytic mengenai berbagai macam ilmu di Pondok Madani. Walau begitu, justru di sinilah letak kekhasan dan keunikan karya sastra ini. Ditambah lagi mantra ‘Man Jadda Wa Jadda’ siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapat. Rupanya teori kesungguhan dan feedback berlaku keras dalam karya ini.
‘Man Jadda Wa Jadda menjadi begitu kesohor beberapa bulan ini. Menjadi stimulus ampuh bagi pelajar dan mahasiswa untuk meraih mimpi mereka. Bukan akhir yang menjadi fokus utama, namun proses, kesabaran, dan keikhlasan menjadi pekerjaan rumah guna menggapai mimpi.
Kelahiran karya sastra anak nagari (Sumatra Barat) dari A. Fuadi sontak tidak hanya membuat urang awak ranah Minang berdecak kagum, namun juga masyarakat Indonesia secara universal. ‘Negeri 5 Menara’ begitu tulisan besar-besar tertulis di bagian depan sampul buku ini. Karangan yang bertema pondok pesantren ini menyajikan bacaan yang tentunya beda dari bacaan kebanyakan. Setting pendidikan pun masih menjadi pilihan novel, mungkin sekitar lima tahun mendantang akan terus menjadi buah ‘bibir’ masyarakat.
Kampus Selatan Universitas Negeri Padang (UNP) tepatnya Fakultas Bahasa Sastra dan Seni (FBSS) mengajak mahasiswanya, beramai-ramai memecahkan tendens yang disampaikan oleh anak Maninjau ini. Melalui tokoh-tokohnya, Alif, Raja, Dulmajid, Baso, dan Said, tergambarkanlah sekaligus mewakili keinginan dan cita-cita kebanyakan anak bangsa. Beragam cara yang mereka lakukan hingga suatu hari, setelah tidak di pondok lagi, mereka kembali bersua di negeri yang sama sekali tidak pernah terbayangkan sebelumnya, Eropa.
Tepat pukul setengah lima sore, sekitar tiga puluh mahasiswa berkumpul mengerubungi Leni Marlina, S.S., salah seorang dosen sastra di jurusan bahasa Inggris FBSS. Miss Leni, akrabnya dipanggil begitu, mematut-matut di atas panggung terbuka sekaligus dengan sangat berhati-hati menyampaikan orasinya tentang novel A. Fuadi ini, Selasa (3/11) lalu. Menyampaikan pesan yang terkandung serta pola pendidikan seperti apa yang bisa ditiru mahasiswa agar sama suksesnya dengan tokoh-tokoh dalam novel.
Kehadiran miss Leni dan mengupas tentang sosok kurcaci-kurcaci yang sukses di tanah Jawa tersebut, memberikan masukan kecil yang berarti bagi yang mengikutida n mendengarkan orasi tersebut. Walau penyampaian dari miss Leni jauh dari kemenarikan bak novel itu sendiri, tapi cukup menutrisi otak pendengar dengan karya sastra.
Mengkaji novel, cara peyampaiannya memang tidak sesaintic Laskar Pelangi, dan tetap menampilkan indept analytic mengenai berbagai macam ilmu di Pondok Madani. Walau begitu, justru di sinilah letak kekhasan dan keunikan karya sastra ini. Ditambah lagi mantra ‘Man Jadda Wa Jadda’ siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapat. Rupanya teori kesungguhan dan feedback berlaku keras dalam karya ini.
‘Man Jadda Wa Jadda menjadi begitu kesohor beberapa bulan ini. Menjadi stimulus ampuh bagi pelajar dan mahasiswa untuk meraih mimpi mereka. Bukan akhir yang menjadi fokus utama, namun proses, kesabaran, dan keikhlasan menjadi pekerjaan rumah guna menggapai mimpi.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^