Skip to main content
Persma Sebagai Entitas Masyarakat Ilmiah Kampus


Pers Mahasiswa (Persma) adalah salah satu corong bagi mahasiswa untuk lebih menyuarakan suara mereka kepada para birokrat dan antek-anteknya. Peran persma tidak terlepas dari bagaimana pengaktualisasian diri masyarakat lingkungannya. Jika pada media umum, pers lebih terkenal sebagai pilar keempat dari elemen-elemen demokrasi, begitu juga dengan persma dalam lingkup kampus sebagai sebuah miniatur negara. Persma pun juga berperan besar dalam perjalanan kekuasaan lembaga mahasiswa. Karena bagaimanapun, ingat, persma tidak hanya berkutat pada pemberitaan, namun juga sangat mempengaruhi pergerakan mahasiswa.
Pers Mahasiswa mengandung dua istilah yang sama-sama ‘berani’ di dalamnya, yaitu pers, dan mahasiswa. Pemahaman pers, mengacu pada teori secara umum yang terpatri dalam Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999 bab 2 pasal 3 ayat (1) dinyatakan pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Sementara pemahaman mahasiswa selalu berkaitan dengan kampus. Mahasiswa adalah kelompok usia muda antara 17-25 tahun. Pada usia ini, manusia cenderung bersikap komunal (umum, suka berkumpul), tidak terikat finansial (terikat dengan orang tua), belum berumah tangga, punya semangat dan energi yang berlebih, serta kritis. Tidak hanya itu, usia mahasiswa adalah usia dengan ciri yang cenderung kontroversi, idealis, tidak takut salah serta usia yang sangat produktif.
Keterkaitan mahasiswa dengan kampus sudah jelas meliputi persoalan-persoalan yang tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Selain itu juga menyangkut pada kesejahteraan mahasiswa, serta aktualisasi diri mereka. Karena itu, dinamika pers mahasiswa juga merupakan cerminan dari persoalan-persoalan tersebut. Tentu saja, pers mahasiswa harus memposisikan dirinya secara ilmiah, karena pers mahasiswa merupakan perpaduan antara pers dengan dunia kampus. Karakter yang khas dari pers mahasiswa, idealisme dengan penggodokan independensi yang dinamis, membuat pers mahasiswa mempunyai posisi pas untuk melepaskan diri dari jebakan modal maupun pengaruh lainnya. Di tengah-tengah ketidakmampuan pers umum untuk melakukan pendidikan atau pencerahan kepada masyarakat, pers mahasiswa sangat mungkin untuk mengambil peran tersebut.
Pers Mahasiswa sebagai entitas masyarakat ilmiah kampus lebih mengarah kepada perwujudan masyarakat kampus yang semakin intim dengan hal-hal yang berbau ilmiah. Ilmiah di sini bukan berarti terfokus pada penelitian dan segala sesuatu yang formil, baku, standar, dan untuk sebagian masyarakat (mahasiswa) kadang memuakkan. Namun keilmiahan ini lebih mengarah pada keabsahan sebuah informasi yang dipaparkan. Bagaimana paparan yang disampaikan agar lebih mengarah pada sebuah referensi bagi masyarakat sebagai pembaca. Apa-apa yang dipaparkan adalah sebuah usaha ‘mati-matian’ untuk memberikan yang terbaik bagi pembacanya sesuai dengan fungsi pers tadi dan bukan alat pembodohan.
Fungsi pers yang disajikan dalam produk mahasiswa adalah sesuatu hal nyata adanya. Tampilan yang mereka berikan tidak lebih semacam refleksi bagi masyarakat. (apakah itu mahasiswa sendiri maupun masyarakat luar). Dan melalui pers inilah mereka berkoar untuk sebuah pergerakan atas nama mahasiswa yang mengusung kepentingan masyarakat luas. Tidak menutup kemungkinan di sinilah unsur keilmiahan yang mereka sajikan pada pembaca. Atas nama masyarakat luas mereka mencoba mengemas hal-hal yang demikian seapik mungkin, secermat mungkin, dan seobyektif mungkin.
Sejalan dengan kebebasan pers, pers mahasiswa juga memunculkan sikap profesionalisme sebagai batasan tegas terhadap kebebasan yang kebablasan. Ciri profesionalisme bisa dilihat dari lima hal, yaitu : bersifat keilmuan, berorientasi ke publik, terukur, ada moralitas (kode etik), mempunyai organisasi profesi, dan mempunyai kesungguhan (loyalitas tunggal). Namun, profesionalisme media yang digembar-gemborkan pers umum ternyata runtuh karena adanya kepentingan lain dan jebakan pemilik modal. Dalam banyak kasus, pemilik media lebih mengedepankan penaikan oplah serta berita yang bombastis/ tendensius. Pemilik modal sering mengawasi tajuk rencana dari media, untuk memasukkan kepentingan-kepentingannya. Orientasi pada publik dan pencerahan masyarakat, sering diabaikan demi naiknya oplah media. Dan hal ini sangat berbeda dengan pers mahasiswa.
Untuk itu pers mahasiswa sangat berperan dalam mengusung hal-hal yang diingini masyarakatnya. Jika pada pers umum hanya menemukan hiburan dan jauh dari unsur pendidikan atau pencerahan, maka berbeda dengan pers mahasiswa. Perbedaan ini akan semakin terang tatkala pers mahasiswa semakin matang dengan keilmuan yang disodorkannya. Keilmuan yang beranjak dari fakta, penafsiran, dan keberpihakan yang jelas serta terstruktur. Pers mahasiswa akan selalu mencari nilai dan arah gerakan yang tepat. Dalam konteks inilah terdapat arti penting perlunya menata kembali pola gerakan ilmiah. Dengan demikian, mari masuk ke wilayah pergerakan, wilayah konsepsional, terarah dan terkendali dalam konteks ideologi terpadu, komprehensif, dan bersinergi. Dalam hal ini bagaimana mencapai sasaran strategis yang didasari pada pilihan-pilihan ideologis serta bertarget orientasi ilmiah. Lebih dari itu, juga mempunyai barometer yang jelas dan bisa diukur secara obyektif. Bukan rintangan namun tantangan bagi pers mahasiswa.


.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...