Perempuan Bergelombang
Kembali kuangkat dan kubersihkan ubi-ubi itu dari gerobak yang disodorkan ayah. Tanaman berkarbohidrat tinggi ini akan diolah menjadi panganan godok. Ibu akan menjualnya besok hari, Minggu pagi di pasar. Sudah beberapa bulan ini setiap Sabtu Minggu aku berkutat di dapur. Menyiapkan berbagai panganan. Mulai dari godok ubi, kacang hijau, bakwan, tahu isi, dan beberapa gorengan lainnya. Usaha ibu yang sudah lima tahun terakhir dilakoninya. Penambah uang dapur, kata ibu pada orang-orang. Aku tak bergabung lagi dengan teman-temannku di los pasar lama, 50 meter dari rumahku. Biasanya aku lebih sering di sana, waktu masih sekolah SMP dulu. Sekarang tidak. Apalagi ke sekolah. Ah itu tak mungkin.
“Sudah kau bersihkan ubi itu Mar?” buyarkan lamunku.
“Kau ini, pemalas sekali, minta uang kau bergegas. Gadis apa itu,” dengus ayah sambil berlalu dari dapur ke ruang depan.
Aku hanya diam. Tak kuidahkan. Aku tahu gaek itu selalu begitu. Kalau tak punya uang lagi, pasti emosinya lebih cepat meninggi. Dua hari ini gaek, ayahku, tak berhasil menjerat burung-burung hebat itu. Buruannya tiung. Hewan yang kata orang sudah jarang ditemukan itu ternyata ayah memburunya. Ayah sangat berhasrat memindahkannya dari hutan luas ke rumah kami. Dan itu hanya beberapa hari di rumah. Karena akan langsung di beli oleh orang kaya yang pakai sedan. Baik masih kecil maupun sudah besar.
Berburu beo adalah satu-satunya kerja ayah sejak dulu. Kalau tak salah aku masih sekolah dasar, ayah sudah begitu. Tiga orang kakak laki-lakiku dipekerjakan ayah mencari beo. Hasilnya bagi lima. Dua untuk ayah, selebihnya dibagi oleh kakak-kakakku. Kata ibu itu tak cukup. Dan itu pula yang kurasakan. Sampai-sampai aku yang bungsu ini tak bisa lanjut sekolah lagi. Alasannya, aku tak akan jadi guru. Kenapa harus sekolah tinggi.
“Kalau kau jadi guru, baru aku sekolahkan,” kata ayah, panas. Karena aku selalu merengek pada ibu untuk sekolah lagi, lima bulan lalu.
Kembali aku hanya diam. Tak bisa berkata apa. Badan ayah tinggi besar dan jarang berbaju.
“Panas rumah ini,” katanya.
Cerita kakakku perempuan, nomor empat di atasku, selama ini belum ada yang berani melawan ayah. Siapa melawan, ayah mengharamkan dia jadi anaknya lagi. Ayah kasar, itu di mataku. Dan benar tak ada perlawanan. Namun sekarang dia telah almarhumah. Melawan ayah, itu kata ibu.
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan.
“Mar, Maryati..sudah pagi ini. Cepat, ambil air seember untuk mandi beo ini,” pinta ayah di pagi buta.
“Ih, masih gelap ayah. Nanti kan bisa,” elakku di balik selimut.
“Kau, memang gadis pemalas. Tak berguna. Cuma bisa minta uang. Berpikirlah kau Mar,” suara ayah mendekat.
Sirrrr, darahku berdesir. Sangat tak nyaman kedengarannya. Kantukku raib. Pagi ini pun tak lagi dingin. Aku tak butuh selimut. Dan kujawab kata gaek itu.
“Sudah cukup ayah mengataiku gadis tak berguna. Gadis peminta uang,” sungguh, aku amat bengis waktu itu. Walau suaraku belum jernih betul.
“Apa! Kau menjawab juga.” Sekarang ayah telah di daun pintu kamarku.
Diambilnya bantal guling di kakiku dan dihempaskannya ke kepalaku. Aku kaget bukan main. Cepat sekali reaksi itu. Aku sudah duduk di bibir dipan. Dan gaek pun berlalu. Amat sakit, bukan kepalaku, tapi hatiku. Sebenarnya aku tak mengundang tangis itu. Tapi ia datang juga. Dan aku berusaha mengusirnya, hingga aku sesenggukan dengan sangat ganjil.
Ibu kemana. Aku mencari ibu. Sampai di dapur, aku temukan ibu baru pulang dari sungai belakang rumah. Sehabis membuang hajat besar, itu biasa di pagi ini. Aku duduk di atas lesung. Ibu mendekat.
“Sudah salat subuh kau Mar?”
Aku diam.
Kusut mukaku tak bisa kusimpan. Dan memang aku tak berniat menyimpannya.
“Bertengkar lagi kau dengan ayah?”
Lagi, aku diam. Dan tak membalas tatapan ibu.
Cepat-cepat ibu ke luar, mungkin menyusul ayah. Sambil mengingatkanku lagi salat subuh.
***
“Ibu, aku belum mau kawin,” pintaku pada ibu.
“Kau mau jadi apa ha!, apa kau berzina dulu, baru kau mau kawin seperti anak si anu itu!” hardik ayah.
Untuk kesekian kalinya aku hanya diam. Termasuk untuk masa depanku. Kenapa aku ini. Siapa yang sudi menikah, berumah tangga dengan umur yang ‘amis’ ini. Kupinta bantuan pada kakak-kakakku yang hadir waktu itu.
Laki-laki yang tua berkata,”Sampai kapan kau akan menyusahkan ibu untuk membelikan bedak-bedakmu, Mar?” lebih halus dari ayah.
“Kau kan sudah kenal dia, lima minggu ini Mar, kalian akan cocok kok,” bujuk kakakku yang baru selesai bersalin, dua minggu lalu.
“Lagi pula, dia sudah berpengalaman dari kau, sebaya pak Ilis ya Uda?” begitu jalan keluar dari kakak iparku yang perempuan.
Apakah ayah tak sadar akan umurku yang baru 15 tahun ini. Menikah di usia dini, sehatkah. Aku masih ingin berkumpul di los. Aku masih ingin berkeliaran di pasar selagi ibu berjualan kue. Dan aku tak pernah membunuh niatku untuk sekolah lagi. Walau itu hanya paket. Hanya aku yang mempunyai ijazah dua buah di rumah ini. Dan sekarang untuk ketiganya itu tak dibolehkan. Semua kakak-kakakku tak tamat sekolah dasar. Mereka hanya diperkenalkan dengan huruf a, b, c, d, dst sampai z. Dan hanya mahir mengeja. Kalau berhitung lebih selangkah dari membaca.
Tapi, bukan berarti tidak sekolah justru tak bisa melihat mana yang lebih baik dari yang akan diputuskan. Pintaku pada mereka. Orang-orang disekelilingku, rata-rata sekolah mereka tinggi. Tetanggaku ada yang jadi guru, dokter, tentara, bahkan hanya tukang kuli pasir di sungai. Namun, aku tak menemukan anggota keluarga mereka dinikahkan sebegini muda. Aku malu. Pada teman-temanku. Pada bapak guruku. Pada orang di sekelilingku. Tapi ayahku tak malu.
“Begini, sekarang kau kawin dengan bujang itu. Jauh-jauh dia kesini. Kasihan kita.” Kata ayah.
“Bagaimana Pik?”
“Si Mar hanya diam, tanda setujulah dia Uda,” itu putusan sepihak ibu.
Duniaku bergemuruh hebat. Musiman awan hitam semakin pekat. Semua selesai sudah. Aku tak berdaya. Aku diam ibu, bukan karena suka, tapi tak terbayangkan akan hal ini sebelumnya. Itu berontakku, namun hanya dalam renungan.
Di kamar aku disuguhkan ibu sepasang baju tidur yang baunya menandakan barang baru. Ini dari ayah, kata ibu. Tak kusentuh. Ibu tak marah dan segera berlalu.
“Wah, banyak sekali ayah membeli gula manis dan kopi,” sorak kakakku yang baru menjadi ibu itu, sambil mengaduk kopi untuk lakinya.
“Itu dari menantu baru ayah,” sela ibu disela-sela derai tawanya.
Tawa antara ibu anak itu semakin kuat serta begitu renyah. Tak lama ditimpali oleh iparku di sebelah. Tak kalah hebohnya dan sangat memuakkan bagiku.
Betul kata kakakku nomor empat di atasku. Masih terngiang segar. Segar sekali. Tak ada yang bisa melawan. Ayah terlalu ‘kuat’ untuk kami anak-anaknya. Pengaruhnya bisa merubah otak siapa saja yang ada di rumah ini. Ibu juga tak luput. Aku korbannya yang mungkin tidak untuk terakhir.
Ayah penentu nasib kami. Mau punya suami yang kuat, ayah bisa carikan. Mau punya suami yang beruang ayah juga bisa carikan. Namun itu tak pernah bertahan lama. Kakakku yang tua nomor dua, cobaannya. Dan sekarang jarum itu mengarah padaku. Tak kuasa kumembalikkannya pada posisi semula. Terlalu berat.
***
Sudah setahun umur anakku, Edo Andinata. Ibunya Maryati, sembilan belas tahun. Dan Andi alias Zulkipli, suamiku sekitar 30-an. Sekarang aku di provinsi yang berbeda dari ayah dan keluargaku yang lain. Namun aku tak berubah. Gelar SMP yang kubawa ke negeri ini tak banyak perannya. Suamiku kuli di pasar mingguan. Kami tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana, 4 x 5 meter. Dan semua perkakas juga sangat sederhana.
“Mar, hari ini aku tak kerja,”
“Janganlah memancing terus Uda, tak banyak guna itu. Cuma buang waktu,”
“Cigoklah beras di peti. Tinggal segenggam.”
Suamiku hanya diam. Dan kembali menarik sarung lusuhnya, meringkuk di dipan beralas pandan. Aku pastikan, beberapa saat lagi ia akan beranjak dan segera ke pasar.
Zulkipli, lelaki yang paling betah denganku sejak dua tahun belakangan. Aku heran dengan diriku. Tiga tahun aku meninggalkan ayah dan ibu. Dan tiga pula lelaki telah meniduriku di rantau ini. Sejak itu, aku poliandris, mungkin.
Sagarmadji, Padang, 2009
Kembali kuangkat dan kubersihkan ubi-ubi itu dari gerobak yang disodorkan ayah. Tanaman berkarbohidrat tinggi ini akan diolah menjadi panganan godok. Ibu akan menjualnya besok hari, Minggu pagi di pasar. Sudah beberapa bulan ini setiap Sabtu Minggu aku berkutat di dapur. Menyiapkan berbagai panganan. Mulai dari godok ubi, kacang hijau, bakwan, tahu isi, dan beberapa gorengan lainnya. Usaha ibu yang sudah lima tahun terakhir dilakoninya. Penambah uang dapur, kata ibu pada orang-orang. Aku tak bergabung lagi dengan teman-temannku di los pasar lama, 50 meter dari rumahku. Biasanya aku lebih sering di sana, waktu masih sekolah SMP dulu. Sekarang tidak. Apalagi ke sekolah. Ah itu tak mungkin.
“Sudah kau bersihkan ubi itu Mar?” buyarkan lamunku.
“Kau ini, pemalas sekali, minta uang kau bergegas. Gadis apa itu,” dengus ayah sambil berlalu dari dapur ke ruang depan.
Aku hanya diam. Tak kuidahkan. Aku tahu gaek itu selalu begitu. Kalau tak punya uang lagi, pasti emosinya lebih cepat meninggi. Dua hari ini gaek, ayahku, tak berhasil menjerat burung-burung hebat itu. Buruannya tiung. Hewan yang kata orang sudah jarang ditemukan itu ternyata ayah memburunya. Ayah sangat berhasrat memindahkannya dari hutan luas ke rumah kami. Dan itu hanya beberapa hari di rumah. Karena akan langsung di beli oleh orang kaya yang pakai sedan. Baik masih kecil maupun sudah besar.
Berburu beo adalah satu-satunya kerja ayah sejak dulu. Kalau tak salah aku masih sekolah dasar, ayah sudah begitu. Tiga orang kakak laki-lakiku dipekerjakan ayah mencari beo. Hasilnya bagi lima. Dua untuk ayah, selebihnya dibagi oleh kakak-kakakku. Kata ibu itu tak cukup. Dan itu pula yang kurasakan. Sampai-sampai aku yang bungsu ini tak bisa lanjut sekolah lagi. Alasannya, aku tak akan jadi guru. Kenapa harus sekolah tinggi.
“Kalau kau jadi guru, baru aku sekolahkan,” kata ayah, panas. Karena aku selalu merengek pada ibu untuk sekolah lagi, lima bulan lalu.
Kembali aku hanya diam. Tak bisa berkata apa. Badan ayah tinggi besar dan jarang berbaju.
“Panas rumah ini,” katanya.
Cerita kakakku perempuan, nomor empat di atasku, selama ini belum ada yang berani melawan ayah. Siapa melawan, ayah mengharamkan dia jadi anaknya lagi. Ayah kasar, itu di mataku. Dan benar tak ada perlawanan. Namun sekarang dia telah almarhumah. Melawan ayah, itu kata ibu.
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan.
“Mar, Maryati..sudah pagi ini. Cepat, ambil air seember untuk mandi beo ini,” pinta ayah di pagi buta.
“Ih, masih gelap ayah. Nanti kan bisa,” elakku di balik selimut.
“Kau, memang gadis pemalas. Tak berguna. Cuma bisa minta uang. Berpikirlah kau Mar,” suara ayah mendekat.
Sirrrr, darahku berdesir. Sangat tak nyaman kedengarannya. Kantukku raib. Pagi ini pun tak lagi dingin. Aku tak butuh selimut. Dan kujawab kata gaek itu.
“Sudah cukup ayah mengataiku gadis tak berguna. Gadis peminta uang,” sungguh, aku amat bengis waktu itu. Walau suaraku belum jernih betul.
“Apa! Kau menjawab juga.” Sekarang ayah telah di daun pintu kamarku.
Diambilnya bantal guling di kakiku dan dihempaskannya ke kepalaku. Aku kaget bukan main. Cepat sekali reaksi itu. Aku sudah duduk di bibir dipan. Dan gaek pun berlalu. Amat sakit, bukan kepalaku, tapi hatiku. Sebenarnya aku tak mengundang tangis itu. Tapi ia datang juga. Dan aku berusaha mengusirnya, hingga aku sesenggukan dengan sangat ganjil.
Ibu kemana. Aku mencari ibu. Sampai di dapur, aku temukan ibu baru pulang dari sungai belakang rumah. Sehabis membuang hajat besar, itu biasa di pagi ini. Aku duduk di atas lesung. Ibu mendekat.
“Sudah salat subuh kau Mar?”
Aku diam.
Kusut mukaku tak bisa kusimpan. Dan memang aku tak berniat menyimpannya.
“Bertengkar lagi kau dengan ayah?”
Lagi, aku diam. Dan tak membalas tatapan ibu.
Cepat-cepat ibu ke luar, mungkin menyusul ayah. Sambil mengingatkanku lagi salat subuh.
***
“Ibu, aku belum mau kawin,” pintaku pada ibu.
“Kau mau jadi apa ha!, apa kau berzina dulu, baru kau mau kawin seperti anak si anu itu!” hardik ayah.
Untuk kesekian kalinya aku hanya diam. Termasuk untuk masa depanku. Kenapa aku ini. Siapa yang sudi menikah, berumah tangga dengan umur yang ‘amis’ ini. Kupinta bantuan pada kakak-kakakku yang hadir waktu itu.
Laki-laki yang tua berkata,”Sampai kapan kau akan menyusahkan ibu untuk membelikan bedak-bedakmu, Mar?” lebih halus dari ayah.
“Kau kan sudah kenal dia, lima minggu ini Mar, kalian akan cocok kok,” bujuk kakakku yang baru selesai bersalin, dua minggu lalu.
“Lagi pula, dia sudah berpengalaman dari kau, sebaya pak Ilis ya Uda?” begitu jalan keluar dari kakak iparku yang perempuan.
Apakah ayah tak sadar akan umurku yang baru 15 tahun ini. Menikah di usia dini, sehatkah. Aku masih ingin berkumpul di los. Aku masih ingin berkeliaran di pasar selagi ibu berjualan kue. Dan aku tak pernah membunuh niatku untuk sekolah lagi. Walau itu hanya paket. Hanya aku yang mempunyai ijazah dua buah di rumah ini. Dan sekarang untuk ketiganya itu tak dibolehkan. Semua kakak-kakakku tak tamat sekolah dasar. Mereka hanya diperkenalkan dengan huruf a, b, c, d, dst sampai z. Dan hanya mahir mengeja. Kalau berhitung lebih selangkah dari membaca.
Tapi, bukan berarti tidak sekolah justru tak bisa melihat mana yang lebih baik dari yang akan diputuskan. Pintaku pada mereka. Orang-orang disekelilingku, rata-rata sekolah mereka tinggi. Tetanggaku ada yang jadi guru, dokter, tentara, bahkan hanya tukang kuli pasir di sungai. Namun, aku tak menemukan anggota keluarga mereka dinikahkan sebegini muda. Aku malu. Pada teman-temanku. Pada bapak guruku. Pada orang di sekelilingku. Tapi ayahku tak malu.
“Begini, sekarang kau kawin dengan bujang itu. Jauh-jauh dia kesini. Kasihan kita.” Kata ayah.
“Bagaimana Pik?”
“Si Mar hanya diam, tanda setujulah dia Uda,” itu putusan sepihak ibu.
Duniaku bergemuruh hebat. Musiman awan hitam semakin pekat. Semua selesai sudah. Aku tak berdaya. Aku diam ibu, bukan karena suka, tapi tak terbayangkan akan hal ini sebelumnya. Itu berontakku, namun hanya dalam renungan.
Di kamar aku disuguhkan ibu sepasang baju tidur yang baunya menandakan barang baru. Ini dari ayah, kata ibu. Tak kusentuh. Ibu tak marah dan segera berlalu.
“Wah, banyak sekali ayah membeli gula manis dan kopi,” sorak kakakku yang baru menjadi ibu itu, sambil mengaduk kopi untuk lakinya.
“Itu dari menantu baru ayah,” sela ibu disela-sela derai tawanya.
Tawa antara ibu anak itu semakin kuat serta begitu renyah. Tak lama ditimpali oleh iparku di sebelah. Tak kalah hebohnya dan sangat memuakkan bagiku.
Betul kata kakakku nomor empat di atasku. Masih terngiang segar. Segar sekali. Tak ada yang bisa melawan. Ayah terlalu ‘kuat’ untuk kami anak-anaknya. Pengaruhnya bisa merubah otak siapa saja yang ada di rumah ini. Ibu juga tak luput. Aku korbannya yang mungkin tidak untuk terakhir.
Ayah penentu nasib kami. Mau punya suami yang kuat, ayah bisa carikan. Mau punya suami yang beruang ayah juga bisa carikan. Namun itu tak pernah bertahan lama. Kakakku yang tua nomor dua, cobaannya. Dan sekarang jarum itu mengarah padaku. Tak kuasa kumembalikkannya pada posisi semula. Terlalu berat.
***
Sudah setahun umur anakku, Edo Andinata. Ibunya Maryati, sembilan belas tahun. Dan Andi alias Zulkipli, suamiku sekitar 30-an. Sekarang aku di provinsi yang berbeda dari ayah dan keluargaku yang lain. Namun aku tak berubah. Gelar SMP yang kubawa ke negeri ini tak banyak perannya. Suamiku kuli di pasar mingguan. Kami tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana, 4 x 5 meter. Dan semua perkakas juga sangat sederhana.
“Mar, hari ini aku tak kerja,”
“Janganlah memancing terus Uda, tak banyak guna itu. Cuma buang waktu,”
“Cigoklah beras di peti. Tinggal segenggam.”
Suamiku hanya diam. Dan kembali menarik sarung lusuhnya, meringkuk di dipan beralas pandan. Aku pastikan, beberapa saat lagi ia akan beranjak dan segera ke pasar.
Zulkipli, lelaki yang paling betah denganku sejak dua tahun belakangan. Aku heran dengan diriku. Tiga tahun aku meninggalkan ayah dan ibu. Dan tiga pula lelaki telah meniduriku di rantau ini. Sejak itu, aku poliandris, mungkin.
Sagarmadji, Padang, 2009
koq ceritanya lgsng loncat gitu dee...??
ReplyDeleteaq pikir si tokoh maryati menolak untuk di kawinkan oleh ayahnya dan ia lbh memilih pergi meninggalkan rumannya dan mencoba tuk melanjutkan impiannya....tp bagus koq jalan ceritanya cma kurang variasi aja...tetap semangat ya jgn berhenti menulis...