Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak mau tidak mau dapat dikatakan sebagai pembangkit selera saya untuk menonton dan menulis tentang film Indonesia kembali. Daya tarik Marlina yang semakin besar tidak bisa dilepaskan dari prestasi yang diukirnya yang dimulai di luar negeri. Kesan dan review tentangnya menyerbu saya di timeline twitter, membawa saya ke banyak website yang membincangkan Marlina dari yang penulis penyuka film hingga peneliti film. Semua itu semakin mendorong saya untuk menonton Marlina segera mungkin. November 2017 niat itu pun terwujud meski dilanda kecapekan yang luar biasa karena pada waktu bersamaan baru selesai mengerjakan riset lapangan di Kalimantan.
Marlina adalah film perjuangan. Perjuangan memperoleh keadilan kepada negara. Ia melaporkan kejahatan yang diterimanya berupa perampasan dan pemerkosaan di hadapan mayat duduk suaminya. Untuk membuktikan seseorang dirampok dan atau diperkosa, hukum negara selalu meminta bukti dalam pelaporannya. Bukti yang Marlina miliki hanyalah cerita dan sepotong kepala si pemerkosa yang sudah membuatnya geram. Marlina mungkin tidak tahu bahwa usahanya akan sia-sia semata setelah melakukan perjalanan panjang dan mencekam untuk memperoleh keadilan tersebut. Karena sesampai di kantor polisi ia justru membuka kembali lukanya dengan menceritakan ulang kejadian perampokan dan perkosaan yang dialami tanpa ada harapan dari polisi untuk memberi keadilan kepada Marlina. Harapan hampa dan perasaan nyeri pilu ini digambarkan dalam adegan Marlina menangis tertahan dengan bibir yang mengelupas di warung sate di tengah perkampungan Sumba yang tandus dan terik.
Ada perempuan lain yang bernasib mendekati tragis seperti Marlina, Novi. Novi tengah hamil tua yang membantu Marlina berhasil hingga ke kantor polisi meski ia sendiri harus mendapat kekerasan dari anak buah Markus. Suaminya yang begitu berhasrat untuk memiliki anak laki-laki, bosan dengan anak perempuan, menuduhnya telah berselingkuh hingga hamil, menempeleng perempuan malang tersebut, dan meninggalkannya begitu saja di jalanan bebatuan yang panas dan sepi. Tapi Novi tetap mencintai dengan meyakinkan suaminya bahwa ia tidak selingkuh. Baik Marlina maupun Novi adalah sama-sama mahir mengayunkan parang untuk menebas kepala laki-laki yang membuatnya jengah. Novi tidak menebas kepala suaminya, ia menebas kepala anak buah Markus yang mencoba memperkosa Marlina sesaat sebelum ia melahirkan bayi di kamar di mana kematian dan kelahiran hanya berjeda menit.
Adegan-adegan sadis ini kontras dengan latar di mana film ini dibuat sekaligus digunakan: Sumba dengan medan alam yang indah dan menawan. Sejak awal film, kita disuguhi dengan kampung Marlina yang berbukit-bukit, sedikit terjal, bebatuan, dan angin berhempus sepoi yang tak henti. Ia alam yang cantik sekaligus membuat gerah. Sepanjang film saya berpikir bagaimana Sumba yang elok dan sepoi angin berhembus digambarkan dengan warna gersang begini? Ilalang menguning, rumput menguning, jalan berdebu dan berkoral. Cantik dan membuat gerah ini agaknya digambarkan dalam tokoh perempuan, Marlina dan Novi. Mereka adalah perempuan dan istri yang penurut sekaligus tegaan dan sadis ketika terancam. Orang mana yang berani menebas kepala seseorang jika bukan orang yang tidak peduli dengan hukum berlaku? Marlina membangun hukum sendiri, hukum yang menyelamatkan dan membebaskan dia.
Empat Film Lainnya
Pasca-menonton Marlina, berturut-turut saya menonton film lainnya dengan cerita perempuan beserta kultur yang mengiringinya. Dimulai dengan film Tanah Mama dengan latar alam dan budaya Papua. Film ini mengisahkan tentang seorang mama dengan empat anak yang masih kecil dan menginjak remaja. Ia membawa anak-anaknya ke rumah kakaknya karena sang suami tidak membukakan lahan untuknya guna menanam ketela atau ubi jalar. Jika lahan tidak dibuka, ia tidak bisa menanam ketela, dan anak-anak pun tidak bisa diberi makan. Sementara suaminya sibuk di kota dan bersama istri muda dan anak-anaknya.
Sang mama didera kehidupan yang pelik karena tidak mungkin selamanya ia menumpang di huma kakaknya. Selain itu ia dijerap sanksi Rp 500 ribu karena sudah mengambil ketela di lahan adik iparnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Ketela itu ia ambil karena terdesak untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anak-anaknya. Menurutnya itu tidak akan berdampak panjang dan harus menyelesaikan dengan kepada desa karena adik iparnya tahu bahwa kakaknya sudah menelantarkan kakak iparnya sendiri. Tapi anggapan sang mama keliru. Ia tetap dipanggil dan dimintai pertanggung jawaban baik oleh kepala desa maupun oleh adik iparnya sendiri.
Tanah Mama menceritakan lebih tentang hubungan perempuan dan tanahnya di Papua. Ketika sang mama dan anak-anaknya pindah dari huma dari kampung asal ke kampung kakaknya, ia tidak lagi dianggap menjadi bagian dari komunitas kampung asalnya. Ini dibuktikan dengan ketika orang kampung asalnya panen ketela, sang mama dan anak-anak tidak mendapat bagian karena mereka sudah dianggap tidak menjadi bagian mereka. Sang mama pun tak mampu membendung air matanya, menangis sedih sembari mengusap punggung anak-anaknya yang menengah ke atas bukit kecil di mana orang-orang dari kampung asalnya merayakan dan berbagi ketela di atas sana. Perempuan dan tanah seperti dua hal yang melekat menjadi satu. Tanah tidak semata tempat tinggal membangun huma dan berkebun ketela, tanah juga menjadi medium yang menghubungkan sang mama dengan masyarakatnya. Yang menghubungkan anak-anaknya dengan anak-anak yang lain, akrab dan tidak akrab. Bagi mama Papua, tanah adalah roh, roh yang menghidupkan fisik jasmani dan roh yang menghidupkan fisik secara sosio-budaya.
Selain Tanah Mama, ada film Ca Bau Kan yang diluncurkan pada awal 2000an lalu. Film ini menceritakan seorang budak seksual perempuan yang hidup pada lintas era di Betawi dan masyarakat keturunan Tionghoa. Ia gadis Betawi non peranakan Tionghoa, bekerja sebagai tukang hibur bagi laki-laki pedagang Tionghoa baik di Betawi maupun di Semarang. Lugu, penurut, dan tidak mata duitan. Hidup dari tuan satu ke tuan yang lain. Beranak dari tuan yang satu ke tuan yang lain. Tidak pandai membaca, tidak mengerti perubahan zaman, yang dia tahu hanya ia pantas ditiduri oleh banyak lelaki.
Film ini berdurasi hampir dua jam, latarnya berganti-ganti era. Kehidupan yang dialami Ca Bau Kan pun silih berganti: ada masa ia sendiri ditinggal mati suami, masa menjadi tukang hibur, masa menjadi penari, masa menjadi istri kedua yang begitu disayang suami sekaligus tuannya, masa perang dan kehilangan suami, masa kritis karena kehilangan anak dan orang-orang dekat, masa kembali merayakan kemenangan bersama suami, sekaligus masa kembali hancur lebur ditinggal mati suami dan tuannya. Pada masa-masa yang panjang itu, Ca Bau Kan tetaplah menjadi diri yang dulu: lugu, penurut, dan buta situasi. Ia betul-betul hanya sebagai budak dan budak seksual bagi laki-laki yang datang menyerbu rumah dan kampungnya, lalu kemudian ditinggalkan terkapar amis di ruang pengap dan gelap.
Bagi saya ini film pertama tentang perbudakan seksual pada film Indonesia. Tokohnya betul-betul lemah dan tak berdaya. Seorang budak seksual dan menyadari dirinya seorang budak seksual mungkin turut membuatnya untuk tumpul memikirkan banyak hal di luar perannya: penyedia seks dan pelayan rumah tangga. Ca Bau Kan tidak terlibat dan berperan dalam urusan lain, bahkan putusan anaknya ketika akan diadopsi oleh orang Belanda. Putusan justru diberikan izin oleh semacam tantenya setelah dibayar sekian nominal. Waktu itu Ca Bau Kan hanya memeluk erat anak-anaknya, tapi kemudian tetap dilepaskan dibawa ke Belanda hingga beberapa tahun kemudian salah satu anaknya meninggal. Ca Bau Kan tak pernah tahu karena ia tak dapat memahami surat-surat yang diposkan dari Belanda tersebut. Bisa jadi buta huruf sebagai sebab utama buta banyak hal yang mengekorinya.
Tanah Mama, Ca Bau Kan adalah film-film yang diputar dalam rangka menyuarakan penghentian kekerasan terhadap perempuan yang dilaksanakan oleh Komnas Perempuan dan berbagai lembaga lainnya. Film lainnya yang menarik ialah Nokas dengan mengambil latar budaya di Nusa Tenggara Timur, Kupang. Film ini bercerita tentang perjalanan seorang lelaki muda yang melamar kekasihnya hingga persiapan pernikahan. Keluarga si pemuda, seperti tradisi di Kupang, mestilah mempersiapkan uang bilis, uang untuk calon pengantin perempuan dalam melaksanakan pesta kelak. Jumlah uang bilis ini dimusyawarahkan dengan keluarga sang kekasih. Terjadi tawar menawar dan negosiasi soal jumlah dan kondisi atau kemampuan keluarga pemuda.
Di dalam film, uang bilis yang menjadi persyaratan adat mestilah dipenuhi. Keluarga laki-laki pontang panting mencari guna memenuhinya. Si pemuda yang sehari-hari menggarap ladang dengan kakak perempuannya yang orang tua tunggal, tak putus asa meyakinkan sang kekasih untuk menutupi semua yang dipintakan dari keluarganya. Sang kakak perempuan mempersiapkan pesta perkawinan hingga ke persoalan menyediakan piring, gelas, dan perlengkapan makan lainnya. Sementara sang ibu yang tidak lagi bersama bapak, merelakan seekor babi piaraannya dibawa oleh sang pemuda untuk keperluan pernikahan. Nyaris tak ada lagi yang bisa diberikan oleh sang ibu di tengah kehidupannya yang pas-pasan di kawasan pantai.
Uang bilis dalam film Nokas diteropong melalui kaca mata laki-laki. Ada kesan tradisi ini memberatkan dan merepotkan. Ongkos yang harus dikeluarkan untuk menikah bukanlah sedikit jika menuruti aturan adat. Sementara dalam kaca mata perempuan, uang bilis adalah ‘uang pengganti’ untuk perempuan. Uang yang telah diterima perempuan untuk pindah dan taat kepada laki-laki yang sudah ‘membelinya’. Perempuan dalam hal ini cenderung ditempatkan pada posisi subordinat di bawah laki-laki karena ketika sudah menikah otomatis ia pindah dan menjadi bagian dari kepada keluarga suami. Jika terjadi apa-apa yang memberatkan ataupun merugikan perempuan, maka perempuan dan keluarganya lemah untuk memutuskan atau mengambil kebijakan karena kebijakan akan banyak didominasi oleh suami dan keluarga. Inilah fenomena uang bilis dan uang sejenis yang juga banyak terdapat di daerah Sulawesi dan Sumatera.
Film terakhir yang dari tulisan ini ialah Night Bus, bus malam. Night Bus patut ditonton dikarenakan banyak alasan: film terbaik dari ajang Festival Film Indonesia 2017, film yang diangkat dari pengalaman nyata dari kawasan konflik berkepanjangan di Indonesia, film yang menyuguhkan banyak pemain baru yang potensial, dan film dengan kualitas sinematografi yang ciamik. Night Bus bercerita tentang perjalanan bus malam yang melintasi kawasan konflik: negara, separatis, dan kelompok begajulan yang oportunis dari konflik tersebut. Di Sumatera pada era 2000an, warga yang melakukan perjalanan lintas kabupaten dan propinsi kerap bepergian dengan bus malam. Saya sendiri cukup sering melakukan perjalanan malam dengan bus malam ketika masa kuliah, tapi tidak di kawasan berkonflik. Bus malam adalah transportasi sejuta umat yang nyaman, murah, dan mengasikkan. Begitu juga dengan bus malam dalam film Night Bus. Ada hiburan musik dan omongan sumpah serapah antara kernet dan supir yang biasa terjadi.
Bus malam dalam film ini diisi oleh berbagai latar penumpang: gender, usia, pekerjaan, tujuan, kelas, dan kondisi fisik penumpang. Selain kernet yang suka bernyanyi dan menghibur penumpang, ada lagi seorang lelaki paruh baya yang tuna netra yang kerap menembangkan tembang-tembang lokal dari budaya Aceh. Kernet dan supir ialah orang Batak atau orang yang kebatak-batakan, ini terlihat dari dialek mereka berbicara. Termasuk umpatan-umpatan khas Batak yang dilontarkan: kimak! Ketika umpatan-umpatan dan dialog antara kernet dan supir terjadi, saya seperti memasuki lorong waktu dan berhenti pada masa SMA di mana banyak memiliki teman-teman Batak. Film ini seperti memiliki kedekatan kultural dengan personal saya, baik latarnya yang di Sumatera, bahasa dan dialek, perjalanan bus malam, serta kondisi medan yang mencekam. Tapi tidak dengan konflik dan gencatan senjata yang merenggut beberapa nyawa, termasuk gadis mungil pemberani yang menumpang di bus tersebut.
Film ini sangat menarik tidak hanya persoalan pengalaman melakukan perjalanan di kawasan rentan konflik di Sumatera, tetapi juga eksekusi dari film ini. Aktor-aktor yang terlibat benar-benar menampilkan keterampilan akting terbaik mereka, terutama kernet dan supir bus malam serta jurnalis dan beberapa penumpang lainnya. Selain isu ancaman fatal dari konflik yang bisa menimpa siapa saja, isu lain yang diangkat ialah pelecehan seksual, separatisme atau teror terhadap negara, kecintaan pada kampung halaman, lapangan kerja, dan tak putusnya kasih sayang ibu kepada sang anak meski sudah meninggal dunia. Saya terbayang bagaimana abang sepupu yang personil TNI AD bertugas di Aceh pada masa 2000an lalu. Ia yang merepresentasikan negara, tiap hari berhadapan dengan kelompok separatis di salah satu kawasan Aceh pada masa konflik Aceh. Belum lagi keterlibatan pihak ketiga yang memanfaatkan konflik dua kubu tersebut, entah merampok, entah memperkosa, dan tentu saja tidak segan membunuh siapa saja yang dianggap penghalang laiknya yang diceritakan oleh Night Bus.
Seperti film lainnya, film ini meneropong satu episode dari kisah konflik di salah satu daerah di Indonesia yang mau tidak mau masyarakat sipil terancam sebagai korban. Inilah kapahitan dari konflik. Adalah wajar jika yang menjadi konflik mereka yang berperang, tapi menjadi sangat menyakitkan bahkan menimbulkan dendam kesumat jika korban jatuh dari warga sipil, perempuan, dan anak-anak yang tidak tahu menahu tentang tensi dan konflik tersebut. Bisa dibayangkan hancurnya hati seorang nenek yang turun dari bus malam sembari menggendong cucu perempuan mungil yang tak lagi bernyawa. Mayat kecil tersebut akan ia gendong di tengah pemakaman anak lelakinya yang mati dalam berperang. Belum lagi jika dihadapkan dengan kampung yang porak-poranda habis terbakar tak tersisa. Tak satu pun yang elok dari sebuah peperangan.
2018 #NewRules
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^