Skip to main content

Aruni dan Adinda: Penyuguh Sejuta Tawa



2017 adalah tahun yang indah. Tahun yang menghadirkan dua gadis kecil ke tengah keluarga besar. Amak kemudian dipanggil nenek, aku dipanggil tante. Pertama kali Aru sampai di rumah dari RS, satu keluarga hatinya penuh suka cita. Amak tidak berhenti dan tidak capek-capek menggendong Aru. Padahal Aru yang baru sampai di bumi dua hari hanya tidur dan tidur. Tapi amak memamerkan kepada siapa saja yang datang ke rumah baik yang sengaja melihat Aru maupun orang yang datang berbelanja, hahaha. Aku sendiri tidak bisa melakukan kerjaan lain selain yang berkaitan dengan Aru. Membaca tidak, mengikuti obrolan di grup whatsapp juga tidak, apalagi menonton. Hanya bergelut untuk urusan Aru dan mamanya.

Aru cucu pertama amak sekaligus yang membuat aku sah sebagai tante. Begini rasanya dipanggil tante. Hatiku seperti taman bunga, di mana banyak kupu-kupu berterbangan, anak-anak kecil berlarian, dan orang-orang duduk bercengkerama santai di rumput hijau. Sinar mentari pagi menyemburkan kilauan di sela-sela pohon bunga yang rimbun dan rendah. Seperti nama Aru, Aruni, sinar mentari pagi. Kecel, kucing di rumah, berlarian kian-kemari dari ujung pintu ke ujung pintu yang lain. Sesekali ia mengintip Aru yang pulas di kasur kecilnya dengan tirai tipis pengaman dari sengatan nyamuk. Keceriaan kecel adalah keceriaan yang juga dialami oleh seisi rumah. Baru aku tahu bahwa beginilah suasana orang menyambut manusia kecil yang hadir di tengah mereka. Tentu suasana yang sama juga terjadi puluhan tahun silam ketika pertama kali amak dan mendiang abak menyambut abang Dedi, abang pertamaku di tengah keluarga besar di kampung sana.

Malam menjelang kelahiran Aru, kami panik sekeluarga. Beruntung aku belum kembali ke Jakarta, masih di rumah dalam suasana lebaran. Amak panik dan menangis melihat uni, mama Aru, pecah ketuban. Papanya menemani sendiri di kamar sekaligus bersiap-siap ke rumah bidan langganan. Amak ke sana kemari. Biasanya amak tidak pakai tutup kepala di rumah, malam itu beliau pakai tutup kepala. Kalau amak sudah pakai tutup kepala bertanda sedang melakukan kerja keras dan panjang. Kalau dulu misalnya memasak kue-kue untuk lebaran, menghadapi meninggal bapak, dan mengurusi hajatan dua orang kakakku. Pun malam itu ketika menghadapi kelahiran Aru, cucu perempuan pertama amak.

Melihat amak menangis, aku ikut stres. Tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Karena uni sendiri santai saja, tidak kesakitan sama sekali. Di tengah situasi itu aku diminta membelikan baju dan popok Aru yang memang sama sekali belum dipersiapkan. Bang Dedi di rumah. Bang David sedang membantu kakak sepupu melangsungkan pernikahan nun jauh ke kabupaten ujung sana di Bengkulu. Malam pukul 22 ia sampai di rumah dan membawa uni ke RS karena ia tidak bisa melahirkan dengan sang bidan. Tepat pukul 7.30 pagi Aru lahir ke dunia dan ibu bersyukur karena Aru dan mamanya dalam keadaan sehat dan baik. Ketika ditelepon, ada beban berat yang terbang seketika dalam dada ini mengetahui kabar tersebut. Dua hari kemudian barulah gadis kecil itu dibawa ke rumah. Riang gembira seisi rumah. Hanya semalam aku dan Aru, esoknya mesti berangkat ke Padang, mengambil pesawat ke Jakarta.

Berselang tak sampai dua bulan, gadis kecil kedua pun hadir di keluarga besar kami. Kali ini datang dari istri Bang David, kakak keduaku. Namanya Adinda. Dinda lahir dengan dibelah perut uminya. Alhamdulillah juga prosesnya lancar dan uminya pun sehat dan baik. Agak lama Dinda di RS dan sendiri di tempat tidurnya. Bang David sibuk urus ini itu. Sementara uminya mengembalikan kekuatan badan juga. Aku baru berjumpa November 2017 lalu. Lucunya sama dengan kakaknya Aru, bahkan lebih sipit dan menggemaskan. Aru kalau menangis bibirnya dikatup mencibir, sementara Dinda dibuka lebar dan mengeskpresikan semuanya ke angkasa. Ini yang bikin abi dan uminya capek sekaligus membuat tertawa.

Sejak Dinda lahir, amak kerap dipuji banyak orang. Disebut sebagai orang kaya karena memiliki dua cucu perempuan sekaligus. Amak pun senang karena memiliki mereka. Tak perlu banyak uang, yang penting dua cucu perempuanku sehat selalu, begitu kata amak. Aku hanya tertawa. Pada masyarakat Minang yang matrilineal, nilai anak perempuan memang lebih tinggi ketimbang laki-laki. Pewarisan dan suku diturunkan berdasarkan garis ibu. Sehingga Aru dan Dinda menjadi permata yang tiada dua di keluarga besar kami. Orang-orang di rumah cemas bercampur geli karena anak perempuan kerap dianggap lebih cepat besar. Bang David berkata, sebentar lagi mereka akan sekolah, mau punya kamar sendiri, dan sebagainya. Teman sekantor pernah bertanya, sudah berapa usia ponakanmu, Dek? Kujawab sekenanya, bentar lagi mereka kuliah S-2? Hahahaha.

Sekarang mereka semua berkumpul di rumah. Amak tidak pernah protes seramai apakah rumah, rumah tetaplah rumah yang akan selalu terbuka untuk anak-anak dan cucu-cucu beliau. Aku senang dengan serumahnya Aru dan Dinda. Sejak kecil mereka akan tahu kalau mereka bersaudara, menjadi sahabat, dan memiliki satu tante yang sama. Tidur bersama, main bersama, mandi bersama, nonton bersama, dan bersama lainnya. Jadi setiap mudik, sejak kehadiran mereka, aku selalu membawa oleh-oleh yang sama sebanyak dua buah. Ini menyebalkan sekaligus lucu karena aku harus membeli satu jenis barang sebanyak dua buah, tidak saja harganya menjadi lebih banyak tapi ruang untuk membawanya juga jadi lebih besar. Alhasil, yang tadinya membelikan Aru dan Dinda 3-4 jenis barang, akhirnya dikurangi menjadi 1-2 jenis saja karena ternyata banyak makan tempat di dalam travel bag, kekekekekkk.

Aru dan Dinda, sehat-sehat dan cepat besar ya. Cium dari tante.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...