Skip to main content

Oh, Orete!


Sebagai fans, kenapa saya harus berhadapan dengan orang-orang tak egois, tapi menyedihkan begini?


Di penghujung bulan pertama 2014, Aurette and The Polska Seeking Carnival (AATPSC), band indie yang asyik, secara resmi membubarkan diri. Alasan yang mereka rilis adalah mencoba fokus atau lebih mengutamakan kegiatan akademik di kampus. Kampus di sini menunjuk ialah Institut Seni Indonesia Yogyakarta, sebagai 'wadah' dilahirkannya band keren (dari Sewon) ini oleh sekumpulan mahasiswa beserta teman-teman di sana. Kampus keren, mahasiswa keren, jadi kenapa harus tampak kolot dengan -seolah- riang gembira 'mengaborsi' Orete di tahun pesta 2014 ini?

Tulisan ini sepertinya penting karena (1) Orete dan fans adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan; (2) Orete itu beken dan yup, belum ada yang menandingi khas musik mereka; (3) Orete itu pilihan musik, rasa, dan taste kita; (4) Orete itu transformasi seni dan kebahagiaan dari kampus ISI kepada khalayak luas; (5) Orete itu (bagian) Yogya yang istimewa!

Dan, koaran ini mungkin semakin 'menyakitkan' buat Aris, Mba Tea, Mba Gaban, Danny, Mursyid, Rian, dkk sebagai pentolan Orete. Bagaimana tidak? Mari cermati alasan mereka yang karena 'mengutamakan akademik' agar kita para fans terlihat bodoh, mencoba bijak, kemudian memaklumi begitu saja.

1. Mahasiswa yang bernafas di kampus seni, sejak kapan 'menuhankan' deretan huruf A di Lembar Hasil Studi mereka? Bukankah olah kreatifitas dan praktik adalah belang mereka yang tak bisa ditanggalkan dari kulit sendiri?

2. Bukankah Orete adalah aktualisasi dari sekian project terhebat yang ditelurkan oleh mahasiswa di kampus seni ini? Lalu, bagian mana dari rutinitas Orete yang membuat para pentolan ini serasa tidak serius dengan akademik mereka? (Sudahlah, jadikan saja musik kalian sebagai salah satu tema skripsi yang malang itu!)

3. Jika kampus lupa mengingatkan akan 'eksistensi' (diri berelasi kedalam) dan 'reputasi' (diri berelasi keluar) -agaknya, kampus basa basi atau malu-malu untuk mengingatkan itu- saya mengingatkan itu buat Orete. Renungkanlah barang lima atau sepuluh menit, begitu sakit bagi mereka yang 'bermain-main' dengan eksistensi dan reputasi.

Ada yang menggelitik sebenarnya, dan mungkin terkesan lawas yang juga menimpa setiap band dan kerja tim mulai dari langit pertama hingga langit ketujuh di jagad ini. Jangan-jangan, Orete terkubur karena perkara remeh temeh soal asmara, cek-cok pendapat internal, manajemen yang simpang siur, dan satu atau dua pentolan terkesan kurang solid. Apapun itu, perlu Orete ketahui: "Bagi mereka yang ingin berbuat sesuatu, pertentangan dan pertengkaran adalah sebuah keniscayaan, yang tak terelakkan. Pertentangan dan pertengkaran tidak mampir kepada mereka yang diam dan menonton."

Sekitar dua tahun sudah band dengan genre musik karnival ini menemani siang malam sepersekian banyak 'anak muda' yang tersebar di Bali, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan beberapa kota lain. Berkarya dengan album mini dalam tiga macam bentuk; CD, vinyl, dan kaset tape; sangat romantik dan mencoba aplikatif. Mengisi panggung dengan gigs-gigs gembira. Lagu-lagu mereka mendayu sekaligus menghentak di beberapa radio di kota ini. Tak sedikit request dari kawula muda agar musik Orete diputar lagi dan lagi. Tak peduli, Orete selalu mencari panggung untuk berpesta dan menghibur. Diapresiasi oleh
berbagai kalangan karena menampilkan cinta dalam bentuk yang sederhana, cinta adalah gelak dan tarian. Wahai Orete, jika masih ada cinta dan panggung di sana, kenapa harus sungkan untuk membagi?

Salam Karnival,

ADedees


#foto dari Google

Comments

  1. mungkin ntar gabung lagi, setelah ganti nama grup :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Silahkan berkomentar ^_^

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...

Gilby Mohammad